PEMBANGUNAN MUTLAK MEMERLUKAN STABILITAS

PEMBANGUNAN MUTLAK MEMERLUKAN STABILITAS

 

 

Jakarta, Merdeka

Presiden Soeharto menegaskan, kalau saat ini dibutuhkan stabilitas nasional bukan berarti harus mengurangi kebebasan atau hak azasi dari orang perorang maupun golongan.

Tetapi yang dikehendaki perlunya diperhatikan stabilitas nasional adalah untuk melaksanakan dan melanjutkan pembangunan.

“Pembangunan dapat membuat pertumbuhan, pertumbuhan ada pemerataan ada dan ini berarti memperbaiki taraf hidup daripada rakyat Indonesia,” kata Kepala Negara kepada wartawan di pesawat DC-10 Garuda dalam perjalanan dari Jenewa, Swiss ke Jakarta, Senin.

Presiden mengemukakan, kalau Pemerintah sekarang iniselalu berpegang teguh pada pelaksanaan pembangunan dan pertumbuhan bukan hanya seolah-olah kehendak daripada Pemerintah, tetapi semata-mata melaksanakan amanat rakyat melewati MPR. Karena Trilogi pembangunan dan pembangunan keseluruhannya ditentukan oleh rakyat yang berdaulat diserahkan kepada MPR itu.

“Ini hendaknya benar-benar selalu kita paharni bahwa pembangunan harus kita amankan dan pada keadaan bagaimanapun juga pembangunan harus bisa kita kerjakan,” kata Kepala Negara.

Ditegaskan dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang baik dari dalam maupun luar negeri harus selalu bertitik tolak daripada pembangunan. Karena hanya dengan pembangunan pertumbuhan akan bisa terjamin, dengan adanya pertumbuhan maka pemerataan akan bisa dilaksanakan dalam rangka memperbaiki taraf hidup rakyat. Sedangkan pembangunan itu sendiri mutlak memerlukan stabilitas nasional.

 

Pinjaman Luar Negeri

Presiden juga mengemukakan dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sekarang, misalnya soal pinjaman luar negeri, bagaimanapun Indonesia tetap memenuhi membayar pinjaman tersebut derni kelangsungan pembangunan.

Dengan tetap mematuhi kewajiban mencicil utang, diharapkan negara-negara donor tetap memberikan bantuan yang memungkinkan Indonesia dapat melanjutkan pembangunan.

Indonesia, menurut Kepala Negara tidak menempuh cara seperti yang ditempuh Negara-negara Amerika Latin yang tidak mau membayar pinjamannya karena kurang mampu. Karena cara demikian hanya berhasil untuk satu atau dua tahun saja. Setelah itu, mereka tidak berhasil, Karena keputusan sepihak demikian menyebabkan negara-negara donor tidak mau lagi memberikan bantuan kepada negara-negara sedang berkembang tersebut.

Ditambah lagi dengan sendirinya perdagangan negara-negara tersebut tidakjalan, barang-barang kebutuhan untuk Industrinya, bahan baku, tidak bisa diimpor karena tidak ada hubungan perdagangan. Akibatnya semua industri di dalam negeri jadinya tidak ada bahan bakunya, macet produksi menurun, padahal kebutuhan rakyat terus meningkat.

Sehingga akhirnya perimbangan antara suplai dan demand jadi tidak seimbang dan harga menjadi naik.

Selain itu, modal di dalam negeri juga akhirnya lari ke luar negeri karena tidak ada jaminan di dalam negeri untuk bisa berusaha. Dengan demikian, maka sama sekali mereka tidak dapat melanjutkan pembangunannya.

“Kita mengingatkan pembangunan itulah yang harus diimankan, dilaksanakan, karena itulah kita menempuh kebijaksanaan yang selalu mengamankan pembangunan agar supaya bisa dilanjutkan Pembangunan yang berkesinambungan inilah yang kita lakukan,” tutur Kepala Negara, sambil menambahkan, “Kita gunakan momentum daripada penghargaan dari PBB ini untuk memacu usaha bidang pembangunan kependudukan bisa berhasil, yang berarti pula pembangunan nasional memperbaiki taraf hidup bisa berhasil”.

Berbicara mengenai hasil pembicaraannya dengan Presiden AS George Bush, Presiden Soeharto mengemukakan, telah dibahas mengenai kerjasama bilateral antara Indonesia dan AS dalam rangka mengamankan pembangunan di Indonesia, khususnya mengenai perdagangan kedua negara.

Tentang pembayaran hutang ke AS disebutkannya tidak ada masalah, karena memang tidak ada pengaruh buruk apresiasi mata uang asing, karena pinjaman itu dalam bentuk dollar AS dibayar dengan dollar AS juga.

