PELEPASAN TAHANAN POLITIK GOLONGAN C; JANGAN BIARKAN TERUS DJADI “MARGINAL MAN”[1]
Oleh: Drs. Comelis F. Zebua
Djakarta, Kompas
Rapat Para Panglima Se-Djawa (daerah Kowil II Djawa) baru2 ini di Kopeng Djawa Tengah memintakan pelepasan tahanan politik golongan C dalam bulan Djanuari 1970, Pelepasan mana kan dilakukan setjara bertahap. Untuk kesekian kalinja, rentjana pembebasan ini diumumkan dimasjarakat dan kita masih harus menunggu reaksi apa jang bakal timbul karenanja.
Tudjuannja untuk “me-masjarakat-pantjasilakan” manusia2 negeri ini. Jang dulunja masuk komunis dan kini dianggap telah luntur ideologinja, dan minimum tidak berbahaja lagi. Dengan lain perkataan usaha tersebut adalah usaha meruntuhkan tembok2 pemisah, jaitu ideologi komunis, didalam sistem nilai Pantjasila masjarakat kita.
Dalam mentjapai usaha tersebut kita melihat adanja dua pihak komunikan jang saling berinteraksi. Jang pertama pihak masjarakat kita sekarang ini dan jg kedua pihak “ex-tapal” jang harus masuk dan semoga akan diterima dalam masjarakat Pantjasila itu. Kedua komunikan ini akan dan harus mewudjud dalam kenjataan suara masjarakat Pantjasila jaitu “masjarakat -kita-nanti”.
Guna melaksanakan interaksi jang harmonis demi tertjapainja tudjuan utama diatas, dibutuhkan suatu “kontrol” suatu “value”. Kontrol itu sesungguhnja sudah ada jaitu, sistem-nilai-pantjasila. Tinggal kini soal bagaimana mewudjudkan system – nilai Pantjasila itu didalam interaksi tsb.
Tidaklah tjukup mengetahui atau menghafal bahwa Pantjasila itu adalah ilmu sila jang merupakan dasar negara republik Indonesia ini. Lima sila dgn. urutan pertama keTuhanan JME, kedua perikemanusiaan, ketiga kebangsaan, keempat kerakjatan dan kelima keadilan sosial. Pantjasila haruslah dipahami, disadari, dirasakan dan dilihat dalam wudjud njata konkrit dlm kehidupan sehari2 masjarakat kita. Ia bukan dan djangan didjadikan abstraksi, sebagai kumpulan kata2 keramat dalam mantera2 dukun atau kepertjajaan mistik kuno.
Artinja sekarang jang diperlukan adalah bagaimana Pantjasila itu dalam operasionilnja mewudjudkan sistim – nilai jang terlihat dalam behavior masjarakat bangsa kita sebagai kelompak maupun sebagai pribadi.
Penghajatan Pantjasila
Inilah jg harus kita renungkan kini dalam rangka realisasi program pemerintah melepaskan para tahanan politik PKI golongan C ini.
Bahwa wudjud adanja sila Ke Tuhan-an JME dimasjarakat kita adalah kebebasan beragama. Artinja adanja dan dihormatinja hak dan kebebasan dan kejakinan seseorang setjara pribadi. Tidak ada paksaan dan antjaman dari luar pribadinja. Tidak ada pelemparan, pembakaran atau penghantjuran rumah2 ibadat, atau resolusi2an dan demontrasi2an melarang pendirian sebuah rumah ibadah dsb. Bahwa agama dan Tuhan tidak diekploitir untuk kepentingan politik sekelompok arang/golongan dsb.
Bahwa Perikemanusiaan, diwudjudkan dalam bentuk pengakuan dan penghormatan akan hak2 azasi manusia, dilaksanakannja rule of law setjara njata bahwa seseorang tertuduh tidak dianggap dan divonis sebagai bersalah tanpa proses peradilan jang bebas, tidak dilistrik sampai setengah mati atau bahkan sampai mati!.
Setiap sila dapat dirumuskan operasionalnja seterusnja dan jg tentu akan memakan banjak kolom. Tetapi persoalannja belum djuga selesai dengan perumusan sematjam itu. Jang penting disini adalah bahwa masing2 pribadi manusia Indonesia baik dia itu Presiden, Menteri, Sardjana, sampai abang2 betjak dan mbok Kromo dipasar2 jang sangat sederahana pengetahuan dan pernikirannja sungguh2 merasakan bahwa Pantjasila itu ada wudjudnja bukan hanja abtraksi.
Dengan adanja penghajatan minimal pengenalan wudjud Pantjasila itu diharapkan dapat diwudjudkan pula sistem-nilai Pantjasila itu jaitu dalam “way of life” kita baik setjara individu maupun setjara kelompok.
Inilah kewadjiban dan tanggung djawab kita, dan masjarakat kita sekarang ini dan mendjadi dasar penerimaan para “ex – tapol” tersebut didalam keluarga masjarakat Panijasila. Didalam kesatuan bangsa setjara utuh. Dari segi lain ia memang merupakan pengorbanan dari pihak kita kepada mereka (ex-tapol). Demikianlah reaksi-sikap positif kita.
Demikianlah halnja dengan manusia dan kedjiwaannja. Semakin luas konflik jang dihadapi dan tidak dipetjahkan, semakin dekatlah ia kedalam lingkungan momen “marginal”, situasi revolusioner.
