PEMBERIAN GRASI KEPADA XANANA LANGKAH BIJAKSANA

PEMBERIAN GRASI KEPADA XANANA LANGKAH BIJAKSANA[1]

 

Semarang, Antara

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Dr. Muladi, SH mengatakan grasi yang diberikan Presiden Soeharto kepada tokoh GPK Fretelin, Xanana, merupakan langkah bijaksana dalam menyelesaikan masalah Timor-Timur.

“Pemberian grasi oleh pemerintah Indonesia itu akan menimbulkan image lebih positif dunia internasional,” kata Muladi kepada ANTARA di Semarang, Sabtu malam.

Seperti diumumkan Mensesneg Moerdiono, Presiden Soeharto telah memberikan grasi kepada terpidana Xanana Gusmao, dengan mengurangi hukuman penjara seumur hidup menjadi 20 tahun.

Pemberian grasi juga diberikan kepada dua anggota Fretilin lain yang terlibat peristiwa Dili 12 November 1991, yaitu Carlos Dos Santos dan Bonavicio Ferera.

Menurut dosen Undip itu, ada tiga jenis grasi yang diberikan Presiden antara lain menghapus seluruh hukuman yang dijatuhkan, mengurangi hukum yang dijatuhkan, dan jenis terakhir grasi yang mengubah, misalnya terpidana penjara menjadi hukuman kurungan atau dari pidana mati menjadi penjara.

“Grasi yang diberikan kepada Xanana cs adalah jenis grasi kedua, yaitu mengurangi hukuman yang dijatuhkan,”katanya menjelaskan.

Sebagai misal, Carlos yang semula dihukum delapan tahun menjad i enam tahun dan Bonavicio Perera darienam tahun menjadi empat tahun. Muladi yang juga selaku Konsultan Ahli Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mengemukakan, langkah yang telah diambil pemerintah itu akan berdampak lebih besar di percaturan politik intemasional, apalagi terpidana di penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang yang dinilai baik.

Pembinaan

Secara yuridis, kata Muladi, dipidana penjara bisa saja ditempatkan di seluruh LP di Indonesia, karena merupakan pembinaan nasional, lain dengan pidana kurungan yang hanya bisa dilakukan pembinaan di daerah domisilinya.

Jika terpidana di penjara masih di wilayah Timtim, akan berdampak psikologis baik bagi Xanana pribadi maupun masyarakat di sekitarnya, sehingga pemerintah menempatkan Xanana jauh dari tempat tinggalnya adalah sangat bijaksana, katanya menjelaskan. Apabila Xanana ditempatkan di penjara sembarangan, maka akan berdampak politis, karena sewaktu-waktu Badan Palang Merah Internasional (ICRC) meninjau keadaan Xanana.

Kendati terpidana Xanana mempunyai dampak politik internasional, namun yang bersangkutan tidak diberikan “hak Postole”, yaitu hak untuk memperbaiki kondisi atau keadaan di penjara atas biaya sendiri.

“Karena, hak ini hanya diberikan pada terpidana kurungan (hukuman maksimal satu tahun, jika ada pemberatan maka akan dikenakan maksimal satu tahun lebih empat bulan, Red).” katanya.

Image yang positif juga ditunjukkan oleh penegak hukum secara proporsional, karena Xanana tidak diproses berdasarkan ketentuan hukum subversif, atau sesuai dengan Undang-Undang nomor 11 PNPS Tahun 1963, kata Muladi .

Selain itu, katanya menjelaskan, Undang-Undang itu masih bersifat kontroversial di kalangan ahli hukum, karena Undang-Undang ini bekas penetapan Presiden yang dianggap inkonstitusional.

“Upaya mencegah image yang negatif maka terpidana diproses berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” kata Konsultan Ahli BPHN itu.

(Fax.U .Smr-K03/Smr-001/PU13/DN06/ 15/08/93 17:02)

Sumber: ANTARA (15/08/1993)

__________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 674-675.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.