MENJADIKAN PENDUDUK SEBAGAI MODAL PEMBANGUNAN

MENJADIKAN PENDUDUK SEBAGAI MODAL PEMBANGUNAN

 

 

New York, Pelita

DENGAN rasa syukur yang sangat dalam dan dengan segala kerendahan hati, saya terima Penghargaan Kependudukan petang ini. Dari lubuk hati saya, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Mulia Sekretaris Jenderal, Direktur Eksekutif Dana Kependudukan PBB, dan Komite Pemilih Penghargaan, yang telah memilih diri saya untuk menerima penghargaan yang sangat terhormat ini.

Dalam menangani masalah kependudukan, upaya seseorang biar pun seorang pimpinan pemerintahan yang populer dengan seluruh pemerintahannya tidak akan ada artinya tanpa partisipasi dari penduduk itu sendiri. Setiap pemerintahan memang dapat saja membuat rencana besar untuk mengendalikan pertumbuhan atau menentukan arah perkembangan penduduknya.

Dana yang memadai mungkin saja dapat dihimpun, dipinjam, atau dialihkan dari bidang-bidang lain guna keperluan tersebut. Namun menurut hemat saya, pada akhirnya, kunci pokok dalam perkembangan penduduk terutama terletak pada sikap dan perilaku manusia yang menjadi penduduk negara itu baik sebagai perorangan, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai warga negara.

Sikap manusia sebagai warga negara menentukan sampai sejauh mana program kependudukan suatu negara dapat diterima dan didukung bersama. Tanpa kesepakatan bersama, program seperti ini tidak akan pernah berhasil, biar berapa pun besarnya dana yang dikerahkan. Sikap manusia sebagai suatu masyarakat menentukan perubahan nilai yang diperlukan agar gagasan ini dapat dilaksanakan tanpa ketegangan, keresahan, atau dampak social lainnya. Pandangan bersamanya sebagai anggota keluarga mempengaruhi kesediaannya menerima perubahan susunan keluarga yang dibawakan program kependudukan.

Sikapnya sebagai pribadi menentukan perilaku, apakah ia akan mengendalikan ukuran besarnya keluarga dan mengikuti kaidah kesehatan modem bagi pertumbuhan anak-anaknya. Semuanya itulah yang pada akhirnya menentukan perilaku kependudukan secara keseluruhan; seperti tercermin dalam rangkuman angka-angka jumlah penduduk; kelahiran, kematian, perpindahan , usia harapan hidup, serta indikator-indikator kependudukan lainnya yang terlihat dari luar. Karena itu izinkan saya, Yang Mulia Sekretaris Jenderal, menggunakan

kesempatan yang berbahagia petang hari ini untuk menyampaikan rasa hormat saya yang sangat dalam dan penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada semua lapisan, golongan, dan generasi bangsa saya yang berdiam ribuan mil jauhnya dari tempat upacara ini.

Izinkan saya juga menyampaikan ucapan selamat yang sehangat-hangatnya kepada mereka semua, karena saat ini, Presiden mereka, atas nama mereka, menerima anugerah penghargaan yang mereka nilai sangat tinggi ini. Termasuk di dalamnya para ulama, tenaga penyuluh, tenaga kesehatan yang memberi pelayanan, pemuka-pemuka masyarakat, pimpinan organisasi wanita dan pemuda, dalam daftar deretan panjang lainnya. Sesungguhnyalah, anugerah dan kehormatan ini tertuju kepada mereka semua.

Ungkapan saya tadi bukan hanya terhadap kelompok penduduk yang ikut aktif dalam program keluarga berencana-seperti jutaan pasangan usia muda yang menjadi akseptor KB tetapi juga terhadap kelompok lain yang tidak lagi dapat aktif namun memberikan sumbangannya dengan menerima dan aktif dalam arus perubahan nilai sosial budaya dan norma kekeluargaan yang berlangsung. Misalnya, para orang tua yang tidak lagi mendorong putera-puterinya untuk menikah pada usia yang terlalu muda atau mempunyai banyak anak.

