MENGHADAPI PENUNDAAN BANTUAN PEMBENAHAN HARUS PRIORITAS
Jakarta, Suara Pembaruan
Bantuan luar negeri hanyalah pelengkap. Oleh sebab itu, sangat beralasan bagi kita untuk tidak tergantung pada bantuan luar negeri dalam pembangunan yang dijalankan. Kita juga harus konsisten menjalankan prinsip untuk menolak setiap bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan politik dalam negeri. Ini untuk mencegah usaha-usaha terselubung pihak luar yang hendak mendikte atau “merongrong”, kedaulatan dan kemerdekaan, bangsa kita.
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dan kalangan DPR menyampaikan hal itu secara terpisah hari Karnis dan Jumat pagi di Jakarta. PB HMI, misalnya,lebih jauh berpendapat, dana memang faktor penting dalam pembangunan,” tapi dana bukanlah segala-galanya. Balikan, dana yang cukup belum menjamin keberhasilan pembangunan, bila tanpa disertai pengelolaan yang baik, melalui manajemen yang efektif dan efisien. “Kelemahan umum negara sedang berkembang terrnasuk Indonesia adalah lemahnya manajemen pembangunan .”
Pembenahan
Ditegaskan HMI, pembenahan manajemen pembangunan bersih hal mendasar dalam proses pembangunan oleh sebab itu harus mendapatkan prioritas. Ini untuk menjamin efektivitas penggunaan dana. “Dengan manajemen pembangunan yang baik, maka optimalisasi sumberdaya baik dari dalam maupun luar negeri akan terwujud.”
Pernyataan itu dilontarkan untuk menanggapi pernyataan Presiden Soeharto yang tidak dapat menerima bantuan ekonomi yang dikaitkan dengan politik (pembaruan 12 Desember)
Pendapat HMI disampaikan Ketua PB Lena Mariana dan Sekjen Asrian Hendi Caya. Sedangkan dari dewan adalah Wakil Ketua DPK Drs. Soerjadi dan WakiI Ketua Korbid Ekku FKP Abdullah Zainie.
Sementara Wakil Ketua DPH BJ Naro hanya berkomentar singkat. Kita pasti dan memang harus siap menghadapi kemungkinan pemboikotan bantuan dana dari negara negara donor, dengan catatan, mereka yang kaya atau para konglomerat harus mau membantu membenahi perekonomian di negara kita.
Suruh konglomerat-konglomerat itu membantu. Pasti heres,” kata Naro sambil tertawa, menimpali pembicaraan wartawan dengan Soetjadi ketika menuruni lift. Soetjadi mengatakan, ia seratus persen sependapat dan mendukung pemyataan Presiden. “Indonesia tidak bisa didikte oleh negara lain. Betapa pun Indonesia membutuhkan dana, tapi kalau itu harus mengorbankan kedaulatan bangsa, lebih baik sama sekali bantuan itu tidakkita terima,” katanya.
“Ini perlu diketahui oleh negara-negara yang selama ini memberikan bantuan dana kepada kita. Agar, jangan sampai sekali kali mereka berkeinginan mengaitkan bantuan dengan segi-segi politis alau kedaulatan/kemerdekaan bangsa Indonesia,” tambahnya. “ltu tidak akan kita terima. PDI menentang itu.”
Ditanya apakah mungkin melepaskan aspek politis dari bantuan yang sudah dan akan kita terima, Soetjadi mengatakan itu mungkin saja. Sedangkan masalah siap atau tidaknya kita menghadapi tersendatnya bantuan luar negeri itu, ia menyatakan “Kita harus siap.”
Menurut PB HMI, sebagai bangsa yang sedang membangun dan di tengah arus globalisasi, Indonesia memang tidak dapat menutup diri dari interaksi (pergaulan) dunia internasional. Namun, interaksi itu bukan berarti untuk mengekang kemandirian Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. “Sementara bentuk ketergantungan (interpedensi) haruslah bersifat saling menguntungkan, minimal tidak merugikan dan mengikat, “demikian PB HMI. “Kepedulian antar negara harus tetap dibangun dengan tidak mengganggu kedaulatan masing-masing”.
Tak Mau Didikte
Zainie sependapat, kita memang harus tetap tegar menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas segala-galanya, dan mengabdikan kebijaksanaan politik luar negeri serta ekonomi global Indonesia hanya untuk: kepentingan nasional. Kita harus menolak bantuan yang digunakan sebagai alat untuk: mendikte kebijaksanaan politik dan kebijaksanaan ekonomi dalam negeri.
Diingatkan pula, sejak semula kita telah menetapkan konsensus nasional dalam GBHN bahwa dalam hal melakukan pinjaman luar negeri, harus dipenuhi prinsip prinsip, antara lain bantuan itu tidak boleh dikaitkan dengan ikatan politik.
Di samping itu, bantuan luar negeri lainnya sebagai pelengkap, berjangka panjang dengan bunga yang rendah, berada dalam batas batas kemampuan kita untuk membayarnya kembali dan tidak memberatkan beban anak cucu, serta mempunyai prioritas tinggi dalam proses pembangunan kita.”Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri jika bantuan itu digunakan sebagai alat untuk mendikte kebijaksanaan politik dan kebijaksanaan ekonomi dalam negeri,” katanya.
“Dalam bidang ekonomi negara-negara asing hanya dapat memberi saran atau usul kebijaksanaan ekonomi dan moneter, namun keputusan terakhir tetap berada dalam tangan bangsa dan rakyat Indonesia.”
Terhadap adanya isyarat dari beberapa negara untuk: menunda bantuan terbesar negara-negara donor, baik kelompok IGGI yang memberikan pinjaman bersifat multilateral maupun negara-negara non IGGI serta lembaga lembaga keuangan intemasional yang memberikan bantuan secara bilateral, Zainie yakin, mereka tetap berkepentingan dalam membina hubungan ekonomi dengan Indonesia dalam rangka ketjasama yang saling menguntungkan .
Zaini mengingatkan, agar dalam menghadapi situasi bantuan luar negeri ini kita harus bersikap rasional artinya bila volume bantuan tidak kita peroleh sebagaimana yang diharapkan, maka kita harus menggali sumber-sumber penerimaan dari dalam negeri dan volume pembangunan harus disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada kita sekarang ini. (SA)
Sumber : SUARA PEMBARUAN (13/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 507-509.