MEROBAH KERESAHAN MENJADI DINAMIKA

MEROBAH KERESAHAN MENJADI DINAMIKA

SUTAN SYAHRIR dalam salah satu pidato radio pertamanya sebagai Perdana Menteri RI membuat pernyataan yang menurut penilaian kita penting sekali.

Sebagaimana kita ketahui Syahrir adalah manusia rasio dan percaya akan keunggulan akal sehat meskipun ia juga mengetahui bahwa kekuatan emosi itu luar biasa.

Ketika itu keadaan RI memang resah, sangat bersemangat. Meskipun usia Republik kita baru beberapa bulan. Dalam pernyataan itu ia mengemukakan betapa perlunya orang selalu berpikir dengan tertib dan sehat, jangan di hanyutkan oleh emosi.

Pada waktu itu pemyataan demikian itu memang tepat pada waktunya (timely). Karena waktu itu disamping gembira, orang resah karena ada ancaman dari luar. Syahrir mengatakan supaya semangat dan emosi yang bergejolak itu dikeraskan seperti es, supaya menjadi kekuatan yang dahsyat.

Mungkin itu diasosiasikan dengan gunung es yang bisa menghancurkan kapal­kapal besar dan betapapun perkasanya.

Siapa yang mempelajari psikologi mengetahui betapa hebat bawah sadar yang menjadi tempat emosi itu, dan akan menjadi suatu kekuatan yang bisa mengatasi kesulitan-kesulitan apa saja, karena didalamnya terdapat hasil pengalaman tak saja dari orang yang bersangkutan, akan tetapi pengalaman-pengalaman nenek moyangnya yang berarti pengalaman dari seluruh manusia, karena pada hakikatnya ummat manusia itu satu, mankind is one.

Maka itu kita menilai tinggi pernyataan Pak Harto, menyatakan bahwa kereshan2 akhir2 ini wajar belaka.

"Dalam alam pembangunan yang penuh dengan perobaan2 itu tak dapat dihindari adanya keresahan yang disebabkan adanya rasa kurang atau tidak puas, baik karena merasa dirugikan atau yang merasa kepentingannya tidak atau kurang diperhatikan".

Kata Presiden lebih lanjut "Apabila terasa resah itu dapat disalurkan melalui aturan permainan yang digariskan berdasarkan UUD 45 maka gejala keresahan tersebut justru dapat merupakan dinamika dalam masyarakat yang memang diperlukan dalam pembangunan ini.”

Memang demikianlah seharusnya, keresahan itu selalu ada di negara-negara maju seperti Amerika dan Uni Sovyet tanpa sepi dari keresahan itu. Di Uni Sovyet ada yang dinamakan kaum "dissent" yang tak puas dengan keadaan di negara sosialis yang tertutup itu. Di Amerika Serikat orang diresahkan oleh naiknya harga minyak. Malah ada berita tak sedikit orang yang menjadi setengah sinting karena hal itu malah ada yang bunuh diri.

Jadi mengenai keresahan ini kita tidak sendirian. Yang tak dibenarkan adalah menghasut-hasut dan membesar-besarkan keresahan ini. Apalagi sebagaimana dikatakan oleh Fraksi Karya Pembangunan, Sugiharto kalau yg katanya "resah" itu sesungguhnya tak ada alasan sama sekali.

Sebagai bangsa yang arif yang membanggakan mempunyai kebudayaan dari peradaban yang tinggi dan memang demikian adanya kita harus bisa menggunakan apa saja untuk memajukan dan kebahagiaan. Juga keresahan bisa kita gunakan untuk itu. Kita salurkan agar menjadi dinamika. Kita gunakan kekuatannya untuk mengatasi setiap kesukaran yang kita hadapi. Istirnewa dengan birnbingan Tuhan Yang Maha Esa, tak ada sesuatu yang mustahil termasuk mensukseskan pembangunan semesta ini.

Keresahan kini telah muncul menjadi istilah yang sarat-makna dalam negara kita. Keresahan politik, keresahan ekonomi, keresahan sosial, merupakan unsur-unsur pokok keresahan itu.

Bahkan Presiden Soehartojuga ikut merasakan adanyakeresahan itu. Minggu lalu di depan para alim ulama Presiden mengakui hal itu. Hanya dikatakan oleh Presiden bahwa “meskipun keresahan itu ada” hal itu tak perlu dibesar-besarkan. Karena jika keresahan dibesar-besarkan diluar proporsinya maka masyarakat dan pembangunan sendirilah yang akan dirugikan.

Adanya keresahan ditengah-tengah pembangunan adalah suatu yang wajar, sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Masalahnya terletak pada hubungan antara pembangunan sebagai subyek dan manusia sebagai obyek pembangunan itu.

Jika pembangunan terlalu dibesar-besarkan diluar proporsinya tanpa memperhatikan kondisi dan situasi masyarakat sebagai obyek pembangunan itu, akan lahir ketidakseimbangan yang dapat melahirkan kekecewaan. Kekecewaan itu melahirkan keresahan. Atau jika pembangunan tidak memiliki arah (sense of direction) yang tepat, kepentingan masyarakat terhadap pembangunan menjadi terganggu. Gangguan itu menelurkan keresahan.

Kita ambil misalnya masalah pelarian politik dari Indocina. Orang-orang yang tidak berguna di negerinya ini kita sambut dan kita buatkan tempat pemrosesan dan kita urus dengan baik (atas nama dan dengan biaya PBB). Rakyat Indonesia di Riau, khususnya di Pulau Galang, yang melihat bagaimana pendatang diurus dan ditangani pemerintah sedangkan nasibnya selama ini tidak seperti itu, bisa saja resah karena merasa tidak diperhatikan. Ini salah satu contoh.

