Medan, 31 Juli 1998
Kepada
Yth. Bapak. Haji M. Soeharto
di Jl. Cendana Jakarta
MENGUJI YANG DICINTAI [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pertama-tama saya mendoakan Bapak dan keluarga kepada Allah swt. Mudah-mudahan Bapak dan keluarga selalu dalam keadaan sehat wal afiat, dan senantiasa dalam lindungan-Nya, amin!
Kemudian daripada itu, perlu saya sampaikan bahwa sudah lama saya dan keluarga berkeinginan menyampaikan “Salam” dalam bentuk surat sekalian untuk memperkenalkan diri, terutama pada saat ulang tahun baik ulang tahun Bapak maupun ulang tahun almarhumah ibu. Namun saat itu keinginan tersebut selalu tertunda takut kalau disalah artikan. Tapi sejak Bapak tidak menjabat lagi keinginan yang tulus tersebut kembali muncul, apalagi apa yang Bapak dan keluarga rasakan saat ini cukup berat dan memprihatinkan kami, sebagai orang yang beragama rasa “silaturahmi” tersebut timbul, minimal dapat memberikan semangat dan kegembiraan kepada Bapak dan keluarga dalam menghadapi cobaan tersebut. dan teriring doa semoga Bapak dan keluarga tetap tabah, tegar, dan tawakal kepada-Nya.
Tentu Bapak heran kenapa saya dan keluarga (istri) sudah lama berkeinginan menyampaikan “salam” dalam bentuk surat? Hal ini ada sebabnya. yang menurut kami suatu “kebetulan” yang menyenangkan dan merupakan tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu ada beberapa kesamaan antara keluarga Bapak dengan keluarga saya, kecuali tentunya status dan kedudukan.
Kesamaan tersebut antara lain:
- Tanggal lahir saya persis sama dengan Bapak yaitu: 8 Juni 1958
- Tanggal lahir istri saya sama dengan Ibu almarhumah yaitu: 24 Agustus 1961
- Anak Bapak ada 6 orang, saya juga: laki-laki 3 orang dan perempuan 3 orang, si sulung laki-laki dan si bungsu perempuan.
Dan selama ini peringatan ulang tahun saya dan istri cukup ditompangkan saja dengan acara Bapak atau Ibu almarhumah di Istana melalui televisi. Hal ini tentu saja sangat menggembirakan kami sekeluarga, oleh karena itulah keinginan tersebut timbul untuk menyampaikan salam dan sekaligus menyampaikan kebetulan tersebut kepada Bapak dan Ibu (sewaktu masih hidup).
Pak Harto yang saya hormati,
Saya dan istri hanya dapat mendoakan kepada Allah SWT semoga Bapak tabah, tegar, serta tawakal menghadapi apa yang terjadi saat ini. Dari segi agama apa yang Bapak rasakan ini adalah merupakan cobaan dan kata Tuhan “orang-orang yang beriman akan selalu dicoba imannya sesuai dengan kemampuannya”. Keberhasilan dalam menghadapi cobaan tersebut akan memberikan derajat keimanan yang tinggi dan tahan uji. Dan saya yakin kami hanya sebagian dari masyarakat yang menaruh simpati dan mendoakan bapak, dengan arti masih banyak orang-orang yang berharap seperti apa yang kami harapkan.
Pak Harto yang saya hormati….
Sebagaimana kebetulan di atas, apa yang Bapak rasakan terlebih dahulu saya rasakan, walaupun kualitasnya berbeda. Yaitu tepatnya: 1 April 1998, saya disuruh mundur dari pekerjaan hanya akibat kesalahan yang menurut orang banyak belumlah fatal sehingga harus mundur dari pekerjaan, apalagi tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Dan pada waktu itu tanpa kompromi dengan istri dan keluarga saya memutuskan untuk mundur dan membuat surat pengunduran diri. Yang herannya kenapa tiba-tiba kawan-kawan dekat tidak pernah memberikan rasa simpati dan memberikan kata penyejuk, serta seolah-olah saya tidak punya teman, tidak ada yang menghubungi, kecuali orang-orang yang selama ini kawan jauh.
Dalam hal ini bukan berhentinya yang sulit terlupakan, tapi perilaku kawan-kawan dekat yang tidak punya rasa toleran. Oleh karena itu saya cepat-cepat mengembalikan kepada Yang Di Atas, dan menurut saya ini juga cobaan yang harus saya terima dengan tabah, tegar, dan tawakal, semoga saya dapat melaluinya dengan baik.
Pak Harto yang saya hormati….
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, sebelumnya saya dan keluarga mohon maaf sekiranya apa yang saya sampaikan ini kurang berkenan pada Bapak sekalian lagi saya mohon dimaafkan. Dan semoga Allah swt, selalu memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada Bapak dan keluarga, begitu juga saya dan keluarga. Amin Ya Rabbal’alamin. (DTS)
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Akrim Ashal Lubis,S.E.
Medan
[1]Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 40-42. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.