PELUANG SOERJADI PERTAHANKAN JABATAN KETUA UMUM PDI

PELUANG SOERJADI PERTAHANKAN JABATAN KETUA UMUM PDI [1]

 

Oleh

Askan Krisna Medan, Antara

Kongres IV PDI di Wisma Haji Medan, 21-25 Juli 1993, bertujuan memilih Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI, menetapkan DPP dim meninjau kembali AD/ART partai, namun hingga kini yang menjadi pembicaraan hangat masih seputar “bursa” calon Ketua Umum dari Partai Kepala Banteng itu.

Dalam bursa tersebut muncul enam nama, yaitu Drs. Soerjadi (Ketua Umum DPP PDI 1986-1993), Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno, Tarto Sudiro, dan Ismunandar. Semuanya memiliki peluang sama karena selama ini termasuk aktivis dan kader PDI.

Soerjadi yang menjadi Ketua Umum hasil Kongres III diAsrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 1986,oleh para pemerhati PDI dianggap berhasil meningkatkan citra partainya dalam perolehan kursi di DPR, dari 24 menjadi 32 kursi saat Pemilu 1987 dan menjadi 46 kursi pada Pernilu 1992.

Di masa kepemimpinan Soerjadi pula, timbul berbagai gejolak, seperti lahirnya Kelompok 17, DPP Peralihan yang dipimpin mantan Ketua F-PDI yang kini menjadi anggota DPA Achmad Subagyo, dan kasus penculikan sekaligus penganiayaan atas kader muda PDI Edi Sukirman bersama rekannya, menyebabkan Ketua DPD PDI Jakarta Alex Asmasoebrata diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa, dan Soerjadi menjadi saksi. Dalam perkembangan selanjutnya, para saksi yang sudah dimintai keterangan di pengadilan itu menyebut keterlibatan Soerjadi, sehingga muncul silang pendapat mengenai “cacat hukum” pencalonan Soerjadi yang justru terjadi di tengah kesibukan PDI menyelenggarakan Kongres IV.

Permasalahan tentang cacat hukum tersebut agaknya menjadi salah satu “kerikil tajam” Soerjadi yang kelahiran Ponorogo 13 April 1939 itu untuk meneruskan ambisi politiknya memimpin PDI periode 1993-1998.

Mundur

Alex Asmasoebrata dalam pemyataan persnya di Jakarta be1um lama ini menyarankan, sebaiknya Soerjadi mengundurkan diri dari pencalonan sebagai Ketua Umum DPP PDI di depan kongres, sehingga dapat bersikap lebih bijaksana dan terhormat.              ·

Pangab Jenderal TNI Feisal Tandjung seusai menghadap Presiden Soeharto menyarankan, PDI tidakmemilih Ketua Umum yang cacat hukum.

“Saya hanya titip pesan, seandainya ada calon Ketua Umum yang kini sedang dalam proses pengadilan, sebaiknya tidak dipilih untuk menduduki posisi puncak di PDI, “katanya.

“Sebab, misalnya tiba-tiba yang bersangkutan terlibat dengan tuduhan kasus penculikan, dia menjadi cacat hukum, apakah dengan demikian PDI harus kongres lagi.

Inikan buang-buang biaya, lebih baik pilihlah yang bagus,”tambah Feisal. Menanggapi berbagai komentar tentang dirinya, Soerjadi di Wisma Haji Medan sehari sebelum Kongres IV PDI berlangsung mengemukakan, tetap bertekad dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi Ketua Umum DPP PDI peri ode 1993- 1998.

Namun, Soerjadi juga menyatakan siap apabila dirinya ternyata tidak dipilih lagi.

“Sebagai seorang demokrat, saya sudah siap untuk tidak terpilih dalam kongres. Tetapi kalau kongres masih menghendaki, sayapun siap dipilih kembali,”katanya.

Lima orang calon lain di bursa itu, kecuali Aberson Marle Sihaloho, rata-rata menilai kepemimpinan Soerjadi berhasil membawa gejala baru dalam tatanan dan nilai berpolitik masyarakat terutama dalam kampanye Pemilu 1992.

Aberson kepada pers menyatakan, kepemimpinan Soerjadi justru kurang berhasil karena mengingkari janji-janji PDI yang selama ini justru menjadi salah satu kunci kemenangan selama kampanye Pemilu 1992.

“Selama kampanye tahun lalu, kemenangan PDI berasal dari tema sentral tentang perubahan dan pembaruan yang sedikit banyak dipengaruhi unsur kharismatik tokoh pendahulu partai, tapi sayangnya keadaan ini justru diingkari Soerjadi, “tegasnya.

Peningkatan Peran

Para calon Ketua Umum DPP PDI dalamjumpa pers di gedung DPR Jakarta belurn lama ini menyatakan, peningkatan peran kepemimpinan partai itu masih memerlukan peningkatan karena kenyataan belakangan ini memperlihatkan adanya krisis dan kesenjangan.

Tarto Sudiro, anggota MPR F-PDI menilai, meskipun persatuan dan kesatuan selalu didengungkan berjalan baik dalam tubuh PDI, ternyata pada akhir priode kepemimpinan Soeijadi, justru berantakan.

Dia menyebutkan, anggota PDI yang berada dijajarankepemimpinan  partai (DPP, DPD, DPC) komisariat kecamatan dan kelurahan, maupun kader partai di DPR, MPR, serta Litbang terlihat tidak dapat bersatu, bahkan cenderung saling mencurigai.

“Seharusnya seluruh kekuatan yang berada di tubuh PDI dapat bersatu untuk berperan serta, bahu membahu dengan kekuatan sosial politik lain dalam pembangunan untuk keadilan dan kemakmuran rakyat,” kata Tarto.

Dari 20 orang anggota DPP PDI hasil Pemilu 1986, katanya, di luar tiga orang yang telah meninggal dunia dan satu dipecat, hanya sekitar 25 persen yang memiliki motivasi untuk bekerja di bawah koordinasi Ketua Umum, sedangkan yang lain merasa pesimis karena proses komunikasinya terhambat.

Budi Hardjono yang termasuk calon kuat untuk menjabat Ketua Umum PDI periode 1993-1998 berpendapat, kader-kader PDI selama ini lebih banyak mengedepankan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan partai.

“Sikap seperti itu harus segera diakhiri, karena semua kader PDI mempunyai fungsi dan misi untuk membesarkan partai, demi kepentingan umum,” katanya.

Berbagai pernyataan itu terlihat membuat peluang Soeijadi akan lebih banyak mengalami hambatan, sekalipun demikian gejolak dan silang pendapat yang teijadi selama kongres PDI di Medan agaknya tetap menjadi salah satu upaya “mewujudkan demokrasi” seperti yang diperjuangkan PDI selama ini. (U.AK/JKT-00 1/SBY-006)

Sumber: ANTARA (21/07I1993)

_____________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 174-176.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.