PEMBANGUNAN (BAGIAN KE I) (Cuplikan dari buku “Pak Harto Pandangan dan Harapannya”)
Jakarta, Pelita
Pengantar Redaksi :
Menyongsong pelaksanaan Pelita yang ke V tahun pertama maka Redaksi menurunkan lagi cuplikan dari buku “Pak Harto “, Pandangan dari Harapannya mengenai pembangunan yang akan dimuat secara bersambung mulai hari ini. Tulisan ini akan memaparkan kepada kita mengenai keberhasilan pembangunan pada masa pemerintahan Orde Baru dan kegagalan rencana pembangunan semesta VIII tahun dalam pemerintahan Orde Lama. Semoga bermanfaat.
“PEMBANGUNAN merupakan usaha kita untuk hidup terhormat sebagai manusia dan sebagai bangsa yang berada di tengah-tengah kehidupan dan pergaulan antar bangsa. Karena itu usaha kita bukan sekedar perwujudan sikap pragmatis melainkan benar-benar merupakan perwujudan semangat idealisme. Dengan demikian apa yang kita lakukan tidak dimaksudkan hanya untuk mempertahankan hidup, melainkan untuk mengisi dan memberi makna pada hidup kita, baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa.”
Ungkapan pandangan yang falsafi ini diutarakan oleh Pak Harto kepada tokohtokoh pemuda peserta penataran P4 tingkat nasional di Jakarta pada tanggal 27 Juni 1979.
Dalam pandangan Pak Harto di atas terdapat beberapa esensi pembangunan bangsa kita. Pertama, kehormatan sebagai manusia dan sebagai bangsa. Kedua, pragmatisme dan idealisme. Ketiga, mengisi dan memberi makna hidup manusia dan bangsa Indonesia. Pembangunan adalah usaha manusia di muka bumi ini untuk mencapai tujuan hidupnya. Kesejahteran lahir dan bathin. Bagi bangsa Indonesia hal ini telah dengan sadar dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu tujuan nasionalnya-mewujudkan kesejahteraan umum.
Para pendahulu pendiri Republik ini menyadari benar untuk apa kita merdeka dan apa arti kemerdekaan bagi suatu bangsa. Maka kalimat mewujudkan kesejahteraan umum yang mereka sulam ke dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar adalah refleksi kejiwaan yang berabad-abad lamanya tertindas dan terbina oleh penjajahan dan karenanya terpateri keinginan dan tekad untuk mengembalikan harga diri, harkat, martabat dan kehormatan.
Kemerdekaan, seperti yang mereka ukir dan nyatakan dalam baris pertama. Pembukaan Undang-Undang Dasar, adalah hak setiap bangsa,bangsa Indonesia juga bangsa-bangsa lain memiliki hak yang syah untuk memperoleh kemerdekaannya, tapi melalui perjuangan yang panjang dengan harga yang amat mahal. Kemerdekaan yang menjadi haknya itupun digapai oleh bangsa ini.
Proklamasi 17Agustus 1945 adalah titik kulminasi perjuangan bangsa yang sudah menelan harta benda dan ratusan ribu jiwa itu. Dan dalam dirinya mengandung citacita yang mengamanatkan tugas sejarah yang berat yakni mengisi dan membina kemerdekaan melalui usaha-usaha Pembangunan.
Dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1978 Pak Harto menekankan arti kemerdekaan itu bagi bangsa kita “Kemerdekaan pada hakekatnya adalah suatu tantangan, di samping sebagai hak dan kesempatan yang membahagiakan .Dengan kemerdekaan itu,kita ditantang untuk mewujudkan kehidupan bangsa kita yang lebih baik dan lebih maju, lebih makmur dan lebih berkeadilan sosial”.
Sesungguhnya kemerdekaan bangsa tidaklah sekedar perginya kaum penjajah dari Tanah Air kita. Dan juga bukan hanya beralihnya penguasa dari bangsa asing ke bangsa kita sendiri. Bukan hanya itu. Dengan memproklamasikan kemerdekaan berarti kita telah merebut kembali tanggungjawab untuk melakukan pemerintahan sendiri dan untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa kita sendiri.
