PANDANGAN FRAKSI ABRI
Juru bicara Fraksi ABRI di DPR, Sumrahadi Partohadiputro, menyampaikan kepada pers pendapat fraksinya tentang keinginan masyarakat agar Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1982 mengangkat Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia.
lni mungkin reaksi terhadap pendapat Wakil Ketua DPR, Mashuri SH, yang melihat bahwa hal itu perlu "direm" karena sebagai seorang yang berjiwa demokratis, Presiden Soeharto tak menghendaki dirinya disanjung-sanjung.
Hal itu telah kita komentari dalam harian ini. Kita menganggap bahwa apa pun yang datang dari masyarakat, mengenai pimpinan nasionalnya, hal itu hendaknya diikuti sebagai suatu sikap yang wajar.
Artinya tak perlu sikap itu direm, pendapat kita demikian karena kita melihat bahwa dilihat dari proses politik yang ada, apa yang datang dari Rakyat memang begitu adanya. Tak perlu kita persoalkan latar belakangnya karena itu memerlukan konfrontasi pemikiran tersendiri.
Ada pihak tertentu yang menganggap seolah-olah harian ini ”Tidak mengerti politik". Jika pendapat ini datang dari fihak di luar Pemerintah, hal itu mungkin bisa kita mengerti. Anehnya, pendapat demikian datang dari anggota fraksi Pemerintah sendiri. Apa maksudnya?
Kita hanya melihat dari sudut real politik. Dan ini merupakan pandangan standar bila orang ingin mengikuti lika-liku perkembangan politik dalam negaraini. Politik selalu menggunakan mekanisme dan alternatif tertentu. Karena itu orang jangan memikirkan mekanisme dan alternatif itu saja, melainkan melihat hasilnya.
Kenyataan memang ada tuntutan dari mana-mana agar MPR hasil Pemilu memberi gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto. Tentang mengapa usul-usul itu lahir, hal itu tak perlu dipersoalkan. Apa orang dapat dan mau membuktikan sebab lahirnya usul-usul itu? Kita mengimbau oknum fraksi Pemerintah yang bersangkutan untuk memberi jawabannya.
Pendapat fraksi ABRI telah dikemukakan. Kita kira ini suatu pendapat yang tidak hendak dibantah oleh siapapun. Jika rakyat Indonesia menghendaki agar MPR hasiI Pemilu memberi gelar ”Bapak Pembangunan” kepada Presiden Soeharto, siapa yang hendak merintangi kehendak Rakyat? Ini bukan soal kultus. Ini suatu masalah politis yang dimensi pokoknya harus dicari dalam percaturan politik dan interplay kepentingan politik yang bermain di atas panggung politik dalam era Orde Baru ini.
Pada masa ini kita melihat adanya fakta kekuasaan nasional berada di tangan pemerimah Presiden Soeharto. Kita juga mengetahui bahwa ada kekuatan yang tidak menyukai Presiden Soeharto dan merongrongnya terus-menerus. Bagi kita, dan dari sudut kepentingan kaum nasionalis, kita tidak ingin melibatkan diri pada proyeksi politik yang avoniuristik terhadap Pemerintah. Bahwa kita banyak mengkritik dan mengingatkan Pemerintah akan kewajiban-kewajibannya, itu tidak berarti bahwa kita ingin mengikuti jalan pikiran pihak lain yang tidak sepaham dengan kita.
Maka itu, mengenai upaya mencalonkan kembali Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1983-1988 dan usul pengangkatannya sebagai "Bapak Pembangunan", kita serahkan itu pada kemauan dan kompetensi Rakyat untuk menentukannya. Bila masyarakat setuju, hal itu merupakan haknya dan bagian dari kedaulatannya dalam menentukan sikap dan pilihan politiknya dalam masa sekarang.
Dalam hubungan ini pemyataan pendapat Fraksi ABRI merupakan suatu indikasi yang perlu dicamkan baik-baik. ABRI dapat mengerti denyutan hati maruf dan real politik Indonesia telah mengungkapkan sesuatu yang perlu kita apapun sikap penilaian serta tafsiran masing-masing.
Politik memang seni dari segala kemungkinan dan hanya yang mau merem arus dengan kedua tangannya. Ide pencalonan kembali Prcsiden Soeharto dan pengangkatanya sebagai Bapak Pembangunan sedang dan akan menjadi bagian dari proses real-politik Indonesia. Bagi kita ini jauh lebih penting daripretensi dan rengekan politik-politik apapun yang dilancarkan orang di balik itu. (DTS)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber: MERDEKA (14/12/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 316-317.