PELAKSANAAN TRANSMIGRASI YANG KURANG TERARAH DISOROTI

HM Soeharto dalam berita

Presiden Panggil Sejumlah Menteri dan Dirjen:

PELAKSANAAN TRANSMIGRASI YANG KURANG TERARAH DISOROTI [1]

 

Jakarta, Kompas

Presiden Soeharto, Selasa siang, memanggil sejumlah menteri dan pejabat, khusus membahas masalah peningkatan kegiatan transmigrasi, tidak hanya jumlahnya, tapi juga kwalitasnya.

Mereka yang hadir adalah Menteri Ekuin/Ketua Bappenas, Menteri Nakertranskop, Menteri Pertanian, Menteri Sesneg, Dirjen Kehutanan, Dirjen Perikanan, Ditjen Perkebunan, Ditjen Peternakan dan Ditjen Agraria.

Kepada pers di Bina Graha, Mensesneg Sudharmono mengemukakan bahwa Presiden menilai beberapa hal dalam pelaksanaan transmigrasi selama ini dijalankan kurang terarah. Misalnya dalam soal pembibitan tanaman, kurang dipikirkan bibit tanaman tegalan. Sehingga para transmigran umumnya lalu menanam apa saja yang mereka bawa, seperti srikaya, nangka dan sebagainya.

“Akibatnya setelah berbuah belum tentu berguna Dijual tak laku, dimakan sendiri kebanyakan,” kata Sudharmono.

Ia menambahkan, Presiden minta agar instansi yang bersangkutan dengan pembibitan melakukan penelitian tanah, bersamaan dengan dimulainya pembukaan areal, transmigrasi. Sehingga diketahui benar jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan tanahnya.

Untuk keperluan pembibitan itu, Presiden memutuskan untuk memberi biaya Rp 100 juta untuk masing-masing ke-15 propinsi penerima transmigran. Dianjurkan agarpembibitan itu mengutamakan jenis tanaman keras seperti cengkeh, kelapa, kopi dan sebagainya.

Penyelesaian Status Tanah

Kepala Negara juga menggariskan, agar para transmigran begitu tiba di tempatnya yang baru, segera menerima sertifikat tanah yang diperuntukkan baginya. Sehingga mereka tentram dan tidak timbul soal gugat-menggugat status tanah. Dalam hal ini hendaknya pihak Agraria juga terjun mengukur, membuat peta dan memproses sertifikasi tanah, begitu areal transmigrasi yang bersangkutan mulai dibuka.

Menurut Sudharmono, dalam pola lain transmigrasi, Presiden juga minta diikutsertakannya para pemuda yang berminat, terutama mereka yang dibekali

ketrampilan menggunakan traktor-tangan. Sebab bagi petani transmigran, biasanya mengalami kesulitan jika harus mengerjakan tanahnya yang baru secara sendirian dengan peralatan biasa.

Presiden baru-baru ini memberikan 100 traktor-tangan kepada KNPI, dengan harapan agar dimanfaatkan oleh para pemuda untuk menjual jasanya kepada para petani.

Masalah Rimbo Bujang Kepada pers, Mensesneg mengungkapkan bahwa Presiden Soeharto menyesalkan adanya pemberitaan yang keliru mengenai transmigrasi Rimbo Bujang di Jambi. Sebab berita itu hanya akan menimbulkan keraguan pada penduduk yang akan ditransmigrasikan atau ingin bertransmigrasi. Berita tersebut pakan lalu dimuat oleh suatu koran di Jakarta.

“Presiden menaruh perhatian besarpada berita-berita dalam pers,” kata Sudharmono.

Mengenai masalah itu sendiri, Mentari Nakertranskop Prof. Soebroto menjelaskan apa yang digambarkan dalam pemberitaan itu tidak benar. Para transmigran yang baru datang dari Krasak (Jateng) tidaklah diterlantarkan. Ia mengatakan, ke-150 KK itu tiba di daerah Rimbo Bujang menjelang petang hari. Sehingga diambil kebijaksanaan untuk menginapkan mereka di tempat yang disebut “Lorong 24”, guna mempermudah pemberian makan malam.

Menurut Menteri, mereka berangkat dari Jakarta tanggal 25 Januari, tiba di Jambi tanggal 27 dan diberangkatkan ke Rimbo Bujang tanggal 28. Dari 150 KK itu, 48 diantaranya memang di tempatkan di “Lorong 24”, sehingga tak ada persoalan. Sedang 102 KK di tempatkan di bangunan kantor, sekolah, balai kesehatan dan sebagainya. Rupanya hal darurat itulah yang diberitakan oleh harian tadi.

Menteri menambahkan, setelah menginap semalam, esok harinya ke-102 KK langsung diberangkatkan ke Blok III dan masuk ke rumah masing-masing tanpa persoalan. Di Rimbo Bujang tersedia 1.280 rumah, diantaranya 852 telah dihuni. Sedang di Blok III, dari 500 rumah, 142 diantaranya masih kosong.

Ia mengakui, fasilitas WC memang belum tersedia. Demikian pula satu pompa air disediakan untuk setiap 15 rumah, lain dengan di Sitiung yang perbandingannya 1 pompa untuk 4 rumah. Menurut Soebroto, hal ini disebabkan kurangnya anggaran.

“Tapi kini DIP-nya sedang direvisi” kata Menteri. (DTS)

Sumber: KOMPAS (02/02/1977)

 

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 293-295.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.