Masalah kependudukan di Indonesia bukanlah hal sederhana. Masalah ini mempunyai banyak segi. Pada tahap-tahap awal malahan rumit, kadang-kadang sangat rumit dan peka sekali. Sebagai umumnya negara berkembang, kami mempunyai jurnlah penduduk yang cukup besar, dengan pertumbuhan yang tinggi. Pada waktu memulai pembangunan nasional berencana 20 tahun yang lalu, penduduk kami berjumlah sekitar 120 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,3% setahunnya. Dewasa ini jumlah itu telah mencapai 178 juta, dan untuk dasawarsa ke depan masih akan bertambah terus.

Memang benar, Negara kami cukup luas terdiri dari 13.000 pulau-pulau dengan daratan hampir dua juta kilometer persegi, yang tersebar pada perairan dengan bentangan yang panjangnya melebihi bentangan dari pantai Barat ke pantai Timur Amerika Serikat. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa besarnya jumlah penduduk kami sebenamya tidak usah dikhawatirkan.

Namun tidak semua daerah yang luas itu subur atau dapat dihuni oleh penduduk. Di samping itu kami menghadapi pula masalah yang khas, yaitu persebaran penduduk yang tidak seimbang dan merata di setiap pelosok negeri. Sebagian besar, 108 juta jiwa atau sekitar 60% dari seluruh penduduk berada di pulau Jawa yang luasnya hanya kurang lebih 1% dari seluruh luas daratan Indonesia. Sisanya terpencar di pulau-pulau lainnya, di antaranya ada yang hampir tidak ditempati manusia. Kepadatan penduduk di Jawa mencapai lebih dari 800 orang perkilometer persegi, sementara propinsi kami yang terbesar Irian Jaya hanya dihuni oleh empat orang perkilometer persegi.

Keadaan seperti itu tentu tidak dapat dibiarkan berlanjut. Sebab, penduduk kami akan merupakan beban dan kendala yang besar bagi pembangunan nasional dan bukan merupakan modal yang potensial, dipandang dari berbagai sisi. Pada satu sisi, jumlah penduduk yang besar, dengan latar belakang sosial ekonomi yang rendah, akan mengakibatkan beban yang makin berat terhadap lingkungan hidup.

Di beberapa wilayah beban ini telah melebihi kemampuan sumber alam dan ruang, sehingga tidak lagi sanggup mendukung kebutuhan penduduknya. Karena jumlah penduduk tetap bertambah terus di wilayah seperti. itu, lahan dan sumber alam yang telah merosot sering dikuras tanpa perhitungan sekedar untuk mempertahankan hidup. Akibatnya mudah diduga, ialah kualitas lingkungan mengalami kemerosotan yang amat cepat, sementara lahan pertanian berubah menjadi daerah kritis atau tanah yang kelaparan.

Namun pada sisi lain, terdapat pula wilayah atau pulau-pulau yang kosong penduduk, yang potensi dan sumber dayanya tidak dapat dimanfaatkan dengan baik untuk peningkatan kesejahteraan rakyat serta pengadaan lapangan kerja. Persebaran penduduk yang tidak merata juga mengakibatkan ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Menyadari keadaan yang berat itu, maka kami memberikan perhatian yang besar pada masalah kependudukan semenjak awal pembangunan nasional. Untuk itu kami melancarkan berbagai program kependudukan terutama keluarga berencana atau pengendalian kelahiran, peningkatan kesehatan, peningkatan pendidikan, transmigrasi serta program-program lain yang mendorong gerak perpindahan penduduk ke daerah yang relatif masih kosong.

Pada saat saya menerima anugerah di hadapan hadirin semua sekarang ini, dalam pikiran saya terbayang kembali perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh berjuta­juta keluarga Indonesia sebelum kami memetik buah jerih payah kami semua.

Saya sangat bersyukur bahwa segala daya upaya itu telah mulai menunjukkan hasilnya. Perkenankanlah saya menyinggung sekilas hasil-hasil tersebut, khususnya di bidang keluarga berencana yang menjadi pusat perhatian hadirin sekalian. Tingkat pertumbuhan penduduk telah menurun mendekati 1,9%; meskipun angka kematian juga menurun.

Dalam 20 tahun terakhir ini, angka kelahiran kasar menurun dari 44 menjadi 29 per-1000 penduduk .Angka kelahiran total, atau jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita selama masa reproduksi rata-rata menurun dari 5,6 anakpada periode 1967-1970 menjadi 3,3 pada periode 1985-1989. Dapat kiranya dibayangkan, bahwa dewasa ini jumlah penduduk kami akan jauh lebih besar lagi andaikata program tersebut tidak berhasil dilaksanakan. Andaikata itu terjadi, upaya pembangunan di berbagai sektor, seperti kenaikan produksi pangan, tidak akan banyak artinya. Pertumbuhan ekonomi akan ditelan habis oleh pertumbuhan penduduk. Malahan bisa kurang.