Timbul bencana alam di daerah-daerah. Rakyat ditimpa ledakan gunung api, tanah longsor dan lain-lain. Bantuan datang dengan limpah tapi tak sampai ke tangan rakyat.

"Karena menderita dan sengsara akibat bencana, sedang nasibnya dianggap tidak diperhatikan, timbul kekecewaan. Ini suatu sumber keresahan.”

Kita memiliki banyak bakat pengusaha. Jika politik perkreditan kita jujur dan tidak ada apa-apanya, rakyat dengan mudah dapat didorong bakatnya dengan politik moneter yang konstruktif, dan bukan hanya unsur-unsur non pribumi dinina bobokkan lewat kesempatan kredit yang berlimpah-limpah, tak akan mungkin timbul keresahan.

Jika pengusaha nasional kita diberi kesempatan modal dan segala yang diperlukannya untuk ikut dalam pembangunan ekonomi nasional secara kreatif dan bukan hanya kesempatan untuk unsur-unsur modal asing, kita kira tidak akan timbul reaksi-reaksi. Reaksi-reaksi itu adalah cerminan dari adanya keresahan.

Salah satu lapisan masyarakat kita yang senantiasa resah ialah kaum muda. Keresahan itu disebabkan oleh tidak adanya kesempatan bagi mereka memasuki pintu lembaga-lembaga pendidikan dengan mudah dan sesuai dengan cita-cita mereka.

Tidak adanya jaminan bahwa seusai perguruan tinggi mereka dapat mengamalkan ilmunya dengan gairah untuk mengabdi masyarakat dan menunjang penghidupan mereka, membuat mereka frustasi. Frustrasi itu pokok pangkal keresahan kaum muda.

Akhir-akhir ini timbul keresahan yang meluas pada kaum buruh. Mestinya, pembangunan menjamin bahwa sebagai tenaga produksi kaum buruh akan menikmati suatu peran dan penghargaan yang layak terhadap jasa-jasa mereka.

Tapi karena sistem pembangunan kita tidakmendorong dan tak merangsang kegairahan kaum buruh untuk mempersembahkan dharmabakti mereka dengan wajar, kaum buruh merasa tersisih. Mereka melihat bahwa jasa pembangunan tidak sampai mampu untuk menjamin kesejahteraan kaum buruh secara benar. Kesadaran akan kondisi demikian itulah yang membuat mereka khawatir. Kekhawatiran akan nasibnya itulah yang melahirkan keresahan yang luas pada kaum buruh sekarang ini.

Keadaan kaum tani kita di desa-desa juga memprihatinkan. Adanya lapisan­lapisan baru yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan kekayaan di desa, terutama tanah seperti yang pernah disinyalir oleh Ketua Umum FBSI telah membuat kaum tani miskin menjadi bertambah.

Bertambah besarnya angka kaum buruh tani di desa ini menyediakan kemungkinan bagi meluasnya kemelaratan. Inilah sumber keresahan yang mewarnai fikiran rakyat kita didesa-desa.

Perkembangan sosial-ekonomi di kota-kota besar juga menarik perhatian. Gejala kebebasan yang timbul dalam masa-masa sekitar satu dasawarsa ini telah menimbulkan polarisasi dalam kegiatan hidup dan ekonomi dari lapisan-lapisan masyarakat.

Ada suatu lapisan yang berhasil menarik hikmah dari jasa keadaan untuk memperbesar kemampuan hidup dan kekayaan mereka. Ada sebagian besar lainnya yang tidak mampu bersaing untuk itu. Dari sinilah lahir jurang kaya-miskin yang agak dikhawatirkan itu. Jurang ini menimbulkan perbedaan. Adanya perbedaan itu menimbulkan keresahan bagi lapisan besar yang kurang mampu.

Gaya birokrasi dengan berbagai mekanismenya menghadapi masyarakat, melahirkan ketidakpuasan. Akibat-akibat birokrasi itu melahirkan keluhan, pungli, ketidakpuasan, kejengkelan pada masyarakat. Ini salah satu sumber keresahan sosial yang sudah menjadi umum.

Sama kita akui bah wa keresahan itu ada dalam semua sektor, dalam berbagai bentuk dan variasinya. Keresahan dalam negara menceminkan perkembangan negara itu dalam menghadapi problim-problimnya. Tugas pemerintah ialah menyingkirkan keresahan-keresahan itu dari dalam negara. Salah satu platform bagi itu ialah pembangunan.

Semakin laju pembangunan negara dalam semua bidang mestinya menjamin semakin berkurang keresahan yang timbul, walaupun itu tidak mengurangi pengorbanan yang dibutuhkan oleh pembangunan. Namun jika keresahan makin bertumbuk sementara pembangunan makin menggebu-gebu, itu berarti kita perlu mengadakan introspeksi terhadap sistem dan arah pembangunan itu. Jika sistemnya salah, perlu dirombak. Jika arahnya tidak sesuai perlu diluruskan. Agar sesuai dengan kepentingan dan cita-cita masyarakat.

Maklumlah pembangunan itu bukan obyek melainkan subyek. Obyek pembangunan itu sendiri ialah rakyat, masyarakat. Pembangunan yang tidak sesuai dengan cita-cita masyarakat haruslah dianggap sebagai pembangunan yang bertentangan dengan apa yang dimaui dan diinginkan.

Jakarta, Berita Buana

Sumber: BERITA BUANA (10/07/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 496-500.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.