PAK HARTO UNGKAPKAN KIAT PERDAMAIAN DI BOSNIA
INDONESIA SEGERA KIRIM UTUSAN[1]
Jakarta, Media Indonesia
Pemerintah Indonesia dalam waktu dekat segera mengirim utusan ke Serbia, Montenegro, Slovenia dan Macedonia dengan maksud agar seluruh pihak bekas negara Yugoslavia mengetahui upaya menciptakan perdamaian. Presiden Soeharto mengatakan hal itu sekaligus dimaksudkan untuk menghapuskan kecurigaan Serbia, Slovenia dan Macedonia atas misi perdamaian Indonesia ke Kroasia dan Bosnia.
Karena, menurut Kepala Negara, sebenarnya yang bisa menyelesaikan persoalan di kawasan Balkan itu hanya anggota negara bekas Federasi Sosialis Yugoslavia. Pak Harto mengingatkan bahwa Indonesia dalam hal ini tidak ingin menjadi penengah. “Namun menawarkan menjadi fasilitator dalam upaya menyelesaikan konflik dan perang yang berlarut-larut antara Bosnia-Herzegovina, Serbia dan Kroasia,” tegas Kepala Negara di atas pesawat DC-10 Garuda Indonesia kemarin saat perjalanan pulang dari lawatan ke Copenhagen Denmar, Zagreb Kroasia dan Sarajevo Bosnia-Herzegovina. Keterangan Presiden itu disampaikan sekitar satu jam sebelum mendarat di bandar udara Halim Perdanakusuma. Presiden melakukan kunjungan ke berbagai negara itu sejak 8 Maret dan tiba kemarin tepat pukul 08.20 dan disambut Wapres dan Ibu Try Sutrisnno, Menko Indag Hartarto, Menhankam Edi Sudradjat, Kasad Jenderal TNI Hartono, para putera-puteri, menantu dan cucu-cucu. Menjawab pertanyaan, Kepala Negara mengatakan, “saya mau ke sana karena merasa terpanggil untuk turut serta memikirkan penyelesaian masalah Bosnia, karena Indonesia diminta turut aktif’.
Untuk itu, tutur Pak Harto, harus melihat secara langsung dan harus mengetahui kondisi sebenarnya, sehingga membuahkan pikiran yang rasional yang bisa diterima secara keseluruhan.
“Bagi saya sendiri dan Indonesia, merasa bersyukur bisa melaksanakan kunjungan itu terutama ke Sarajevo di mana sehari sebelumnya pesawat terbang yang dinaiki pejabat PBB (Yasushi Akashi) ditembak,” ungkap Kepala Negara.
Selain itu, ujar Presiden, “karena dijamin UNPROFOR dan terutama atas lindungan Tuhan YME, maka saya selamat, sedangkan gagasan untuk menciptakan perdamaian di Bosnia-Herzegovina diterima Presiden Tudjman dan Presiden” Tetapi Tuhan melindungi kita dan tidak terjadi apa-apa meskipun harus naik kendaraan lapis baja (armoured personal carrier). Karena daerah itu menjadi tanggung jawab UNPROFOR, maka kita berterima kasih kepada UNPROFOR sehingga bisa sampai ke Sarajevo,” kata Pak Harto.
Presiden berpendapat pertikaian dan perang yang berlarut -larut di wilayah bekas Yugoslavia itu sebaiknya diselesaikan secara integral. “Siapa yang bisa menyelesaikan? Yang bisa menyelesaikan tentu para pemimpin negara itu sendiri, bukan negara lain,” tutur Presiden. Karena itu, tegas Pak Harto, Indonesia memiliki pandangan: kalau tidak ingin hancur dan menyelesaikan perang, maka harus ada pembicaraan guna menyelamatkan negara yang dulunya utuh.
Caranya, ungkap Presiden, masing-masing negara harus saling mengakui negara masing-masing dengan jaminan agar minoritas yang ada di setiap negara tersebut dilindungi dan diikutkan semuanya, sehingga bisa dibentuk negara-negara sebagairnana yang di inginkan. Bila konfederasi tidak diperlukan, kata Kepala Negara, minimal kerja sama antara negara-negara yang telah saling mengakui seperti halnya ASEAN. “Ini perlu untuk menciptakan stabilitas kawasan di bekas negara-negara Federasi Yugoslavia tersebut. Bahkan mungkin bisa diperluas ke kawasan Balkan termasuk negara yang sebelumnya tidak masuk Yugoslavia,” jelas Presiden.
Kepala Negara mengemukakan bahwa Republik Kroasia dan Bosnia Herzegovina menerima usul Indonesia untuk duduk dalam meja perundingan dalam upaya mencari penyelesaian damai di kawasan bekas Yugoslavia itu. Indonesia, ujar Presiden, mengusulkan pembicaraan langsung antara pemimpin bekas Yugoslavia yang kini terpecah menjadi lima negara. (Rld)
Sumber: MEDIA INDONESIA(16/03/ 1995)
_________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 179-181.