PANGDAM III/17 AGUSTUS: ADA KELEMAHAN2 DALAM DWI FUNGSI ABRI, PERLU KONTROL JANG EFEKTIF [1]
Djakarta, Berita Yudha
DALAM TJERAMAHNJA jang berdjudul “Tindjauan Historis terhadap kekaryaan ABRI, Orde Baru, Generasi Baru dan Kepartaian” di Sasana Karta Padang, Pangdam III/17 Agustus Brigdjen, Widodo Senin jl, mengakui bhw dwi fungsi ABRI memang mempunjai kelemahan dan karenanja diperlukan kontrol jang efektif. Dikatakan oleh Panglima, bahwa berhubung tjukup adanja hal2 yang tidak memuaskan dalam pelaksanaan kekaryaan ABRI maka semakin santer suara2 terutama diluar ABRI jang hakekatnja ingin merobah dwi fungsi ABRI mendjadi “mono fungsi” jakni mengembalikan ABRI kepada fungsi Hankam semata – mata.
Suara2 jang menghendaki ABRI dikembalikan kepada fungsi hankam/tempur itu menurut Brigdjen Widodo kini muntjul lagi untuk keempat kalinja. Pertama sekitar tahun 50-an, terutama dari daerah2 bekas daerah federal jang lebih mengenal sistim ketentaraan ala – Belanda. Kedua dimasa “depolitisasi” Kabinet AR-Arifin tahun 1955. Ketiga setelah Trikora tahun 1962-1963 dimana sementara partai2 terutama PKI menuntut “tentara kembali keasrama”. Keempat sekarang ini muntjul berhubung frustasi dalam lingkungan2 tertentu dan berhubung adanja ekses2 dari pelaksanaan dwi fungsi itu.
Ditegaskan oleh Panglima, bahwa sinjalemen2 militerisme, penghidjauan, trading generasi, backing2an, dualisme dalam pemerintahan dan lain2 mendjadi gedjala sehari2 yang menimbulkan pendapat pada lingkungan2 tertentu bahwa masalah kuntji sekarang adalah pengembalian ABRI pada fungsi teknis belaka.
Disebutkan oleh Pangdam III, Brigdjen Widodo hal ini sebagai usaha2 hendak merubah identitas ABRI, ini antara jang prinsipil menolak dengan pihak2 jang ingin mengoreksi setjara konstruktif.
Brigjen Widodo memandang amat penting penggarapan terhadap bahaja2 dari dalam tubuh ABRI sendiri berupa penjelewengan2, ekses2 dan penjalah-gunaan. Berdasarkan tindjauan historis Brigdjen Widodo mengatakan, bahwa dwi fungsi adalah identitas ABRI. ABRI tidak bisa djadi alat teknis belaka jang sepenuhnja djadi alat mati dalam tangan penguasa politik sipil, karena disiplin mati, demikian a.l. Brigdjen Widodo.
Tjeramah tsb, diberikan dihadapan para pelWira militer, polisi, pimpinan2 parpol/ormas dan golkar, perguruan tinggi, pers dan lain. Tjeramah yang sama diberikan pula di Pekanbaru tgI. 16 Desember jl. (DTS)
Sumber: BERITA YUDHA (02/01/1970)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 543-544.