Jakarta, 3 Agustus 1998
Kepada
Yth. Bapak H. M. Soeharto
di Jl. Cendana Jakarta
MEREALISIR GAGASAN IBU TIEN [1]
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan hormat,
Pertama-tama sekali iringan maaf saya menyertai surat ini apabila kehadirannya mengganggu kesibukan dan waktu istirahat Bapak beserta keluarga, di samping doa dan penghargaan semoga senantiasa diridhoi Allah SWT serta panjang usia.
Pak Harto yang saya hormati,
Pada kesempatan ini ijinkanlah saya selaku rakyat Indonesia yang sejak dulu mengagumi figur Bapak baik semasa aktif di kemiliteran maupun setelah menjadi Bapak bangsa, hal ini saya utarakan bukanlah ada indikasi atau maksud tertentu tetapi keluar dari lubuk hati yang paling dalam.
Niat tersebut timbul lagi sewaktu wafatnya Ibu Negara RI (Ibu Hj. Tien Soeharto). Saya selaku rakyat berkirim surat kepada Bapak menyatakan turut belasungkawa dan datang ke rumah duka (di kediaman Bapak Jl. Cendana No.6) sampai-sampai saya ikut dalam pesawat Hercules TNI-AU membawa jenazah Ibu Tien Soeharto dari Pelud Halim PK ke Pelud Adi Sumarmo – Solo dan menyaksikan pemakamannya, walaupun dari jarak jauh.
Tiadanya Ibu Tien membawa satu kenangan bagi diri saya, di mana pada tahun 1971 saya beserta Almarhumah Farida Ariyani (Aktris Film) telah diterima oleh Ibu, di Jl. Cendana No.6 sehubungan dengan maksud kami waktu itu memohon kesediaan Ibu, untuk namanya diabadikan dalam Trofi bergilir Kontes Ratu Remaja.
Di waktu kami menghadap Ibu, ada satu pesan yang tak terlupakan disampaikan kepada kami, “Kalian sebagai generasi muda (saat itu) coba fikirkan membuat sebuah lembaga yang orientasinya mengangkat harkat dan martabat bangsa negara”.
Guna mewujudkan gagasan yang pernah diarahkan oleh Ibu, saya beserta teman dekat dan keluarga kecil pada tahun 1974 mendirikan Lembaga Swasta Independent (Yayasan) bernama International Management Indonesia (IMI).
Lembaga itu setiap tahun rutin memberikan anugerah kepada tokoh masyarakat yang peduli dan berkarya dan berprestasi dalam pembangunan nasional.
Kalau saya lihat penampilan fisik Bapak setelah melepaskan jabatan kepresidenan tangal 21 Mei 1998, terkesan ketegaran dan keikhlasan tulus. Bapak saat ini banyak berdiam diri tanpa menanggapi ataupun polemik serta ucapan sementara fihak. Semoga Bapak senantiasa tabah dan tawakal menghadapi cobaan sembari memetik hikmahnya, sembari mengharap Ridho Allah swt.
Saya tulis surat ini tidak dengan maksud apa-apa, serta tidak mempunyai latar belakang tertentu (demi Allah tidak bermaksud demikian) melainkan jika Bapak berkenan saya bermaksud menghadap Bapak di mana keinginan ini membawa arti tersendiri dalam diri saya, sekaligus bersilaturahmi. Saya mohon maaf setulusnya apabila hal ini dianggap lancang dan melanggar etika, budaya kita.
Sekali lagi iringan maaf sebesar-besarnya atas kehadiran surat ini, salam hormat saya kepada Mbak Tutut dan Mas Bambang Tri.
Atas perhatian Bapak terlebih dahulu saya haturkan ucapan terima kasih. (DTS)
Hormat saya,
Sufri Intan
Bekasi Selatan
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 197-198. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.