Dalam situasi konflik demikian itu, jang datang dari kalangan ideologi akan merupakan otak gerakan kaum frustated mendjadi penggerak sedang kaum kriminil dan “struggle for life” mendjadi massanja. Tjerita bersambung Wanita dalam Kompas jl dengan baiknja melukiskan gerakan jang dimaksud. Pemerintah NIKA melawan kekuasaan pemerintahan di Bizantum ditulang-punggungi oleh ke-4 unsur diatas John Capedocia d.k.k. mengotaki gerakan pemberontakan. Chaero, pemuda ketjewa bersama teman2nja mendjadi penggerak massa sementara Juventi Alcinoi dan rakjat djembel mendjadi massa.
“Marginal Man”
Apa boleh buat, manusia sudah ditakdirkan untuk selamanja menghadapi tiga problema pokok jaitu kosmos, sosial dan religi. Dan apa boleh buat pula manusia sudah semestinja menghadapi konflik2 dalam hidup ini. Setiap konflik terhadap salah satu atau semua problema pokok diatas akan mengakibatkan si-manusia bergeser mendjadi “marginalman”. baik batiniah maupun djasmaniah. Ia tidak akan puas, akan ketjewa, frustasi dan berusaha mentjari perlindungan tempat “kedamaian”. Dalarn keadaan demikian ia tjenderung mentjari teman senasib atau jang dipandang “mau” menaruh perhatian akan dirinja. Hati jang sedih menderita sunji ditinggalkan membutuhkan suara tempat tjurahan kesedihan, derita, kesunjian dan kepedihannja.
“Marginal-man”, adalah suatu momen, suatu fase dalam hidup setiap manusia. Ia bisa ber-anggota-kan sedikit atau banjak orang (manusia) jang mengalami keadaan jang sama. Mereka bisa datang dari berbagai djurusan dan lapisan. Dari kaum Ideologis, politis, dari kalangan orang2 frustrasi baik karena ambisinja tidak terpenuhi, maupun dari keluarga berantakan (broken-home), dari kalangan orang2 kriminil, pendjahat, pelatjur, mereka2 jang di”hitam”-kan, para anak2 muda jang, karena usia mudanja mempunjai sifat2 “heroisme” tapi tidak menemukan salurannja sampai kepada kalangan orang2 jang menghadapi “struggle for life”. Mereka dalam suatu saat tertentu dan dibawah kondisi2 tertentu akan bersatu dibawah pandji2 “harapan untuk merobah keadaan diri”. Kaum komunis menamakan ini, situasi revolusioner.
Kimia dalam eksperimennja menundjukkan terdjadinja suatu reaksi sebagai akibat suatu aksi. Warna merah akan mendjadi biru setelah seketika mengalami dispersi asam bila diperas terlalu kuat.
Kembali pada persoalan “pemasjarakatan kembali” (pelepasan) ex tahanan politik PKI golongan C ini, kita dihadapkan pada dua alternatip. Pertama, jang mengandung konsekwensi mutlaknja sikap masjarakat kita jg positif mewudjudkan sistem nilai Pantjasila, jaitu sikap kemanusiaan jg utuh.
Dalam hal ini, masjarakat djangan hanja menuntut melulu dari mereka (ex tapol) itu “ketobatan” tetapi membantu mereka memberi maaf, menerima sbg saudara2 jang telah berdosa tetapi bertobat. Masjarakat harus dapat menundjukkan kepada mereka bahwa sistim nilai Pantjasila lebih agung daripada sistem nilai komunisme jang pernah (atau mungkin masih!) dipudja mereka.
Kita harus mampu menundjukkan dan membuktikan kelebihan-Ieluhur djiwa Pantjasila Dus menolak sikap bermusuhan dan aprion. Dengan rumusan lain, menerima mereka serta memperlakukannja sebagai manusia seperti wudjudnja kita sendiri.
Alternatif kedua, adalah tetap memodjokkan mereka pada posisi “marginal”. Menghindari mereka sebagai orang2 berpenjakit kusta sebagaimana dialami oleh kaum Manifest dizaman rezim Soekarno dulu. Jang mana berarti mempertahankan tetap bangunan kuno, tembok dan luka dalam bangsa kita. Mengulangi kesalahan jang sama pembantaian beribu2 orang komunis demi untuk menegakkan Pantjasila.
Dengan demikian ini, adalah lebih baik para tahanan politik tsb itu di-“tefaat”kan sadja seperti beberapa ribu kamerad mereka dipulau Buru sekarang ini.
Sebab sedjak sekarang telah dapat diperhitungkan kedatangan mereka kembali ketangan masjarakat kita sekarang hanja akan menambahkan friksi dan frakmentasi ideologis politik belaka Hal mana tentu menghambat tertjiptanja stabilitas sosial politik jang mendjadi djaminan objektip terlaksananja pembangunan chususnja dIm proses pemilihan umum ini, dimana pola struktur politik negeri ini masih ideologi-sentris, persoalan permasjarakatan ex tapol ini, merupakan issue politik jang sangat peka bagi setiap kuping dan hati.
Pemilihan Alternatip dan Hati
Pemilihan alternatip tergantung kita sendiri. Sedjarah tidak lahir dengan sendirinja. Ia dibuat. Kita kini diudji dalam pengambilan sikap terhadap masalah jang menjangkut integritas bangsa kita. Dan demikian itulah sedjarah. (DTS)
Sumber: KOMPAS (14/1/1970)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 576-579.