PAK HARTO DALAM KEADAAN FIT LAHIR BATIN [1]
Jakarta, Merdeka
FAKTOR umur bagi kelanjutan hidup seseorang tidak selalu dikhawatirkan. Sebab, banyak orang yang umurnya sebut saja 70 tahun mungkin dia mempunyai kondisi jauh lebih fit bila dibandingkan orang yang berusia 50 tahun tapi tidak terpelihara keseimbangan hidupnya.
Demikian dikemukakan Ketua Bidang Organisasi Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI), dr Husain Andez selesai bersama-sama pengurus IDAJI lainnya diterima Presiden Soeharto di Istana Merdeka Jakarta, Selasa.
“Seperti Presiden Soeharto, sekalipun sudah berusia 70 tahun lebih, menurut pengamatan kita, para dokter jiwa, kini dalam keadaan fit lahir batin,” kata Husain Andez lagi.
Menurut Husain, selama ini manusia tidak menyadari bahwa kehidupannya itu selalu memerlukan keseimbangan. Orang yang tidak terpelihara keseimbangannya itu akan pendek umur, sedangkan orang yang panjang umurnya adalah orang yang terpelihara keseimbangan lahir batinnya.
Sementara itu Ketua Umum IDAJI, dr Dadang Hawari mengatakan, kedatangan pimpinan IDAJI menemui Kepala Negara untuk melaporkan kepengurusan baru dan program kerja IDAJI sebagai basil Kongres Nasional II di Yogyakarta, Juli lalu. Program itu meliputi pendidikan, penelitian, pelayanan dan bidang organisasi.
Menurut Dadang Hawari, dengan Presiden juga dibahas mengenai stress, apa penyebabnya dan lainnya. Dikatakan, stress dapat mengganggu keseimbangan jiwa dan organ tubuh seseorang. Dengan demikian kualitas manusia bisa menurun dan produktivitas kerjanya juga akan terpengaruh.
Presiden dalam hal ini memberikan petunjuk, agar dalam melaksanakan program kerja IDAJI, yang antara lain akan berupaya mengatasi masalah stress ini, agar melibatkan masyarakat. Menurut Dadang, berdasarkan pengalaman stress di Indonesia terjadi peningkatan, tapi ini bukan berarti orang yang sakit jiwa bertambah.
“Penambahan orang sakit jiwa itu berhubungan dengan penambahan jumlah penduduk ,”katanya.
PRESIDEN Soeharto, menurut Dadang, pada kesempatan itu juga menanyakan penyebab gangguan jiwa. Dadang menjelaskan bahwa sebagian besar penyebabnya stressor psikososial, jadi permasalahan kehidupan sosial di masyarakat modern. Berdasarkan penelitian, katanya, masalah pekerjaan, masalah ekonomi, sosial dan perkawinan, sering kali menjadi beban kejiwaan, karena tidak setiap orang akan mampu menanggung beban tersebut.
Untuk kasus gangguan jiwa berat, kata Dadang, seperti psikotis persentasenya dapat dikatakan stabil, tapi untuk gangguan jiwa non psikotis terutama di kota besar ada kecendrungan meningkat. Hal ini disebabkan stress. Bahkan psikososial di kota besar lebih berat bila dibandingkan daerah pedesaan.
Dijelaskan, jika tuntutan di atas bagi seseorang sedemikian beratnya dan yang bersangkutan tidak mampu mengatasi, dengan sendirinya tetjadi ketidak seimbangan emosional yang akan mengganggu sistem organ tubuh.
Sedangkan dampak stress dalam kehidupan ini, menurut Dadang, dapat mempengaruhi fisik, misalnya jantung koroner, kanker dan sebagainya.
Di Amerika Serikat, katanya, ada enam penyakit pembunuh utama yang erat sekali hubungannya dengan strees. Yakni, penyakit jantung koroner, kanker, paru-paru, pengerasan hati, kecelakaan dan bunuh diri. Semuanya itu penyakit non infeksi, tapi sebagai akibat pola hidup yang membuat stress.
Dengan demikian di masa mendatang perlu diciptakan kehidupan seminimal mungkin menghindari stress dan meningkatkan kemampuan daya tahan untuk menghadapi stress.
“Upaya yang dilakukan IDAJI melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan cara mengatasi stress dengan cara mengatur hidup lebih baik,” kata Dadang lagi.
Berdasarkan pengalaman baru, stress di bidang industri juga berpengaruh. Terdapat 44 persen karyawan di AS mengalami stress dengan modern life style. Demikian pula di negara maju lainnya, angka kematian usia 40-an semakin banyak, karena stroke, sudden death (mati tiba-tiba), jantung dan sebagainya. Hal ini disebabkan pola hidup industri negara maju yang dipenuhi stress.
