PADA UMUMNJA SETUDJU PENJEDERHANAAN PARTAI

PADA UMUMNJA SETUDJU PENJEDERHANAAN PARTAI [1]

 

Djakarta, Pedoman

Setelah Presiden Soeharto dua kali mengadakan pertemuan konsultasi dengan pimpinan Parpol dan Golkar maka diperolehlah beberapa kesimpulan mengenai DPR dan MPRS, serta penjederhanaan partai2 jang pada umumnja sudah disetudjui masing2.

Menurut Sekretaris Kabinet Majdjen Soedharmono SH, dikatakan pada umumnja itu” karena masih terdapat variasi masing2 pendapat. Dan variasi tsb seperti masalah nama fraksi partai2 nantinja di DPR.

Masalah DPR

Dalam hasil dan kesimpulan pertemuan konsultasi tsb jang dibatjakan oleh Soedharmono SH, dikatakan bahwa Parpol dan Golkar dapat menerima gagasan Presiden, dalam rangka menjederhanakan dan melantjarkan pengambilan keputusan berdasarkan Pantja Sila.

Di DPR nanti hanja akan ada 4 fraksi masing2 1. fraksi ABRI. 2. fraksi Golkar, 3 fraksi jang terdiri dari partai2 NU, Parmusi, PSSI dan Perti jang biasa disebut kelompok “Spirituil – materiil atau Persatuan Pembangunan, dan 4. Fraksi jang terdiri dari partai2 Katholik, Parkindo, dan PNI jang biasa disebut kelompok materiil – spirituil” atau Demokrasi Pembangunan. Masing2 pihak mengatakan bahwa masalah nama tidak mendjadi masalah jang prinsipiil.

Mengenai pimpinan DPR, kesimpulan berikutnja mengatakan bahwa pimpinan DPR terdiri dari 1 (satu) Ketua, dan 4 (empat) Wakil Ketua, Para Wakil Ketua tsb akan terdiri dari dan sekaligus mewakili keempat fraksi tsb.

Sedangkan Ketua DPR, Presiden menjatakan, meskipun apabila dipegang oleh wakil Golkar, adalah wadjar, karena Golkar mempunjai suara jang sangat besar. Tetapi Soeharto mengemukakan pendapatnja jang mengatakan Ketua DPR tidak mutlak dipegang oleh wakil Golkar. Malah Presiden akan berusaha mendorong dan mengarahkan agar Ketua DPR tsb nanti dipegang oleh Wakil Parpol. Dikatakan bahwa pendapat Presiden tsb sangat disetudjui oleh Parpol2.

Pendapat Parpol dan Golkar berikutnja tentang pelaksanaan azas musjawarah untuk mufakat sesuai dengan Demokrasi Pantjasila mengatakan bahwa adanja “Voting” atau tidak, hendaknja didasarkan pada ketentuan UUD. Untuk masalah jg prinsipiil seperti Preambule UUD djangan sampai diadakan “voting”.

Dalam hal ini Presiden menjatakan bahwa apabila mekanisme fraksi2 jang empat itu berdjalan efektif, maka DPR dalam memutuskan suatu masalah dapat dilakukan tanpa mengadakan “voting”, tanpa adanja keharusan suara aklamasi.

Namun dilain pihak, dalam musjawarah difraksi2 dapat dilihat bagian dari fraksi2 jang mana dan berupa djumlahnja menjetudjui sesuatu masalah. Dengan demikian keputusan dapat diambil atau dengan mufakat bulat (aklamasi) atau dengan suara terbesar dengan tjatatan sebagian jang tidak menjetudjui (faksi atau bagian fraksi) dapat mengadjukan tjatatan2 keberatannja.

MPRS Tidak Berfungsi

Masih dengan menggunakan kata2 “pada umumnja” semua parpol dan Golkar sependapat dengan Presiden bahwa setelah diresmikan DPR hasil Pemilu pada tgl 30 Oktober mendatang, maka MPRS sudah tidak berfungsi.

Setelah terbentuknja DPR nanti. Pemerintah setjara berkonsultasi dengan Parpol dan Golkar membentuk suatu badan, katakanlah Badan Persiapan sidang Pelantikan MPR hasil Pemilu jg bertugas menjiapkan sidang pelantikan MPR hasil Pemilu jang menurut Tap MPRS harus bersidang 6 bulan sebelum sidang umum MPR hasil pemilu pada bulan Maret 1973. Sidang pelantikan anggota MPR diperkirakan akan djatuh pada bulan Oktober 1972.

Pimpinan MPR nanti pada masa sidangnja terdiri dari pimpinan DPR, ditambah dengan seorang Wakil ketua jang mewakili fraksi daerah ketetapan ini harus diputuskan oleh sidang MPR sendiri.

