PEKERJAAN NISTA TEGAKKAN KEADILAN ATAS DASAR IMBALAN[1]
Kuta, Bali, Antara
Ismail Saleh SH, mantan Menteri Kehakirnan RI mengatakan, seorang hakim yang menegakkan keadilan dan kebenaran atas dasar imbalan tertentu sesungguhnya merupakan pekerjaan yang bersifat nista dan tak layak dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Martabat hakim akan jatuh di mata para pencari keadilan baik disebabkan para hakim mau menerima atau malahan meminta sesuatu maupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan,” kata Ismail Saleh pada Rakemas IV Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Kuta, Bali, Jumat petang.
Mantan Menkeh yang tampil dalam salah satu sesi diskusi AAI tersebut membawakan makalah “Kembali pada Hukum dan Keadilan ” (Back to Law and Justice) disamping pembicara lain, BN. Marbun, SH yang juga seorang anggota Komnas HAM serta pakar hukum dari Bali, Prof. Made Widnyana.
“Para hakim sebenamya sadar bahwa berbagai cobaan dan godaan akan selalu menghadangnya dan mencoba mempengaruhi keteguhan imannya dengan antara lain mau menerima imbalan sesuatu,”katanya.
Bila hal tersebut terjadi, maka putu san pengadilan yang diucapkan menjadi keadilan semu dan keadilan yang tak adil, karena didasarkan imbalan materi dan tak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau tidaknya seseorang.
“Kita tidak boleh menutup mata bahwa proses penegakan keadilan belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan harapan,” kata Ismail di depan para peserta Rakemas AAI yang pembukaan resmi dilakukan oleh Menkeh Oetojo Oesman.
Ini terbukti dari masih adanya kejadian-kejadian yang merusak citra keadilan, seperti terdakwa mengamuk di pengadilan atau masih adanya perbuatan tercela dari beberapa hakim. Dalam makalahnya setebal 12 halaman itu, Ismail Saleh mengingatkan kembali bahwa jabatan hakim mempakan jabatan mulia di muka bumi ini-mulia karena tugas para hakim adalah menegakkan keadilan dan kebenaran. Para hakim tentu menyadari bahwa jabatan yang dipangkunya merupakan amanat yang harus dijaga martabat dan kewibawaannya. Diantara jabatan duniawi yang disebut secara terbatas dalam Kitab Suci adalah hakim, karena itu tidak jauh dari maksud Kitab Suci disebutkan bahwa peradilan dilaksanakan “demi keadilan berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Ismail Saleh sempat mengutip kembali harapan Presiden Soeharto sewaktu membuka Munas XI Ikahi 18 April 1994 lalu di Istana Negara yang mengatakan, para hakim haru selalu mawas diri dan bersikap terbuka terhadap kritik yang berkaitan dengan kekurangan, sehingga pengadilan benar-benar dapat menjadi tumpuan harapan, menjadi tempat bersemayamnya hukum dan keadilan.
“Karena itu, hakim yang dapat memancarkan wajah keadilan hanyalah hakim yang bersih dan berwibawa, “ujar mantan Menkeh ini.
Bersih dan Berwibawa
Bersih dan berwibawa, kata Ismail Saleh, adalah dua kata yang berkaitan satu dengan lainnya. Dari pengertian dan makna kata bersih dan berwibawa dapatlah dipahami bahwa hakim yang bersih dapat menjadikan hakim itu berwibawa. Artinya, sifat bersihnya itu mampu mewajahkan dan menampilkan wibawa atau sebaliknya hakim itu baru berwibawa bila dia tampil dengan wajah yang bersih, tak tercela, tertib tanpa noda atau mempunyai integritas moral yang kokoh.
Dalam konteks ini, kata Ismail Saleh, “sepanjang hakim mampu menghayati amanat yang diberikan kepadanya oleh masyarakat dan negara serta menampilkan pribadi hakim yang matang,dewasa, penuh iman dan takwa, maka lnsyaAllah dunia peradilan kita akan lebih cerah”.
Tuntutan Keadilan
Mantan Menkeh ini mengingatkan, tuntutan keadilan dari masyarakat akan terus berkembang, dan keadilan dari hari ke hari makin dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan. Masyarakat sendiri semakin kritis dalam menuntut keadilan, berbagai informasi hukum menyebabkan masyarakat mulai mengerti hak dan kewajiban hukumnya serta semakin peka dan mengetahui mana yang benar dan salah.
“Semua ini mau tidak mau membuat para penegak hukum harus lebih tanggap dan cekatan dalam menangani rasa keadilan masyarakat,” ujarnya.
Beban kemasyarakatan dan kenyataan baru yang ada dalam masyarakat akibat pernbahan dan perkembangan dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip “Kembali pada Hukum dan Keadilan ” (Back to Law and Justice).
Untuk kembali pada pelaksanaan hukum dan keadilan secara murni dan konsekuen, katanya, ada prasyarat yang perlu dimiliki aparat penegak hukum,yakni kokoh integritas moralnya, tak memihak, konsisten dan taat asas, profesional serta memiliki kematangan intelektual.
Selain Ismail Saleh, tampiljuga dalam diskusi tersebut BN. Marbun, SH yang membawakan makalah “Beberapa catatan tentang Kekuatan, Kelemahan dan Peluang Back to Law and Justice yang dilihat dari kacamata Politik” serta pakar hukum dari Bali, Prof. Made Widnyana.(U-DPS-003 /B/PUOl/RBl/21/10/94 23:41).
Sumber: ANTARA( 21/l0/1994)
______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 589-591