MENTERI HASJRUL TTG LEVY MINYAK  NABATI ASEAN

MENTERI HASJRUL TTG LEVY MINYAK  NABATI ASEAN

Jakarta, Antara

ASEAN akan terus berjuang untuk menggagalkan rencana pengenaan pungutan tambahan levy terhadap minyak nabati, karena pungutan itu bertentangan dengan Persetujuan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, Hasjrul Harahap, menjelaskan kepada wartawan di Jakarta Rabu bahwa levy itu selain akan menambah biaya secara tidak adil bagi perdagangan bebas, juga akan mengurangi daya saing minyak nabati ASEAN di Eropa.

Setelah melapor kepada Presiden Soeharto di Bina Graha tentang hasil tugasnya ke Eropa bersama para menteri ASEAN lain.

Hasjrul Harahap Rabu siang itu melapor kepada Presiden Soeharto tentang hasil tugasnya ke Eropa bersama para menteri ASEAN lain untuk memperjuangkan agar levy terhadap minyak sawit dan minyak kelapa dari ASEAN tidak diberlakukan MEE.

Sampai sekarang, kata  Harahap  kepada  wartawan,  levy itu  tidak  berhasil diberlakukan karena empat negara anggota MEE menentang pungutan itu, yakni Jerman Barat, lnggeris, Belanda dan Denmark.

Hal tersebut sangat mengkhawatirkan negara-negara ASEAN karena ASEAN merupakan pengekspor minyak nabati, khususnya minyak sawit dan minyak kelapa, yang cukup besar ke MEE.

Sehubungan dengan itu Presiden memerintahkan Hasjrul Harahap agar bersama menteri ASEAN lain terus melakukan “lobbying” dengan negara-negara MEE untuk memberi pengertian bahwa levy itu bertentangan dengan GATT serta akan merugikan MEE sendiri.

Usul pemberlakuan levy terhadap minyak nabati telah diajukan sejak hampir 25 tahun lalu, yaitu tahun 1963, namun usul itu selalu ditolak Dewan MEE (EEC Council).

MEE berdalih levy itu diperlukan untuk menyetabilkan produksi minyak-minyak nabati dan pada akhirnya menyetabilkan harga, baik itu minyak dari Eropa sendiri maupun dari ASEAN dan Amerika.

Anggaran subsidi bidang pertanian berdasarkan kebijakan pertanian berama (CAP) MEE terus meningkat dari 216 juta unit mata uang Eropa (ECU) pada tahun 1979 menjadi 946 juta ECU pada tahun  1983 dan menjadi  1.712 juta ECU pada 1986 bahkan ditaksir pada tahun 1991 anggaran itu akan melampaui enam milyar ECU, di antaranya dua milyar ECU akibat dari masuknya Spanyol dan Portugal ke dalam MEE.

Negara yang menyetujui pengenaan levy adalah Spanyol, Italia, Yunani, Perancis, Luxemburg, Irlandia dan Belgia. Namun karena ada empat negara menentang sampai kini levy itu tidak dapat diberlakukan.

Bagi Indonesia sendiri, apabila levy itu berlaku maka akan menimbulkan kerugian 43 juta ECU per tahun (satu ECU sama dengan 1,16 dolar AS). perkiraan kerugian itu berdasarkan volume ekspor minyak sawit kasar (CPO) Indonesia ke Eropa yang rata-rata 194.600 ton/tahun, dengan harga rata-rata 568,28 ECU/ton (CIF) Bea masuk 4% Apabila levy sebesar 330 ECU/ton dikenakan pada minyak sawit Indonesia, maka harga setelah diolah akan menjadi 921 ECU/ton, agar minyak sawit Indonesia tetap dapat bersaing di pasaran Eropa menghadapi saingan dari minyak kedele maka harus diturunkan harga CPO-nya 221 ECU/ton.

Sumber:  ANTARA (9/12/1987)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 592-593

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.