Kemerdekaan karenanya selain hak suatu bangsa, juga adalah kehormatan dan kemuliaan sekaligus adalah modal dan kekuatan. Disinilah kita jumpai relevansi antara pembangunan sebagai usaha untuk hidup terhormat baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa dengan makna kemerdekaan.
Setelah perang dunia kedua, banyak negara-negara di Asia dan Afrika memperoleh kemerdekaannya. Kemerdekaan yang merupakan kehormatan dan kemuliaan itu ternyata tidak serta merta membikin mereka terpandang dan lebih dihormati. Sebabnya tidak lain karena kemiskinan dan keterbelakangan yang justru lebih mencekam setelah kemerdekaan dicapai.
Terlepas dari situasi dan kondisi setiap negara yang berbeda-beda baik sosial politik, ekonomi maupun sosial budaya, tapi bagi mereka yang melakukan pembangunan dan berhasil menaikkan taraf hidup rakyatnya serta menurnbuhkan kebanggaan nasional akan memperoleh apresiasi dan rasa hormat dari bangsa lain.
Nixon misalnya, agak merendahkan keadaan ekonomi rakyat Ghana yang dibuat porak poranda oleh presidennya Kwame N Krumali yang revolusioner-revolusioneran dan sebaliknya memberikan respeknya pada negara tetangga Ghana yaitu Pantai Gading. Sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Perancis, Presidennya yang pragmatis tapi tetap idealis diam-diam tekun membangun dan mendatangkan kemakmuran.
Pantai Gading dibanding dengan Ghana dari segi sumber alam memang bukan apa apa. Ghana, setelah merdeka, dari Inggris, sumber alam yang besar yang oleh penjajah telah digunakan sebagai tulang punggung kekuatan pembangunan ekonomi dan industri tak dapat dikelola lebihjauh, karena sikap Presiden N. Krumali yang anti Barat dan militan Pan Afrikanisme.
Sebaliknya ia laksanakan nasionalisasi industri-industri, perkebunan dan toko-toko serba ada dan di pihak lain ia kembangkan kultus-individu bagi dirinya dan menghambur-hamburkan uang negara untuk persatuan Afrika, penyatuan Ghana-Gunea dan membuat monumen-monumen.
Di pertengahan tahun 60-an harga coklat-komoditi eksport-utama Ghana-jatuh, maka Ghana tidak punya reserve lagi untuk tempat bersandar. Dalam tahun 1968, di kala perekonomian negara telah hancur disebabkan oleh fluktuasi harga coklat dan ongkos pembangunan proyek-proyek yang mahal ia kemudian digulingkan dari kekuasaannya oleh tentara pada saat ia berkunjung ke Peking.
Presiden Pantai Gading Felix Houphouet-Boigny orangnya realistis. Pada saat negaranya masih di bawah penjajahan Perancis, ia berkali-kali duduk dalam pemerintahan bahkan pernah menjabat menteri negara dalam pemerintahan De Gaulle. Aspirasi perjuangan rakyatnya untuk memperoleh kemerdekaan dipeijuangkan dengan gigih dan ia berhasil.
Bila pada tahun 1960 Pantai Gading memperoleh kemerdekaannya dari Perancis dania menjadi kepala negara, Houphouer-Boigny memang melakukan tindakan melepaskan ikatan-ikatan tertentu dengan Perancis, tapi bukan yang esensial. Daripada ia lemparkan keluar orang-orang Perancis dan Eropa lainnya dari negerinya, ia undang mereka tetap tinggal di Pantai Gading.
Dari pada melakukan nasionalisasi ia letakkan kepercayaannya pada perusahaan -perusahaan swasta. Hasilnya, Pantai Gading menjadi negara yang paling makmur di Afrika Barat dengan angka pertumbuhan 8% setahun dan income per capita lebih 3 kali dari Ghana.
Waktu mengunjungi Indonesia dalam tahun 1953 sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat apa yang dia lihat di sepanjang rote iring-iringan-dari lapangan terbang Kemayoran ke lstana Merdeka-telah menumbuhkan kesan ketidak kaguman, karena kontrasnya Istana yang anggun dan rumah-rumah gubuk di tepitepi jalan Jakarta yang ia lalui.
