MENURUT PRESIDEN  SOEHARTO LEMBAGA KEAGAMAAN  PERLU LAKUKAN TEROBOSAN

MENURUT PRESIDEN  SOEHARTO LEMBAGA KEAGAMAAN  PERLU LAKUKAN TEROBOSAN

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto menilai, salah satu kelemahan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan termasuk lembaga keagamaan, adalah kecenderungan untuk puas dengan hal-hal yang bersifat rutin. Padahal masyarakat dan bangsa yang sedang membangun memerlukan terobosan-terobosan. Tanpa terobosan-terobosan bangsa Indonesia akan tetap ketinggalan.

“Dewasa ini kita sedang berlomba dengan waktu dalam dunia yang mengalami perubahan yang begitu cepat dan kemajuan-kemajuan yang begitu pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita juga berlomba dengan waktu karena masih banyaknya masalah-masalah sosial ekonomi yang harus kita tanggulangi,” kata Kepala Negara dalam sambutannya ketika menerima para peserta rapat Kerja Majelis Ulama Indonesia (Raker MUI) di Bina Graha, Rabu.

Untuk menghadapi berbagai masalah tersebut, menurut Presiden, tidak mempunyai jalan lain kecuali memacu masyarakat dan umat untuk memajukan diri dengan memadukan seluruh daya. Dakwah bil-hal (dakwah dengan perbuatan) adalah salah satu usaha untuk memacu diri itu.

Ditegaskan, kedudukan dan peranan lembaga-lembaga dakwah khususnya dan lembaga-lembaga agama pada umumnya sangatlah penting. Kegiatan dakwah sangat mempengaruhi alam pikiran dan sikap hidup bangsa.

“Sekarang yang harus dilakukan adalah mengerahkan dan mengarahkan kegiatan lembaga-lembaga itu sehingga benar-benar berperan dalam usaha besar bangsa Indonesia, membangun masyarakat Pancasila yang dicita-citakan bersama”, tuturnya.

Kepala Negara juga menekankan, dengan  dakwah  bil-hal,  berarti  bangsa Indonesia harus makin mcningkatkan perhatian terhadap masalah-masalah pembangunan ekonomi, disamping pendidikan dan masalah sosial lainnya.

Presiden mengakui bahwa berbagai organisasi keagamaan telah banyak berbuat dalam dakwah tersebut. Namun, persoalan yang harus dipikirkan bersama sekarang ini adalah bagaimana agar dakwah bil-hal itu tidak sekedar membantu orang-orang miskin dengan memberi bantuan atau santunan, tapi bagaimana memberi kemampuan kepada mereka agar dapat berdiri tegak dengan kekuatan mereka sendiri.

Dijelaskan pula, salah satu masalah besar yang kini dihadapi dan harus ditanggulangi adalah pengangguran. Masalah ini merupakan salah satu kunci penting bagi terwujudnya kesejahteraan dan ketentraman masyarakat.

“Besarnya jumlah pengangguran bukan saja merupakan beban bagi masyarakat, akan tetapi juga merupakan penghambat bagi bangkitnya potensi sumber daya insani yang merupakan kekuatan penggerak pembangunan”, katanya.

Disebutkan jawaban terhadap masalah pengangguran memang membuka kesempatan kerja yang luas. Akan tetapi ada hal lain yang tidak kalah pentingnya, ialah sikap terhadap kerja itu sendiri.

Harus dikembangkan sikap bahwa bekerja bukan sekedar mempunyai arti ekonomis atau mencari nafkah belaka. Bekerja bagi manusia juga harus mengungkapkan harga diri. percaya diri, tanggung jawab dan kemuliaan hidup. Untuk membangkitkan  nilai-nilai luhur dalam bekerja itu, maka para ulama dapat berbuat banyak.

“Kita harus membangkitkan kesadaran, terutama di kalangan generasi muda. bahwa kerja itu, apapun bentuknya asalkan halal, adalah mulia. Agama Islam memberi ternpat yang sangat terhormat kepada kerja. Dari agama Islam kerja itu adalah jihad, kerja adalah ibadah. Oleh karena itu, semangat dan sikap agama Islam terhadap kerja yang demikian tadi perlu ditanamkan terus menerus di kalangan masyarakat,”tutur Presiden Soeharto.

