PEMBICARAAN PRESIDEN SOEHARTO DAN PM MIYAZAWA JEPANG AKAN PERTIMBANGKAN CARA MEMULAI DIALOG UTARA SELATAN[1]
Tokyo, Kompas
Presiden Soeharto dalam pembicaraan dengan PM Jepang Kiichi Miyazawa di Tokyo kemarin menyampaikan hasil-hasil KTT X Gerakan Non Blok (GNB) di Jakarta, dan menyatakan ingin pula memberi penjelasan mengenai basil KTT GNB di Jakarta awal September lalu tersebut kepada negara-negara anggota G7 lainnya. Atas pernyataan tersebut, menurut Mensesneg Moerdiono, PM Miyazawa mengatakan bahwa Jepang akan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh bagaimana caranya untuk memulai dialog Utara-Selatan, dan sepenuhnya akan berkonsultasi dengan Presiden Soeharto.
Apakah pernyataan Presiden Soeharto di atas sebagai adanya keinginan Presiden Soeharto untuk hadir di KTT G7, Moerdiono atas pertanyaan wartawan menegaskan, pernyataan Presiden itu disebut secara umum saja.
“Presiden tidak secara spesifik menyebut untuk diminta hadir di KTT G7.” Ditegaskan, pertemuan Kepala Negara petang kemarin dengan Miyazawa, misalnya, dapat dianggap sebagai bagian daripada dialog Utara-Selatan.
Di bidang kerja sama bilateral, kata Moerdiono, Presiden Soeharto antara lain minta agar Pemerintah Jepang dapat memberikan dukungan kepada pihak swasta Jepang yang akan menangani proyek-proyek di Indonesia untuk meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi nasional. Hal lain yang dianggap penting dapat dilakukan Jepang di waktu-waktu mendatang adalah peningkatan arus wisatawan Jepang ke Indonesia. Untuk itu dianggap perlu didukung oleh kelancaran penerbangan. Demikian dilaporkan wartawan Kompos Ansel da Lopez dari Tokyo semalam. Sebelum pembicaraan dengan PM Miyazawa, Presiden dan Nyonya Tien
Soeharto melakukan kunjungan kehormatan kepada Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko bertempat di Istana Akasaka. Kunjungan kehormatan itu dilanjutkan dengan jamuan santap siang bersama. Ikut dalam kunjungan itu putri Presiden, Ny. Siti Hediati Prabowo. la dampingi Putri Nori, putri bungsu Kaisar
Terima kasih
Pembicaraan Presiden Soeharto dengan PM Miyazawa sore kemarin berlangsung hampir dua jam mulai pukul 15.00 waktu setempat bertempat di kantor perdana menteri PM Miyazawa didampingi Sekretaris Kabinet Jepang Koichi Kato dan Dubes Jepang untuk Indonesia Michihiko Kunihiro. Sementara Presiden Soeharto didampingi Mensesneg Moerdiono, Prof. Widjojo Nitisastro dan Dubes RI untuk Jepang Poedji Koentarso.
Menurut Moerdiono, kedua pemimpin menyatakan puas atas hubungan bilateral kedua negara yang berlangsung sangat baik. Presiden Soeharto, secara khusus menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas perhatian Jepang yang besar dalam ikut serta membantu pembangunan Indonesia. Juga terima kasih karena Jepang telah mempelopori sidang Grup Konsultatif untuk Indonesia (CGI) beberapa waktu lalu sebagai pengganti IGGI.
Kepala Negara menekankan bahwa peranan Jepang dalam membantu ekonomi Indonesia pendapat dilihat dari dua sudut, yakni yang berupa bantuan pinjaman dan dalam bentuk investasi. Diharapkan di masa mendatang peranan Jepang tersebut dapat ditingkatkan. Kata Miyazawa Presiden juga tekankan bahwa di tahun mendatang Indonesia ingin meningkatkan jumlah dan peranan ekspor nonmigas bagi pertumbuhan perekonomian nasional.
Sikap Indonesia untuk meningkatkan ekspor nonmigas tersebut menurut Moerdiono, dipaharni dan disetujui sepenuhnya oleh PM Miyazawa.
“Bahkan Perdana Menteri mengatakan,adalah menjadi kepentingan Jepangpula apabila Indonesia dapat meningkatkan dan makin berhasil dalam perekonomiannya.”
Khusus mengenai ekspor nonmigas tersebut, Presiden Soeharto menjelaskan kebijakan-kebijakan deregulasi dan debirokratisasi, serta upaya pengendalian pinjarnan komersial luar negeri RI dengan dibentuknyaTim Pengendalian Pinjaman Luar Negeri. Diterangkan pula, untuk pengendalian pinjaman komersial luar negeri, khususnya di kalangan dunia usaha swasta, Pemerintah sangat mendorong adanya proyek-proyek penanaman modal asing. Dalam hubungan ini Kepala Negara menjelaskan pentingnya pembangunan proyek olefin dan aromatic center dan alumina, terutama untuk mendorong ekspor nonmigas.
Di antara hasil-hasil KTT X GNB di Jakarta, hal-hal fundamental yang disampaikan Presiden kepada PM Miyazawa adalah, pertama, hilangnya keragu-raguan di antara Non Blok sendiri dan bangsa-bangsa lain mengenai masih relevan atau tidaknya GNB setelah berakhirnya Perang Dingin. Menurut Mensesneg, dilihat dari jumlah peserta dan peninjau yang datang dan hasil-hasil yang dicapai, GNB temyata masih relevan.
Kedua, bahwa bidang ekonomi merupakan prioritas yang besar, kendatipun masalah politik tetap harus mendapat perhatian. Ketiga, kerja sama Selatan-Selatan akan mendapat perhatian yang lebih besar, dan diusahakan agar lebih konkret lagi, dan itu justru akan memberi bobot yang lebih besar lagi dalam dialog Selatan dengan Utara. Keempat, semangat kemitraan, bukan hanya antara Selatan-Selatan, tapi juga diharapkan antara Selatan dan Utara menggantikan suasana konfrontasi seperti yang terasa pada masa sebelumnya.
Perdana Menteri Miyazawa, kata Moerdiono, juga mengamati bahwa KTT GNB yang berlangsung di Jakarta, mencerminkan adanya pertukaran pikiran yang konstruktif di antara anggota-anggotnya. Miyazawa menjanjikan, Jepang akan memikirkan dengan sungguh-sungguh bagaimana dapat ikut melaksanakan hasil KTT GNB Jakarta tersebut. PM Jepang itu juga menyampaikan penghargaan dan kekagumannya pada kepemimpinan Indonesia, khususnya kepemimpinan Presiden Soeharto dalam KTT, dan mengharapkan kepemimpinannya yang konstruktif didalam masa kepemimpinan Indonesia dalam tiga tahun mendatang.
Sementara pembicaraan Presiden dan PM Miyazawa berlangsung, Ny. Tien menyaksikan peragaan pembuatan berbagai jenis perhiasan dari mutiara, bertempat di Hotel Imperial, tempat. Kepala Negara menginap. Selasa malam ini sekitar pukul 19.00 WIB, Presiden dan rombongan diharapkan tiba kembali di TanahAir.
Sumber: KOMPAS (29/09/1992)
___________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 382-384.