MENJENGUK SEORANG PEJUANG III (HABIS) PEMBERONTAKAN DAN PON III

MENJENGUK SEORANG PEJUANG III (HABIS) PEMBERONTAKAN DAN PON III

Jakarta, Pelita

PON III serentak bersama pemberontakan Daud Beureueh membikin ramai dan heboh itu kota propinsi Sumatera Utara bersama Wakil Presiden Moh. Hatta. Komando Nasional Presiden Soekarno serentak pula mengiringi Musyawarah Aceh menyongsong perdamaian. Dan ucapan Alhamdulillah Daud Beureueh serentak juga dengan seru keikhlasan rombongan Menteri Bustanil Arifin.

PON III dan Pemberontakan Kisah perjuangan Daud Beureueh yang penting juga dicatat ialah waktu Aceh menuntut satu propinsi istimewa buat Aceh. Maksud itu belum sempat terkabul, beliau dipindahkan ke Jakarta, ke Departemen Dalam Negeri.

Beliau juga jadi anggota Parlemen dan Dewan Pertimbangan Agung. Tetapi beliau tak kunjung datang ke Jakarta. Pemah meminta berhenti dengan hormat.

Beberapa bulan kemudian sejak tanggal 20 September 1953 Daud Beureueh dan pengikutnya menentang RI dan mengumumkan Nll (Negara Islam Indonesia) berdiri di Aceh dengan melancarkan pemberontakan.

Terjadi kerusuhan di wilayah Aceh, yaitu di Langsa, Peurelak, Pidi, Lhokseumawe, Bireuen. Takengon, Sigli, Meulaboh yang meliputi hampir semua kawasan utama Aceh. Daud Beureueh disebut Gubemur Sipil/Militer Aceh dan sekitarnya.

Pemberontakan diawali pada saat sedang berlangsungnya Pekan Olahraga Nasional (PON) III di Medan yang dihadiri Wakil Presiden Hatta, Wakil Perdana Menteri Wongsonegoro, Jenderal Simatupang, Menteri Penerangan, Dr. Perdinand L. Tobing.

Disebabkan timbulnya pemberontakan di Aceh, propinsi Sumatera Utara dipimpin Gubernur baru mulai 6 Oktober 1953, yaitu Mr. SM. Amin Krungraba Nasution, putera kelahiran Aceh.

Dikatakan beliau pada hari pengangkatannya di Medan, bahwa tragisnya, mereka yang mengambil peranan di tempat itu pada hakekatnya adalah sahabat-sahabatnya di masa lampau, yang sebenarnya tenaga­tenaga yang memberikan pengabdian yang bukan kecil artinya dalam pembentukan Negara kita yang merdeka sekarang ini.

Akhirnya, diharapkan bantuan yang penuh dari rakyat. Tidak lama sesudah dilakukan timbang terima, Gubernur Amin beserta rombongan dari Medan berangkat dengan pesawat terbang ke Banda Aceh, dan mendarat dilapangan terbang Maimun Saleh. Antara lain ikut serta penulis karangan ini sebagai unsur pimpinan jawatan Penerangan Propinsi Sumatera Utara.

Dalam pertemuan di Pendopo Banda Aceh, Gubernur Amin selaku wakil Pemerintah Pusat mengatakan. Berkat kerjasama akan dapat kita atasi keadaan yang sulit dewasa ini. Kita harus melaksanakan kewajiban kita sebagaimana mestinya menurut undang-undang.

Diserukannya, kepada mereka yang masih melakukan perlawanan senjata, supaya mengakhiri perlawanan. Bila menyerah diberikan jaminan tidak akan terjadi perlakuan sewenang-wenang. Setiap orang yang menyerah akan diperlakukan sesuai ketentuan­ketentuan hukum.

Rombongan yang mewakili Pemerintah pusat yang dipimpin Gubemur Amin yang didampingi Moh. Ali Panglima Polem yang turut serta dari Banda Aceh melalui jalan darat menuju arah timur ke Seuliemeum. Ditegaskan dengan jalan laut berlayar menyusur Pantai Selat Malaka sampai ke Panti Beureuen.

Dari sini dengan jalan darat menjurus barat melalui Meureudu, Lammeulo mencapai Sigli untuk terus ke Banda Aceh. Yang ditempuh dengan tidak mudah ialah jarak sejauh Jakarta-Semarang dalam keadaan yang menegangkan, dengan bermalam dibeberapa tempat.

Dalam peristiwa pemberontakan Daud Beureueh dari 10 September 1953 sampai 15 Mei 1954 secara kronologis tercatat sekitar 20 kasus kemiliteran dalam bentuk penyerbuan, perusakan jembatan-jembatan, pertempuran, tembak-menembak, perebutan senjata, pendudukan militer, pembersihan pasukan bersenjata, serangan bersenjata, pemukulan mundur gerombolan, pelaporan kepada pos tentara, tindakan menghadapi pemberontak, perbaikan kembali jalan-jalan kereta api, tersimpul menyeluruh di hampir semua tempat yang penting di Aceh.

Pengalaman fakta nyata strategis di lapangan pemberontakan bersenjata yang tak terlupakan selama hidupku.