Kepala Negara mengingatkan, tugas mulia para ulama dan pemuka agama adalah bagaimana memberi arah agar nilai-nilai agama dapat menyemangati, menjiwai dan mewamai gerak pembangunan masyarakat.

Disebutkan, pendidikan agama bukan sekedar mengalihkan pengetahuan keagamaan, akan tetapi hendaknya dapat membentuk kepribadian dan memuliakan tujuan hidup. Oleh karena itu para ulama dan pemuka-pemuka agama dihimbau agar selalu memberikan perhatian pada usaha peningkatan pendidikan agama, terutama pada generasi muda.

Sementara itu Ketua Umum MUI, K.H. Hasan Basri dalam laporannya mengatakan Rakemas MUI yang dimulai tanggal 22 Nopember lalu itu dihadiri oleh pengurus MUI Pusat, pengurus MUI daerah Tingkat I seluruh Indonesia, pimpinan organisasi Islam tingkat nasional dan para cendekiawan Muslim.

Di samping dihadiri pula oleh 13 ulama dari Malaysia, tiga ulama Brunei Darussalam dan tiga ulama dari Singapura, sehingga jumlah peserta seluruhnya 137 orang.

Tujuannya, sebagai upaya untuk lebih meningkatkan fungsi dan peranan MUI di masa yang akan datang, sesuai dengan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga.

Thema Raker kali ini adalah “Dengan Peningkatan Dakwah Bil-Hal. Kita Tingkatkan Kehidupan Umat Menuju Masyarakat Sejahtera Lahir-Bathin Dalam Negara RI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Disebutkan, yang menjadi fokus dalam pembinaan dan bimbingan umat adalah dakwah Islamiyah, Tarbiyah Islamiyah dan Ukhuwah Islamiyah. Dalam hal dakwah Islamiyah, Raker bertekad untuk meningkatkan dakwah bil-hal selain dakwah bil lisan, untuk mempertebal iman, meningkatkan taqwa, mempertinggi akhlakul karimah dan meningkatkan taraf hidup umat dalam upaya memelihara keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani sesuai dengan prinsip pembangunan manusia Indonesia.

Adapun keputusan Rakemas tentang masalah internasional antara lain masalah perdamaian dunia, pelestarian lingkungan hidup, penyelesaian perang Teluk. Palestina, Tragedi Mekkah, Afghanistan, ASEAN dan Ukhuwah Islamiyah diantara umat sekawasan.

Islam Tak Ada Fatwa

Rakemas yang berlangsung tiga hari itu ditutup oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali Selasa malam. Dalam Rakemas kali ini tampaknya MUI tidak mengeluarkan fatwanya yang baru, namun banyak hasil yang ditetapkan untuk lebih dikedepankan, khususnya pendidikan calon kader ulama.

Proyek ini akan dimulai pada tahun 1988/1990 dan sudah mendapat restu dari Presiden Soeharto. Yang berkaitan dengan fatwa, yang dihasilkan bukan fatwanya, tapi menyeragamkan tata cara mengeluarkan suatu fatwa dan menyebarluaskannya.

Namun demikian rekomendasi yang dikeluarkan MUI kali ini cukup banyak, baik yang bersifat kepentingan dalam negeri sendiri, maupun yang berkaitan dengan dunia internasional tadi.

Rakemas juga mengemukakan kesimpulannya mengenai akses sampingan dari kemajuan teknologi. MUI minta, agar menanamkan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, terutama para ilmuannya dan teknologi bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi itu pada hakekatnya adalah karunia Allah. Merusak kehidupan manusia dan kelestarian alam lingkungan adalah perbuatan tercela yang dimurkai Allah.

Dalam rekomendasinya itu MUI mempertegas harapannya supaya ada upaya terus menerus memelihara kepribadian dan moral bangsa yang sudah berakar atas dasar norma-norma agama dari pengaruh-pengaruh luar seperti kebudayaan asing yang berlawanan dengan norma agama dan moral Pancasila.

Disamping itu mencegah kemaksiatan yang merusak kehidupan jasmani atau pun rohani seperti perjudian, penyalahgunaan narkotika, minuman keras, perjinahan, korupsi, kriminalitas, dan segala bentuk kemaksiatan, lainnya. Juga diharapkan adanya tindakan tegas terhadap pelanggar hukum.

Rakemas MUI juga minta, agar iklan maupun hiburan melalui TVRI dan RRI perlu menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif.

Sumber: MERDEKA (26/11/1987)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 656-659

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.