MENI NVEST SETUJU PENDATAAN KEMBALI ASSET KONGL OMERAT

MENI NVEST SETUJU PENDATAAN KEMBALI ASSET KONGL OMERAT[1]

Jakarta, Antara

Menteri Penggerak Dana Investasi (Meninvest) /Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo setuju dengan usulan anggota Komisi VI DPR agar dilakukan pendataan kembali asset (asset reform) seluruh usaha para konglomerat. Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis, ia mengatakan usulan tersebut merupakan ide bagus dan pihaknya akan segera menindaklanjuti untuk merealisasikannya.

Sebelumnya, anggota Komisi VI dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) Tadjoeddin Noer Said, mengusulkan agar pemerintah mendata kembali seluruh asset usaha para konglomerat dengan tujuan membantu pengusaha kecil mendapatkan modal. Tadjoeddin juga mengingatkan kembali himbauan Presiden Soeharto mengenai penyisihan dana satu persen dari asset konglomerat untuk membantu pengusaha kecil dan koperasi agar dapat berkembang dengan lancar.

“Selama ini, kita tidak bisa menghitung berapa besar dana yang disisihkan konglomerat untuk pengusaha kecil dan koperasi, karena besarnya asset yang dimiliki konglomerat itu sendiri tidak diketahui,” tegas Tadjoeddin.

Meninvest berjanji akan menyampaikan usulan tersebut kepada Presiden sebagai pen cetus utama ide penyisihan dana konglomerat bagi pengusaha kecil dan koperasi.

Mekanisme Perijinan

Dalam rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi MZ. Wasaraka, para anggota DPR juga mempertanyakan mekanisme perijinan yang dikeluarkan BKPM, karena banyak ijin usaha yang ternyata bertentangan dengan kebijaksanaan instansi pemerintah lainnya. Tadjoeddin mempertanyakan ijin perluasan yang diberikan kepada PT. Indah Kiat Paper (IKP) di Propinsi Riau yang mengijinkan penambahan kapasitas produksi dari 300 ribu ton kertas menjadi 900 ribu kertas ton per tahun.

Menurut data yang dicatat Tadjoeddin, untuk mengoperasikan pabrik kertas dengan kapasitas 900 ribu ton diperlukan bahan baku pulp 2,7juta meter kubik (M3).

Namun pulp yang dihasilkan dari areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dikelola PT. IKP hanya 0,86 juta M3 dan ditambah dengan pembelian dari industri pengolahan kayu (IPK) menjadi hanya 0,9 juta M3. Selebihnya sebesar 1,8 juta M3 menjadi tanda-tanya karena tidak mungkin pabrik itu berproduksi 50 persen dari kapasitas.

“Pengusaha tidak akan mau melakukan itu karena akan menjadikan ekonomi biaya tinggi, “kata Tadjoeddin.

Yang ia permasalahkan adalah kekurangan bahan baku tersebut yang dapat mendorong PT. IKP melakukan “pencurian “kayu. Selain masalah ijin HPH, anggota Komisi VI lainnya Bambang Warih mencontohkan ijin usaha kepada pengusaha di Sulawesi Selatan dalam bidang angkutan taksi yang tidak bisa direalisasikan karena tidak diijinkan oleh pemerintah daerah setempat.

“Masalah ini menjadi serius, karena bagaimana mungkin BKPM mengeluarkan ijin usaha yang bertentangan dengan kebijaksanaan instansi pemerintah lainnya,”kata Bambang.

Menanggapi hal itu, Sanyoto menjelaskan bahwa khusus kasus yang terjadi pada PT. IKP ijin usaha tersebut dikeluarkan setelah ada rekomendasi Departemen Kehutanan tentang kemungkinan perluasan pabrik.

Sementara mengenai ijin pengoperasian angkutan taksi di Sulawesi Selatan, ia berpendapat kemungkinan ada persyaratan tertentu yang tidak dipenuhi investor.

”Tetapi yang pasti ijin usaha yang dikeluarkan tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau BKPM mencabutnya kembali,”tandasnya. (T-PE05/EU01)

Sumber:ANTARA (16/09/1993)

____________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 601-602.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.