Komando Presiden dan Mardatillah

DeIapan tahun kemudian ditahun 1961 suasana politik di Aceh sudah bertukar cerah, khas disebabkan persoalan nasional Irian Barat. Turut meledak di Aceh karena Presiden Panglima Tertinggi Soekarno selaku Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat dimuka rapat raksasa yang dihadiri sekitar sejuta rakyat di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 mengumumkan Komando Nasional.

Beliau memerintahkan seluruh rakyat Indonesia untuk menggagalkan pembentukan “negara boneka papua” yang didalangi BeIanda. Sebaliknya agar mengakibatkan Merah-putih dan bersiap untuk mobilisasi umum.

Pada 19 Desember 1961 itu juga Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Daerah Istimewa Aceh melangsungkan Musyawarah Pemerintah Istimewa Aceh yang dipimpin Gubemur Kepala Daerah Istimewa Aceh, A. Hasjmy. Hal ini terjadi satu jam Komando Presiden Soekamo menggempita di Yogyakarta.

Musyawarah Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan Pernyataan No.263/1961 tertanggal 19 Desember 1961, ditandatangani A. Hasjmy yang antara lain menyatakan Mentaati dan melaksanakan sepenuhnya Komando Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia.

Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno Panglima Besar Komando Pembebasan Irian Barat yang diucapkan dalam rapat raksasa di Yogyakarta.

Menyerulah nurani rakyat Aceh Habis gelap, terbitlah terang!

Roda sejarah pergolakan Aceh dengan berbagai variasi putarannya berjalan terus dengan pasang naik dan pasang surut selama deIapan tahun, tepatnya periode 1954-1962. Bagaimanakah Daud Beureueh kembali ke pangkuan Republik Indonesia?

Waktu itu tanggal 17 Februari 1962. Tercapai persetujuan antara Panglima KODAM 1/Iskandar Muda di Aceh dan Daud Beureueh.

Berarti tertembuslah jalan buntu yang telah menghentikan pembicaraan surat-menyurat antara Kolonel Jasin dan beliau yang telah dimulai sejak 7 Maret 1961.

Dengan tercapainya persetujuan antara kedua tokoh itu, mulai sempurnalah usaha pemulihan keamanan dan penciptaan perdamaian secara keseluruhan di wilayah Aceh.

Pada 9 Mei 1962 Letkol Nyak Adam Kamil, Kepala Staf KODAM II Iskandar Muda bersama satu kompi TNI menjemput Daud Beureueh bersama stafnya, ditambah dengan dua kelompok pasukannya. Mereka ini bergerak dari tempat yang mereka sebut A’la atau Mardatillah.

Setelah beristirahat dan bermalam di beberapa tempat, pada 14 Mei 1962 atau 10 Zulhijjah 1381 Daud Beureueh dan rombongan, bersama kaum Muslimin Banda Aceh yang telah berpisah dengan beliau hampir sembilan tahun lamanya, di Banda Aceh menunaikan shalat ldul Adha yang amat berkesan.

Pada 24 Mei 1962 di ibu kota itu diadakanlah kenduri besar sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan. Juga sebagai manifestasi kegembiraan atas pulihnya keamanan di seluruh Aceh, dan terciptanya perdamaian yang sudah sekian lama dinanti-nantikan, baik oleh pemerintah, maupun oleh rakyat.

Alhamdulillah Bersama

Sekitar 26 tahun kemudian sesudah rapat raksasa sejuta manusia di Yogyakarta itu, kita berada di tengah lukisan berita, bahwa Menteri Koperasi/ Kabulog Bustanil Arifin, sebagai utusan Presiden Soeharto, bersama rombongan, antara lain Dirut Pertamina Abdul Rahman Ramly, Gubemur Aceh Ibrahim Hasan, bekas Gubemur A. Muzakir Walad, anggota DPR-Rl Moehammadiyah Hadji H datang menjenguk Daud Beureueh.

Di awal karangan ini disebut Daud Beureueh dihitung sampai awal tahun 1987 telah lima tahun dalam keadaan sakit tua, dan dalam keadaan labil. Hal ini mengetuk hati nurani Presiden Soeharto mengutus Menteri Bustanil Arifin dan rombongan datang menjumpai beliau.

Memerlukan menjenguk dengan sambung rasa cinta kasih dan harapan, agar kiranya tokoh pejuang utama itu dipulihkan Allah kesehatannya.

Pada kesempatan tersebut Pak Bu stanil menyerahkan sehelai cek Rp. 10 juta ke tangan Ayah Daud. Sejurus kemudian, samar-samar perlahan terdengar suara Alhamdulillah, setelah Pak Bustanil membisikkan adalah itu bantuan dari Presiden.

Ucapan Alhamdulillah serempak dari hadirin mencerahkan suasana hening tenang penuh kedamaian. Simbolis, kita bersama pun turut menjenguk sampai ke tempat beliau terus berbaring, dan menatap wajah khalis beliau dengan pandangan kenangan beberapa penggal sejarah perjuangannya yang bernilai tinggi.

Allah juga yang Maha Kuasa dan menentukan sesuatu yang dikehendaki­Nya …!

 

Sumber: PELITA (16/02/1987)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 765-769

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.