PEMBICARAAN PRESIDEN DENGAN MUI

PEMBICARAAN PRESIDEN DENGAN MUI

Kemarin di Bina Graha Presiden Soeharto menerima Majelis Ulama Indonesia (MUI) pimpinan Prof. Dr. Hamka. Pusat pembicaraan berkisar pada masalah pendidikan nasional, khususnya liburan sekolah dalam bulan suci Ramadhan.

Mengapa Majelis Ulama Indonesia membawa masalah pendidikan kepada Kepala Negara? Tidak lain karena pendidikan mempakan salah satu masalah yang paling mendasar, seperti dikemukakan Rapat Pimpinan Kowilhan II di Yogyakarta baru-baru ini.

Pendidikan merupakan masalah nasional, paling sedikit karena tiga alasan. Pertama, pendidikan tidak hanya kebutuhan manusia secara individual tapi sekaligus sebuah kebutuhan masyarakat secara kolektif.

Alasan kedua, sikap dan karakter, demikian pula kemampuan intelek dan pandangan seseorang anak didik ikut dipengaruhi oleh pendidikannya. Dengan kata lain, sistem dan kebijaksanaan pendidikan nasional mempengaruhi masa depan kehidupan bangsa.

Alasan ketiga, pendidikan mempakan peralatan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan kecerdasan orang seorang atau sekelompok masyarakat, tapi yang dituju adalah kecerdasan hidup seluruh rakyat Indonesia yang tinggal di kota-kota dan desa-desa.

Bahkan para ahli strategi menyatakan, pendidikan bukan lagi sekedar peralatan untuk mencerdaskan kehidupan, tapi lebih luas dari itu sudah merupakan kekuatan yang mampu mengangkat derajat hidup masyarakat yang memiliki pendidikan.

Karena itulah pemikir dan pejuang bangsa Indonesia yang ikut merumuskan konstitusi negara UUD 1945, secara sengaja dan sadar mencantumkan masalah pendidikan dan/atau pengajaran. Mereka pun merumuskan, usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan nasional.

Majelis Ulama Indonesia dan Kepala Negara menyadari betul arti penting dan strategisnya pendidikan. Mereka pun menyadari akan arti pentingnya peningkatan mutu pendidikan yang mutlak diperlukan untuk mempercepat pembangunan.

Namun kesadaran itu tidak berarti dilupakannya tujuan pendidikan nasional guna meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti memperkuat kepribadian dan mempertebal semangatkebangsaan.

Tujuan itu hanya bisa dicapai dengan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Tak ada gunanya meningkatkan mutu pendidikan, kalau bertentangan dengan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan keluar dari azas Pancasila.

Peningkatan mutu pendidikan itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain sistem dan kebijaksanaan pendidikan nasional, sarana pendidikan berupa sekolah-sekolah dan perlengkapannya, mutu dan kesegaran guru, daya tangkap anak didik, serta lamanya waktu belajar.

Jelas bahwa waktu belajar hanya satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan. Semakin jelas pula bahwa libur sekolah dalam bulan suci Ramadhan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk membuat anak didik jadi bodoh. Yang jadi masalah, bagaimana mengatur hari dan libur sekolah.

Pengaturan mengenai hari dan libur sekolah seperti tertuang pada pasa126 ayat 1, UU No.4 Tahun 1950 sampai saat ini masih berlaku dan belum dicabut, di mana kepentingan pendidikan, faktor musim, kepentingan agama dan hari-hari raya kebangsaan jadi bahan pertimbangan.

UU tersebut mengikat semua pihak, dan berlaku secara nasional. Libur sekolah sekitar 30 hari dalam bulan suci Ramadhan, tidaklah mengganggu kepentingan pendidikan. Faktor musim kemarau atau musim hujan juga tidak banyak berpengaruh.

Bagaimana kalau tidak diliburkan. Para guru dan anak didik kurang segar jasmaninya dalam memberi dan menerima pendidikan, karena mereka sedang melatih badaniah dan rohaniah serta memusatkan pikiran dan perasaannya menjalankan ibadah agama.

Bayangkan saja anak didik di desa yang mesti jalan kaki atau naik sepeda puluhan km ke kota kecamatan untuk sekolah dalam bulan suci Ramadhan, di mana ia sedang berpuasa. Jumlah mereka banyak sekali di seluruh Indonesia.

Bayangan inilah yang ada di pikiran kita semua, padahal kita akan berusaha meningkatkan kecerdasan mereka dalam kondisi pisik yang relative lemah karena anak­anak didik itu sedang berjuang menahan nafsu makan, minum dan sebagainya.

Apalagi dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, budi pekerti dan semangat kebangsaan, masalah hari dan libur sekolah dalam bulan puasa perlu dikaji lebih bijaksana, sehingga tidak meluas keresahan. (DTS)

Jakarta, Pelita

Sumber: PELITA (22/05/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 388-390.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.