Pelaksanaan program keluarga berencana nasional di Indonesia penuh dengan suka duka. Sebagian berupa kisah keberhasilan yang membuat kami berbesar hati. Kadang-kadang berupa kesulitan-kesulitan pelik, yang membuat karni prihatin. Semuanya tadi ingin saya utarakan di sini, untuk berbagi pengalaman dalam perjalanan umat manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan.

Salah satu kunci penting dari apa yang telah kami capai adalah komitmen politik. Begitu menandatangani deklarasi kependudukan pada tahun 1967, saya selaku Presiden secara langsung melakukan langkah-langkah untuk mengembangkan kebijaksanaan nasional kependudukan.

Langkah pertama adalah menggugah kesadaran para pemimpin dan tokoh masyarakat bahwa masalah kependudukan adalah masalah yang sentral dalam pembangunan nasional. Oleh karenanya kami bangkitkan kesadaran pimpinan dan tokoh masyarakat mengenai mutlaknya usaha pengendalian penduduk. Ringkasnya, keluarga berencana berkembang menjadi gerakan nasional, mulai dari puncak pemerintahan sampai ke segenap pelosok desa.

Kami mengembangkan strategi dasar kelembagaan dan pembudayaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Berdasarkan strategi ini, maka KB bukanlah semata-mata masalah kuantitatif demografis serta masalah klinis kontrasepsi , tetapi menyangkut usaha untuk mengadakan perombakan tata nilai dan norma.

Dengan demikian program KB merupakan bagian dari usaha pembaharuan bangsa, memerangi kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidak pedulian. Hal itu tercermin pada penggunaan kontrasepsi oleh pasangan usia subur yang meningkat drastis semenjak 1970 hingga sekarang, ialah dari hampir 0% menjadi 49%.Program KB yang semula memerlukan kampanye persuasi yang tekun, yang boleh dikatakan berlangsung dari pintu ke pintu, kini mulai menjelma menjadi gerakan KB Mandiri. Wawasan tradisional yang bangga akan keluarga besar dengan anak banyak, kini berubah ke arah wawasan yang kami namakan norma keluarga kecil, bahagia , dan sejahtera.

Saya menyadari semenjak semula bahwa jalan yang harus kami lalui untuk mencapai seperti hasil sekarang ini bukanlah jalan mudah. Pelaksanaan KB menyangkut hal-hal yang sangat peka yang menyentuh sikap dan nilai-nilai dasar. Sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di daerah pedesaan Indonesia, saya mengetahui betul bahwa program keluarga berencana membawakan pandangan baru yang tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai yang selama berabad-abad, turun­temurun , telah berakar kuat-kuat dalam masyarakat kami.

Dalam masyarakat pertanian yang tradisional, setiap anak adalah sumber kebahagiaan ia membawa rezekinya masing-masing, penolong sang ayah di ladang dan sang ibu di dapur, penawar hati orang tua dalam menghadapi kesulitan hidup. Tidak terlintas dalam ingatan masyarakat seperti itu, bahwa setiap anak itu juga membawa beban dan dapat menjadi sumber kesulitan kehidupan keluarga.

Tentu lebih tidak terlintas lagi bagi mereka, bahwa jumlah anak dari semua keluarga secara nasional akan dapat membebani keseluruhan bangsa kami. Bagi kebanyakan rakyat, tidak pula pernah terbayangkan dalam batas-batas pengetahuan mereka, bahwa keadaan hidupnya bahkan harapan usia hidupnya sebenarnya dapat mereka usahakan melalui cara hidup yang lebih sehat dan perencanaan keluarga yang lebih matang. Jelaslah bahwa ada jurang pemikiran yang lebar yang harus dilompati sebelum kami dapat memulai program ini.