Setelah kita melaksanakan pembangunan baru dalam dua dasa warsa terakhir ini hasil-hasilnya telah membikin banyak pihak merasa kagum dan respek.
Dalam bulan Januari tahun 1969 Howard P. Jones Duta Besar Amerika Serikat yang lama bertugas di Jakarta dalam masa Orde Lama, sangat terkesan akan perubahan yang telah tetjadi. Kepada kawan-kawan lamanya selalu disampaik:an satu hal ilmu sulap apa yang dipakai dalam melaksanakan pembangunan, sehingga hasilnya begitu cepat kelihatan (segera tampak di Jakarta)? Ini satu tanda bahwa Jones mengagumi satu bangsa yang sedang membangun.
Kekagumannya punya dasar pengalaman dan perbandingan. Dalam benaknya masih terbayang apa yang pernah dilihatnya di masa Orde Lama penderitaan dan kesengsaraan rakyat, antrian orang orang yang panjang untuk sekedar membeli beras dan minyak tanah akibat mandeknya roda pembangunan, sementara secara nyata ia melihat dengan mata kepala sendiri dalam masa Orde Baru wajah rakyat Indonesia yang mulai ceria, Jakarta yang sedang berderap maju ke metropolitanannya, lenyapnya antrian-antrian dan Mantan Duta Besar Jones mendengar gernuruhnya roda-roda Pembangunan Nasional.
Setiap kepala negara, Raja atau Presiden, setiap kepala pemerintahan yang berkunjung ke Indonesia selama Orde Baru ini, tanpa basa-basi telah menyampaikan penghormatannya kepada pembangunan dan hasil-hasilnya yang nyata.
Pimpinan badan-badan Moneter Internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund, secara tulus memberikan pujian atas keberhasilan pembangunan di negara ini. Ketua Dewan Direktur The Chase Manhattan Bank Willard D. Buteher- mengunjungi Indonesia dalam tahun 1986.
Kepada Prof. Widjojo Nitisastro Mantan Menko Ekuin/Ketua Bappenas, ia menyampaikan rasa kagum dan hormatnya kepada para pemimpin dan rakyat Indonesia. Menurutnya, hasil pembangunan dalam beberapa Repelita telah rnemungkinkan Indonesia sebagai satusatunya negara penghasil minyak dan berpenduduk besar yang berjaya mengendalikan pembangunan di tengah-tengah krisis harga minyak di pasaran dunia.
Pembangunan yang telah diselenggarakan melalui Pelita I dalam tahun 1969 sampai sekarang telah dirasakan sebagai wahana kencana kehormatan bagi bangsa ini di tengah-tengah pergaulan antar bangsa. Dalam Kongres Pemuda sedunia yang diselenggarakan oleh UNESCO di Barcelona, Spanyol dalam tahun 1985 Indonesia memperoleh kehormatan dari lembaga PBB itu melalui permohonan kepada Presiden Republik Indonesia sebagai wakil Pemimpin Asia untuk memberikan sambutan di samping pemimpin-pemimpin dunia lainnya. UNESCO memandang, Indonesia telah melaksanakan satu model pembangunan yang integratif, mencakup segala aspek dan dimensi pembangunan termasuk pernbangunan kepernudaan.
Sambutan tertulis Presiden, yang saya bacakan sendiri bergema dalam kongres itu, dan memperoleh sambutan yang sangat baik: dari Ditjen UNESCO Amandou Mohtar M’Bow maupun dari pemimpin-pemimpin pemuda yang datang dari macam-macam negara.
Yang lebih menyentuh perasaan kita sebagai bangsa adalah penghargaan, yang datang dari lembaga PBB di bidang pangan yaitu FAO, dan dialamatkan kepada Pak Harto. Dalam rangka peringatan 40 tahun, FAO mengadakan satu pertemuan besar di Roma, Italia bulan November 1985.
Untuk memberikan bobot yang kuat kepada konperensi itu maka lembaga itu mengundang dua pemimpin dunia-Mitterand Presiden Perancis mewakili negara maju dan Soeharto, Presiden Republik Indonesia mewakili negara-negara sedang membangun untuk memberikan sambutan dalam forum yang amat terhormat dan representatif itu. (Bersambung)
Sumber : PELITA (01/04/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 97-101.