Tetapi terhadap negara-negara lain yang mata uangnya lebih tinggi terhadap dollar AS, iniyang menjadi masalah. “Kemudian sayakemukakan kepada AS, karena tidak ada masalah ini rupa-rupanya kurang dimengerti oleh pihak AS, sehingga Indonesia berupaya menjelaskan kepada enam negara donor, termasuk kepada lembaga­lembaga keuangan dunia maupun IMF yang telah mengerti,” kata Presiden. Tetapi, menurut Kepala Negara, ada kesulitan karena ada pejabat-pejabat AS

yang duduk di dalam Bank Dunia, IMF tidak mengerti sehingga kurang mendukungnya . “Dan inilah yang saya kemukakan. Agar pejabat-pejabat AS itu mengerti soal Indonesia, setelah kita melakukan kewajiban membayar kembali utang yang telah jatuh waktunya tersebut pada negara-negara, walaupun menjadi membengkak karena apresiasi daripada mata uang Yen terhadap dolar, Golden terhadap dolar dan sebagainya,”tuturnya.

Berbicara tentang dilaksanakannya Program KB, jika program ini berhasil dengan baik mencapai angka pertumbuhan yang konstan pada 0 persen, maka jumlah penduduk Indonesia tahun 2050 mendatang sekitar 250juta jiwa .Jumlah penduduk yang demikian cukup tinggi, karenanya sangat penting dari sekarang harus diamankan pelaksanaan pembangunan itu demi lebih meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat itu. “Untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan penduduk yang kini

berjumlah 178 juta jiwa saja sulit, apalagi pada tahun 2050 nanti yang berjumlah 250 juta,” tuturnya. Oleh karena itu, program KB itu tidak semata-mata membatasi jumlah penduduk tetapi juga untuk mengendalikan agar kehidupan masyarakat lebih baik.

 

Tiba

Presiden Soeharto tiba dengan selamat setelah menyelesaikan kunjungannya di Amerika Serikat untuk menerima penghargaan PBB bidang kependudukan, di samping mengadakan pertemuan dengan Presiden George Bush.

Pesawat DC-10 Garuda yang ditumpangi Kepala Negara dan Nyonya Tien Soeharto bersama rombongan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pukul 08.20 WIB setelah menempuh penerbangan sekitar 15 jam dari Jenewa, Swiss, termasuk kurang lebih satu jam singgah di Abu Dhabi untuk mengisi bahan bakar.

Sambil menunggu pengisian bahan bakar pesawat, Presiden Soeharto sempat turun dari pesawat dan mampir ke Ruang VIP Kepresidenan di Bandara Abu Dhabi.

Kepala Negara dijemput di atas pesawat oleh Kepala Protokol Kementerian Luar Negeri Persatuan Emirat Arab (UAE), Al Segal. Tiba di bawah, dia disambut Menteri Kesehatan UAE. Hamad Al Medfa.

Presiden dan Menkes UAE sempat berbincang-bincang selama kurang lebih setengah jam. Setelah itu Presiden meneruskan peijalanan ke tanah air. Kedatangan kembali Presiden dan rombongan yang temyata lebih awal sekitar setengah jam dari jadwal tiba, disambut Wakil Presiden dan Ny.EN Sudharmono.

Tampak ikut menyambut kedatangan Kepala Negara dan rombongan di Halim Perdanakusuma itu, Menko Ekuin Radius Prawiro, Menko Kesra Soepardjo Rustam, Menhankam LB .Moerdani, Menmud Seskab Saadilah Mursyid, Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno serta para pejabat tinggi lain, baik sipil maupun militer.

Selama kunjungan di AS, Kepala Negara disertai pula oleh Menlu Ali Alatas dan Mensesneg Moerdiono.

Presiden Soeharto menerima penghargaan PBB bidang kependudukan (UN Population Award) di Markas Besar PBB, New York, Kamis 8 Juni sore atau sekitar Jumat 9 Juni subuh WIB.

Penghargaan itu terdiri dari atas sebuah medali, piagam dan cek bernilai 12.500 dolar AS. Semuanya itu diserahkan langsung oleh Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar.

Atas pertanyaan wartawan di pesawat sebelum mendarat kembali di tanah air Senin pagi, Presiden Soeharto menjelaskan bahwa penghargaan berupa cek tersebut dia sumbangkan kembali kepada Badan Dana Kependudukan PBB untuk melaksanakan kegiatannya.

“Saya tahu, banyak negara lain yang memerlukan bantuan lebih besar,” ucapnya. (SA)

 

 

Sumber :MERDEKA (13/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 904-907.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.