Lompatan itu telah berhasil dilakukan. Ini, menurut hemat saya, adalah berkat peranan para peman gku norma sosial budaya yang dipercayai masyarakat, yaitu para pemuka agama serta pemuka masyarakat lainnya. Mereka mengingatkan kami semua bahwa anak bukanlah hanya milik orang tua yang dapat dianggap sebagai jaminan untuk hari tua, tetapi merupakan “titipan Tuhan”yang menjadi tanggungjawab setiap orang tua untuk membesarkan dan mendidiknya agar kelak menjadi manusia yang bertanggungjawab dan mandiri. Bagi masyarakat kami, yang umurnnya sangat kuat rasa keagamaann ya, pernikiran seperti itu merupakan terobosan yang membukakan jalan bagi pelaksanaan keluarga berencana.

Dalam pelaksanaannya, keberhasilan program itu sudah barang tentu sangat tergantung pada pengabdian para pekerja lapangan serta partisipasi berbagai kalangan dan organisasi masyarakat. Di antara partisipasi yang paling bermakna adalah kegiatan di tingkat desa. Hingga kini tidak kurang dari 200.000 institusi pedesaan berupa Kelompok Akseptor, PKK, Posyandu, dan sebagainya yang aktif bergerak. Mereka semua adalah ujung tombak program KB dalam menjangkau masyarakat , mulai dari daerah perkota an sampai ke desa-desa dan tempat-tempat yang terpencil.

Meskipun didukung oleh logistik serta sarana yang lengkap-umpamanya kami memproduksi sebagian besar kebutuhan alat kontrasepsi di dalam negeri sendiri – tugas ini cukup berat. Pelaksanaan keluarga berencana didasarkan pada azas sukarela, padahal KB tidak memberikan manfaat yang segera dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Untuk mempercepat pelembagaan dan pembudayaan norma, maka dilakukan berbagai upaya strategis. Pertama, berbeda dengan berbagai negara yang menggunakan sistem insentif untuk mempercepat proses penerimaan KB oleh masyarakat, di Indonesia kami menempuh pendekatan dengan sistem penghargaan, yaitu memberikan penghargaan kepada perorangan dan kelompok masyarakat yang telah mencapai suatu prestasi tertentu dalam program.

Upaya kedua adalah pendekatan kesejahteraan untuk memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa dengan berKB kami dikaitkan pula dengan program pembangunan di berbagai sector seperti pertanian, koperasi, industri kecil yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Berbagai penghargaan diberikan untuk mendorong partisipasi. Sebagai contoh, keluarga petani yang telah lima tahun ber-KB mendapat sumbangan bibit kelapa hibrida yang memberikan harapan tambahan pendapatan masa depannya. Contoh lainnya lagi 300 pasangan yang mewakili peserta KB Lestari (yang selama 10 dan 16 tahun terus menerus ber-KB) sekali dua tahun diundang ke Istana Presiden dari segenap penjuru, juga dari desa untuk menerima penghargaan langsung dari tangan Presidennya.

Sebenarnya jikalau kita pikirkan dalam-dalam ada lagi penyebab lain dari keberhasilan program ini yang juga memainkan peranan penting, namun peranannya sering dilupakan. Yang saya maksud adalah keseluruhan usaha pembangunan nasional Indonesia yang telah dijalankan secara berencana dan konsisten selama ini,semenjak dari REPELITA I sampai pada REPELITA V yang sedang kami mulai sekarang ini. Keseluruhan pembangunan nasional ini menyentuh semua sektor kehidupan, dan secara langsung atau tidak langsung mengembangkan nilai-nilai modern serta menciptakan kondisi yang mendorong masyarakat untuk melaksanakan keluarga berencana

Salah satu hasil pembangunan yang mempunyai pengaruh besar terhadap penurunan pertumbuhan penduduk adalah sektor pendidikan. Secara umum pendidikan yang makin luas dan makin tinggi membukakan cakrawala pandangan bagi masyarakat untuk maju dan menerima gagasan serta inovasi baru termasuk wawasan masa depan motivasi berkeluarga kecil, tanggungjawab terhadap anak, usia kawin yang lebih matang dan sebagainya.

Secara lebih khusus dengan terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih merata sampai ke pelosok yang jauh, makin banyak kelompok penduduk berusia muda yang menangguhkan perkawinan. Hasilnya usia kawin wanita meningkat dari umur 19 tahun menjadi 22 tahun. Peningkatan usia kawin ini juga merupakan hasil dari peningkatan peranan wanita dalam pembangunan, termasuk kesempatan belajar dan kesempatan bekerja yang lebih luas.Partisipasi wanita terhadap angkatan ketja terus meningkat sehingga makin banyak wanita yang menangguhkan perkawinan atau menunda mempunyai anak.