Demikian pula model kematian di Jepang yang disebut karoshi (mati perlahan lahan) akibat beban pekerjaan yang terlalu banyak, dengan demikian perlu adanya hidup yang seimbang.
“Jadi melihat manusia bukan hanya dalam segi biologis, psikologis dan sosial saja, tapi yang penting satu dimensi lagi yakni dimensi spiritual (kerohanian), dengan demikian pendekatannya menjadi empat dimensi,” tuturnya.
Menurut Dadang, kelompok umur yang manapun bisa terkena stress, termasuk semua strata tingkatkan sosial ekonomi, tergantung apa penyebabnya. Kalau kalangan bawah yang sosial ekonominya susah, maka hal ini menjadi penyebabnya, sedangkan untuk tingkatan eksekutif ke atas penyebab stress adalah beban pekerjaan yang banyak dengan waktu sedikit. Dengan demikian, gaya hidup yang seimbang itu perlu sekali untuk mencegah stress, hidup kita ini untuk bekerja, apakah kita bekerja untuk hidup. Jadi kalau pola hidup semacam orang Jepang yang hanya bekerja saja tanpa ingat apa-apa, bahkan ibadah pun mereka sudah tidak ada waktu.
“Jadi polanya harus diubah, kita bekerja untuk hidup. Artinya, sebagian untuk kerja, sebagian lagi untuk menikmati hidup ini. Jadi ada pembagian waktu yang jelas dan merata, untuk keluarga, ibadah dan lain-lain. Jadi etos keija tetap tinggi tapi dalam keseimbangan,” kata Dadang.
Sementara itu, pakar kejiwaan yang mengkhususkan menangani kasus bunuh diri dr Prayitno mengatakan, kasus bunuh diri di Indonesia meskipun tergolong rendah tapi mempunyai kecenderungan meningkat, jadi ada bunuh diri yang berhasil meninggal dan ada percobaan bunuh diri.
Menurut Prayitno, percobaan bunuh diri mengalami peningkatan dan pada umumnya diakibatkan stress, kehidupan dan tekanan kehidupan dan terisolasi. Misalnya orang dari daerah ke Jakarta karena kehidupan yang sangat keras, sehingga menimbulkan depresi. Tapi kasus percobaan bunuh diri teijadi pada orang yang tipis imannya.
Sedangkan meningkatnya kasus bunuh diri di Gunung Kidul,Yogyakarta, katanya, disebabkan karena adanya perubahan kehidupan sosial yang mendadak di daerah itu.
Dari daerah tandus menjadi daerah yang subur, banyak kendaraan dan sebagainya. Sehingga mereka yang tersisih dan tidak bisa beradaptasi, mereka cenderung melakukan bunuh diri.
Dadang Hawari menambahkan, saat ini IDAJI menduduki jabatan Wakil Presiden Federasi Dokter Jiwa ASEAN, dan target Januari mendatang kepemimpinan Federasi ini dapat dijabat Indonesia dan kongres selanjutnya pada tahun 1994 di Indonesia.
Dadang mengatakan, Presiden menyambut baik program kerja IDAJI dan memberikan gambaran bahwa pembangunan selama ini dan harapan untuk berpartisipasi dalam pembangunan jangka panjang tahap dua mendatang.
Presiden juga menguraikan keberhasilan dan kestabilan sosial, politik, keamanan, termasuk regional ASEAN. Dadang menjelaskan, IDAJI saat ini memiliki 350 orang anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan cabang 15 cabang.
Presiden juga menanyakan, berapa prevalensi penderita penyakit jiwa di Indonesia. Dari data yang diperoleh IDAJI sekitar 10 hingga 20 permil dari populasi penduduk, dan ini berarti sekitar 2,5 juta penduduk Indonesia yang memerlukan perhatian untuk gangguan kejiwaan yang berat.
Sedangkan penyalahgunaan narkotika, hingga sekarang stabil dan masih bisa dikendalikan dan prosentasenya relatif kecil 0,05 permil dari seluruh populasi. Saat ini di Indonesia terdapat 34 rumah sakit jiwa, dan 17 milik swasta dengan total tempat tidur 7.649 buah. Jurnlah ini sudah barang tentu kurang bila dibandingkan dengan ratio penduduk Indonesia yang sebanyak 180 juta, sehingga perbandingannya tempat tidur untuk 20 ribu penduduk.
Menurut Dadang, dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya sudah barang tentu peran dokter jiwa ini penting karena orang yang dirawat dokter jiwa belum berarti ia gila, karena pola penyakit di masa mendatang dalam era modern bukan penyakit infeksi lagi, tapi penyakit non infeksi. Pada dasamya tidak ada orang yang kebal, terhadap gangguan jiwa, termasuk para dokter jiwa sendiri. (ASS).
Sumber: MERDEKA (02/12/1992)
__________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 475-478.