MENKO EKUIN TTG EKSPOR NON MIGAS & PARIWISATA
Jakarta, Antara
Pemerintah hari Kamis mengeluarkan serangkaian kebijaksaan ekonomi untuk mendorong ekspor komoditi non migas dan pariwisata, yang tertuang dalam 48 keputusan berbentuk Peraturan Pemerintah, Keppres, Inpres, SK Menteri dan Ketua BKPM.
Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana yang menjelaskan hal itu kepada pers sesudah membahas langkah-langkah itu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Kamis mengatakan selama ini pemerintah telah mengeluarkan lima paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi.
“Langkah-langkah itu telah memberikan hasil positif dalam menekan biaya ekonomi tinggi serta meningkatkan efisiensi industri nasional, sehingga kapasitas produksi dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin,” kata Ali Wardhana. Ia datang bersama Mendag Rachmat Saleh, Menperin Hartarto, Menpan Saleh Afif, Menkeu Radius Prawiro, Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita.
Dalam pertemuan dengan Kepala Negara juga nampak hadir Mensesneg Sudharmono, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas JB Sumarlin.
Kebijaksanaan deregulasi dalam menunjang ekspor komoditi non migas antara lain adalah penyederhanaan izin ekspor dengan menghapus Angka Pengenal Eksportir (APE), Angka Pengenal Eksportir Terbatas (APET), serta Angka Pengenal Eksportir Sementara (APES).
Impor
Ali Wardhana dalam kesempatan itu juga mengemukakan bahwa sementara itu, berbagai barang yang termasuk dalam 65 tarif pos (CCCN) bea masuknya diturunkan dengan tujuan memberikan kemudahan bagi pembangunan industri. Sebaliknya 91 komoditi industri impor dinaikkan bea masuknya untuk melindungi industri dalam negeri.
Ketika menjelaskan tentang perusahan yang tidak memanfaatkan fasilitas PMA dan PMDN, Ali Wardhana menyebutkan badan-badan usaha tersebut yang mengekspor hasil produksinya mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan PPN bagi mesin serta mesin peralatan pabrik yang diimpornya.
Menko Ekuin dan Wasbang menjelaskan pula ketentuan tentang persyaratan pemilikan saham nasional pada perusahaan PMA, dengan mengatakan bahwa perusahaan PMA harus berbentuk usaha patungan dengan penyertaan modal nasional sekurang- kurangnya 20 persen dan meningkat menjadi sekurang-kurangnya 51 persen dalam waktu 15 tahun.
Ketentuan lain ialah perusahaan PMA yang nilai investasinya sekurang-kurangnya sepuluh juta dolar AS, berlokasi di daerah terpencil, atau sebagian besar hasil produksinya diekspor (sekurang kurangnya 65 persen) dapat didirikan dengan saham nasional minimal lima persen.
Disamping itu, persyaratan bagi perusahaan PMA yang ingin memperoleh perlakuan I status yang sama dengan PMDN dipermudah maka minimal 51 persen sahamnya dimiliki nasional atau minimal 45 persen saharnnya dimiliki nasional dan 20 persen dari jumlah seluruh saham dijual melalui pasar modal.
Sumber: ANTARA (24/12/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 597-598