Perkembangan kependudukan di pengaruhi pula oleh keberhasilan pembangunan di sektor kesehatan. Pelayanan kesehatan yang menjangkau daerah pedesaan, peningkatan gizi, pembangunan sarana kesehatan lingkungan dan sanitasi, imunisasi maupun penyuluhan kesehatan masyarakat telah berhasil menurunkan angka kematian dalam dua dasawarsa ini dari 22 menjadi 8 per-1.000 penduduk.

Angka kematian bayi yang tadinya 142 menurun menjadi 58 per-1.000 kelahiran. Pada akhir REPELITA V nanti angka itu akan kami turunkan lagi menjadi 50 per-1.000 kelahiran. Usia harapan hidup juga bertambah, sehingga keluarga pedesaan tidak lagi dihinggapi kekhawatiran yang besar mengenai kerentanan hidup anak mereka, yang selama ini merupakan pendorong yang besar untuk mempunyai banyak anak. Sekarang mereka tidak perlu lagi melahirkan banyak anak untuk menjamin agar beberapa di antaranya dapat hidup terus. Usia harapan hidup yang lebih panjang ini mempunyai dampak pula terhadap usia kawin serta perilaku kependudukkan lainnya.

Kami merasakan berbahagia karena banyak pihak yang sengaja datang ke Indonesia untuk mempelajari “rahasia” keberhasilan tersebut. Mereka tentu kami sambut dengan senang hati. Meskipun demikian saya ingin menyatakan di sini dengan segala kejujuran dan kerendahan hati, bahwa jalan yang harus kami tempuh dalam bidang kependudukan masih akan sangat jauh Kami masih memerlukan beberapa dasawarsa lagi, sebelum mencapai penduduk yang stasioner atau yang sering disebut “penduduk tanpa pertumbuhan”. Menjelang itu jumlah penduduk yang bertambah dari tahun ke tahun akan tetap tinggi sebagai akibat dari besarnyajumlah kelompok penduduk beru sia muda, besarnya penurunan angka kematian, serta peningkatan usia hidup. Jelas kiranya, bahwa program keluarga berencana masih tetap akan merupakan kegiatan yang penting dan harus dilaksanakan dengan upaya yang makin meningkat dalam REPELITA V dari selanjutnya.

Kendatipun demikian, pendekatan kualitatif dengan pengendalian kelahiran itu tidak lagi akan mencukupi dalam menghadapi tantangan kependudukan di masa-masa yang akan datang. Betapapun juga berhasilnya pendekatan ini, jumlah penduduk Indonesia mau tidak mau akan melampaui angka 200 juta pada awal abad ke-21. Tuntutan dan kebutuhan mereka pun akan makin meningkat; baik terhadap lapangan kerja, sarana kehidupan, energi renang, maupun sumber alam. Beban yang dipikul lingkungan hidup akan makin berat, sehingga dapat mengancam kesinambungan pembangunan untuk generasi-generasi seterusnya.

Pada saat ini pun, ketika kita belum memasuki abad baru itu, telah terasa bahwa tuntutan terhadap manusia si penduduk juga akan makin meningkat antara lain, terhadap kemampuan, pendidikan, wawasan daya penyesuaian serta cara dia memperlakukan lingkungan hidup atau memanfaatkan sumber daya.

Tantangan itu terasa lebih berat lagi bagi karni di negara-negara berkembang, karena kami terus mengejar ketertinggalan di masa yang lalu,ditambah lagi dengan lompatan yang sedang dilakukan negara-negara maju dengan segala kemajuan teknologinya.

Semua itu berarti, bahwa yang dituntut dari penduduk karni menjelang abad ke- 21 tidak saja terbatas pada keseimbangan jumlah, tetapi juga kualitas yang lebih memadai dan sesuai dengan perubahan zaman yang terjadi dengan cepat.

Tuntutan dan tantangan seperti itu sudah tentu harus dihadapi dengan pendekatan yang lebih terpadu, kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif melihat jumlah manusia yang besar sebagai kendala dan membatasi diri pada usaha mencegah kendala itu. Sebenarnya yang harus kita tanggulangi bukan hanya jumlah penduduk yang besar tetapi kualitas yang melekat pada jumlah itu. Penduduk yang besar memang akan merupakan kendala bagi lingkungan, yaitu apabila tidak mempunyai kualitas yang memadai.