Dengan komposisi demikian maka dalam waktu2 tidak bersidang pimpinan MPR tidak ada dan mereka kembali mendjalankan fungsinja sebagai pimpinan DPR. Sedang wakil Ketua fraksi Daerah tsb. dapat diserahi tugas sebagai Ketua BP MPR jang akan menampung hal2 jang lengkap perlu untuk persiapan sidang2 MPR jang mungkin akan diadakan.

Dengan demikian akan selalu ada hubungan konstinuitas antara sidang MPR jang satu dengan sidang berikutnja, dan djuga hubungan kontinuitas antara sidang-sidang MPR, tanpa menggaduhkan fungsinja masing2 sebagai Lembaga DPR dan MPR.

Dibidang jang terachir ini, Presiden menegaskan bahwa tidak perlu dichawatirkan atau bahkan kurang tepat pendapat jang mengatakan tanda berfungsinja lagi MPR setelah DPR terbentuk akan timbul kevakuman kekuasaan di MPR telah dilaksanakan dengan penetapan2 haluan negara dan pengangkatan mandataris MPR seperti jang dilakukan dalam sidang umumnja tahun 1968 jang lalu.

Sedang untuk mempersiapkan fungsinja lagi MPR tsb. dalam sidang jad. (bulan maret 1973) persiapan 2 telah dilakukan mulai dari sekarang dan nanti dengan pembentukan badan persiapan sidang pelantikan MPR seperti jang dikemukakan terdahulu.

Penjederhanaan Parpol

Kesimpulan dari pertemuan konsultasi Presiden dengan jang masih tetap menggunakan kata2 “pada umumnja” itu parpol dan Golkar berikutnja semua partai dapat menjetudjui adjakan Presiden agar pengelompokan kekuatan masjarakat dalam fraksi2 di DPR seperti golkar, Demokrasi Pembangunan dan Persatuan pembangunan dalam djangka djauhnja dapat menetralisasi sendiri dalam rangka penjederhanaan kepartaian ini.

Dan setidak2nja dalam pemilu tahun 1976 berikutnja peserta Pemilu hanja akan keluar dengan 3 (tiga) tanda gambar sadja. Jang terachir ini dimaksudkan tanda gambar Golkar, tanda gambar Demokrasi Pembangunan dan tanda gambar Persatuan pembangunan.

Kemudian Presiden Soeharto menegaskan bahwa ia tidak ingin pelaksanakan penjederhanaan partai2 itu dengan paksaan tindakan dari atas Soeharto hanja mengingatkan bahwa penjederhanaan kepartaian dan keormasan itu adalah tugas jang dibebankan oleh rakjat melalui MPR jang harus diatur oleh Undang2. Dan mendjadi kewadjiban dari DPR dan Pemerintah untuk menjiapkan dan melaksanakan ketentuan tsb.

Achir dari kesimpulan konsultasi itu mengatakan bahwa alangkah baiknja apabila masjarakat- dalam hal ini parpol2 – sendiri menjadari dan berusaha kearah itu.

Hasil dan kesimpulan pertemuan konsultasi Presiden dengan parpol dan Golkar tsb. dibatjakan oleh Sekkeb Soedharmono SH hari Sabtu jl. di Istana Merdeka.

Mendjawab pertanjaan wawantjara Soedharmono SH mengatakan bahwa dalam pertemuan tsb. tidak dibitjarakan adanja berita jang mengatakan didesa-desa tidak perlu pimpinan parpol2. Dan Keormasan mungkin akan mengalami perobahan.

Pertemuan Parpol dan Golkar dengan Presiden tsb. berlangsung dua kali, pertama pada hari rabu malam tgl. 18 Oktober dan kedua pada hari Djumat malam tgl. 15 Oktober jl. Kalau pada pertemuan pertama terbagi atas tiga kelompok masig2 kelompok PNI, IPKI, Murba, Katholik dan Parkindo. Kelompok Pamusi, NU, Perti dan PSII serta jang terachir dengan Golkar, maka pada pertemuan jang kedua diadakan terpisah dengan masing2 Parpol Golkar.

Dalam pertemuan jang kedua tsb. Katholik diwakili oleh IS. Kasimo, dan Da costa Parmusi oleh Sulastomo, Djadil Abdullah dan Husni Thamrin, PSII oleh Anwar Tjokroaminoto, Wartomo dan Bustaman SH, NU oleh Idham Chalid, H Basjri Sjamsuri dan Jusuf hasjim. Perti oleh Sjarifudin Harahap, IPKI oleh Achmad Sukarmadijaja, Hasjim Ning dan Supangkat Golkar oleh Majdjen Amir Murtono, Drs. Murdopo dan Parkindo diwakili oleh JTU. Simorangkir, Alexander Wenas dan Sabam Sirait. (DTS)

Sumber: Pedoman (11/10/1971)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 863-866.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.