PASCA PAK HARTO

PASCA PAK HARTO[1]

 

Jakarta, Media Indonesia

SUDAH lama pembicaraan di sekitar suksesi pimpinan nasional lenyap dari perbincangan para politisi. Isu yang sempat ramai beberapa bulan lalu, kini kembali menjadi topik hangat.

Adalah BJ Habibie, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang mengungkit lagi masalah tersebut. Ketika membuka Silaturahmi Kelja Nasional (Silaknas) ICMI di Jakarta hari Rabu, Habibie mengatakan bangsa Indonesia tidak perlu pesimistis menyambut era pasca Pak Harto dan Generasi 45.

Alasannya, demikian Habibie,tidak ada manusia yang mampu hidup 1000 tahun.

Selain itu, arah dan strategi pembangunan yang dipelopori Presiden Soeharto telah berada pada jalur yang benar sehingga tidak perlu khawatir soal kesinambungannya.

Dengan kata lain Habibie ingin mengingatkan bahwa usia manusia terbatas. Yang bertahan lama adalah pemikiran, cita-cita, strategi, dan karya.

Apa yang dilontarkan Habibie sesungguhnya normatif. Bahwa usia manusia sesungguhnya pendek. Bahwa regenerasi, tanpa diatur-atur, akan datang dan beljalan dengan sendirinya. Suka atau tidak, siap atau tidak, regenerasi adalah hukum alam yang tidak bisa dilawan.

Namun, dalam konteks politik, pernyataan Habibie yang normatiftadi, bisa berkembang menjadi persoalan kompleks. Masyarakat seakan diperingatkan bahwa ada sesuatu yang perlu dirisaukan. Sesuatu yang sesungguhnya biasa-biasa saja, bisa berubah menjadi luar biasa kompleksnya jika tidak disikapi secara bijak.

Dalam banyak kesempatan tahun ini Presiden Soeharto berbicara tentang suksesi. Menurut Pak Harto, seperti Habibie, suksesi tidak perlu dirisaukan karena sudah ada aturan mainnya. Yaitu, melalui forum Sidang Umum MPR, pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.

Namun ada juga yang melihat bahwa era menjelang ujung dan pasca kepemimpinan Pak Harto perlu dirisaukan. Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid, misalnya, risau kalau Pak Harto karena faktor usia tidak mau dicalonkan jadi Presiden dalam Sidang Umum MPR tahun 1998mendatang.

Kerisauan Gus Dur, demikian panggilan Abdurrahman Wahid, beralasan. Menurut dia Indonesia belum siap memiliki pemimpin nasional di luar Pak Harto. Bila dipaksakan akan berdampak pada instabilitas.

Regenerasi, apalagi yang menyangkut pemimpin tertinggi nasional, selalu menjadi agenda politik penting. Peristiwa itu menjadi event politik yang semarak, jika berjalan lancar dan sesuai aturan main. Tetapi bisa menjadi malapetaka bila tidak disikapi secara bijak.

Dalam konteks inilah sebenarnya kita menempatkan suarayang pesimistis maupun yang optimistis. Dalam nuansa politik, pesimisme bisa berarti optimisme, demikian pula sebaliknya.

Secara kelembagaan kita sebenarnya sudah memiliki hampir semua yang diperlukan oleh sebuah negara yang demokratis. Kita memiliki lembaga perwakilan rakyat dan kebiasaan pemilu yang selama Orde Baru dilaksanakan secara berkala.

Pendek kata kita mengalami semua praktek bemegara dan berbangsa sebagaimana lazimnya yang berlaku di Negara demokratis. Kenyataan ini sebenarnya membesarkan hati kita untuk tidak risau menghadapi era pasca Pak Harto seperti yang dikatakan Habibie.

Tapi, kalau ada sebagian anggota masyarakat dan politisi cemas menghadapi era itu, wajar juga. Sebuah posisi yang diperebutkan oleh banyak jagoan, bisa menjadi arena tontonan yang mengasyikkan tetapi bisa juga berubah menjadi ajang berdarah kalau aturan tidak cukup kuat untuk memaksakan kepatuhan.

Selama 51 tahun merdeka, kita memang telah mengalami semuanya yang diperintahkan oleh demokrasi. Satu-satunya yang belum adalah pergantian pimpinan tertinggi nasional secara mulus. Fakta ini menyebabkan kerisauan Gus Dur maupun optimisme Habibie sama-sama absah. Maklum, mereka politisi.

Sumber : MEDIA INDONESIA (06/12/1996)

_______________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 29-30.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.