Namun jumlah yang besar itu sebenamya dapat merupakan modal yang sangat besar pula, andaikata dapat dikembangkan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, yang dapat memanfaatkan sumber daya alam secara arif dan berkelanjutan seraya menopang kehidupan manusia itu sendiri.

Bagi kami di Indonesia hal ini sangat penting karena tujuan akhir dari pembangunan kami adalah membangun manusia seutuhnya tidak hanya dari segi kuantitatif. Tidak hanya sebagai kendala, tetapi juga sebagai sumber daya. Karena itu dalam menyongsong Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun karni yang kedua yang akan dimulai dengan REPELITA VI pada tahun 1994 strategi kependudukan Indonesia akan mencakup pula pendekatan kualitatif yang lebih tertuju pada pengembangan potensi penduduk dalam pembangunan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam negara kami, yang menetapkan garis-garis besar haluan negara kami, bahkan telah menentukan bahwa pusat pembangunan pada tahap baru itu adalah peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia.

Saya mengusulkan agar perhatian kita bersama juga sudah harus mulai diarahkan pada masalah tersebut. Bantuan negara maju dan badan internasional akan lebih membawakan hasil yang lebih bermanfaat, apabila juga ditujukan pada pemecahan masalah kualitatif ini. Saya mengimbau agar kita bersama-sama memikirkan bagaimana menjadikan penduduk dunia ini sebagai modal bagi pembangunan yang berkelanjutan, yang sama-sama sepakat untuk menciptakan kehidupan umat manusia yang lebih baik. Keberhasilan upaya Indonesia di bidang kependudukan selama ini tentu tidak terlepas dari dukungan yang diberikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan segenap organisasinya termasuk Dana Kependudukan PBB. Demikian juga bantuan, dana maupun pemikiran, yang kami peroleh dari negara-negara sahabat serta badan­badan internasional lainnya.

Ketika akan memasuki tahap jangka panjang pembangunan nasional kami yang baru, bangsa saya pun menolehkan pandangan dan tetap mengharapkan kerja sama serta perhatian yang lebih besar dari Anda semua, termasuk seluruh negara-negara maju.

Memang, sayajuga tahu, bahwa masyarakat di banyak negara maju mempunyai prioritas yang lain atau pandangan yang berbeda mengenai masalah ini. Mereka yang mempunyai penduduk yang telah stabil dan pendapatan yang tinggi, merasa tidak berkepentingan atau tidak mau memahami betapa beratnya bobot masalah kependudukan negara-negara berkembang seperti kami.

Ada pula yang melihat masalah kependudukan negara berkembang dalam konteks pemikiran dan perdebatan mengenai masalah yang khas di dalam negeri mereka sendiri, sehingga lupa akan perbedaan masalah yang dihadapi masing-masing. Sebagai akibat, negara­negara kaya yang semestinya dapat berbuat lebih banyak, justm belum cukup berbuat untuk menanggulangi masalah kependudukan sedunia.

Namun, masalah kuantitas dan kualitas yang dihadapi oleh mayoritas umat manusia yang berada di negara berkembang ini, pasti akan membawakan dampak terhadap pertumbuhan dan kehidupan seluruh bangsa di muka bumi kita yang satu ini. Karena itu, sekali lagi, perkenankanlah saya mengimbau perhatian dan keterlibatan negara-negara maju dalam memecahkan masalah kependudukan yang mempakan unsur pokok dari pembangunan berkelanjutan secara global.

Akhirnya pada kesempatan yang baik ini, saya ingin menyampaikan ucapan selamat kepada Dana Kependudukan PBB (UNFPA) atas ulang tahunnya yang ke-20 pada tahun ini. Dalam usianya yang sesingkat itu, lembaga ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap program kependudukan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya .Mengingat bahwa tantangan yang kita hadapi dalam bidang kependudukan makin luas, makin besar, dan makin mendesak, maka saya sangat berharap, Yang Mulia Sekretaris Jenderal, agar Dana ini dapat terus memainkan peranannya dengan cara yang lebih meningkat lagi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, memberkahi langkah-langkah kita menuju kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemuliaan hidup semua orang. (SA)

 

 

Sumber :PELITA (12/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 895-903.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.