PEMBITJARAAN DI DPRGR :
PELEPASAN M.A. SEBAGAI PUNTJAK PERADILAN TAK DISETUDJUI [1]
Djakarta, kompas
RUU tentang Ketentuan/Pokok Kekuasaan Kehakiman dan RUU tentang susunan, Kekuasaan dan Hukum Atjara Mahkamah Agung telah mentjapai Pembitjaraan tingkat III (pemandangan umum) di DPRGR senin kemarin.
Pada umumnja para anggota DPRGR menjambut baik diadjukannja kedua RUU tsb. oleh pemerintah mereka beranggapan kedua RUU itu sangat penting bahkan sangat vital dalam pelaksanaan penegakan “rule of law” Walaupun demikian semua anggota berpendapat bahwa dalam kedua RUU tsb. masih terdapat banjak ketentuan2 jang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan prinsip/hukum jang benar serta adil jang hendak ditjapai.
Peradilan Bebas
Semua anggota sependapat dengan Pemerintah bahwa peradilan itu harus bebas dan dalam mendjalankan kewadjibannja tidak ditjampuri atau dipengaruhi oleh Pemerintah tetapi banjak anggota jang melihat bahwa dalam kedua RUU tsb. terdapat ketentuan2 jang djustru bertentangan dgn prinsip peradilan bebas itu.
Oleh FX Soedjana SH dari fraksi Katolik dikemukakan bahwa pasal 10 Jo 2 dan 3 Jo pasal 11 jang pada pokoknja telah memungkinkan berbagai departemen mempunjai wewenang dalam bidang peradilan, sekalipun setjara organisatoris, administratif dan finansial dalam prakteknja tidak mendjamin terlaksananja peradilan bebas itu. Kemudian ditanjakan mengapa hal2 tsb. diatas tidak sadja diletakkan dibawah Departemen Kehakiman.
Djuga SM Nainggolan SH dari fraksi Murba melihat adanja pertentangan ini dalam pasal 32 aj. dimana dinjatakan bahwa baik Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman dapat memberikan usul2 mengenai promosi, pengangkatan, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman djabatan para hakim kepada MPPH.
MA Sebagai Puntjak Peradilan
Dilepaskannja gagasan bahwa MA (Mahkamah Agung) merupakan puntjak peradilan banjak mendapat tantangan dari para anggota DPRGR. Alasan jang dikemukakan Pemerintah bahwa penguasaan MA terhadap semua djenis peradilan (peradilan umum, peradilan agama, Militer dan Administratif) mempunjai latar belakang keinginan untuk menudju kearah peradilan terpimpin, tidak dapat diterima oleh para anggota. Menurut SM Nainggolan SH segala sesuatu jang berbau terpimpin baru timbul dengan adanja Dekrit 5 Djuli 1959, sedangkan MA sebagai puntjak dari semua matjam peradilan itu telah kita kenal sudah sedjak bedirinja Negara RI. Selain itu oleh pembitjara ditanjakan apakah dengan demikian kita akan mengenal empat djenis Mahkamah Agung? Kalau demikian maka setjara organisatoris, administratif dan finansial, Dept Hankam nantinja akan mambawahi Mahkamah Agung, Militer, Dept Agama membawahi Mahkamah sjariatnja dst.
Djuga FX Soedjana SH dari fraksi Katolik tidak dapat menerima gagasan dari Pemerintah itu. Karena apabila masing2 badan peradilan akan mempunjai MA nja sendiri, maka sulitlah mendjamin kepastian hukum sebab dengan struktur jang demikian itu akan menimbulkan penafsiran2 jang tidak seragam. Lebih sulit lagi kalau timbul juridis geschil. MA manakah jang harus menentukan ? Pendapat jang serupa djuga dikemukakan oleh Ibu Harahap dari Parkindo, Nj. Salyo SH dari karya Pembangunan Adan Abdul Mufhi dari PMI.
Tentang MPPH
Para anggota pada umumnja tidak menaruh keberatan terhadap dibentuknja Madjelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dengan diberi beberapa komentar dan usul amandemen.
Pembitjara Abdul Mufhi SH mengusulkan agar didalam komposisi MPPH itu djuga dimasukkan seorang anggota DPRGR sehingga sorotan masjarakat djuga dapat tersalurkan.
Ibu Salyo SH dari fraksi Karya Pembangunan A beranggapan bahwa komposisi MPPH jang terdiri dari 5 unsur itu adalah terlalu banjak sehingga diusulkan agar dikurangi. Tetapi kalau toh dianggap perlu begitu banjak maka sebaiknja ditambah lagi dengan wakil dari kedjaksaan. Dan ibu Harahap dari Parkindo mengusulkan agar sebaiknja MPPH itu hanja terdiri dari para hakim sadja. Selain itu oleh ibu Harahap diusulkan pula agar keputusan MPPH itu tidak bersifat menentukan, melainkan bersifat nasehat.
Azas Opportunis atau Legalitet
E. Sjaefullah SH dari Fraksi PSII menanjakan kepada Pemerintah, azas apa jang akan dipergunakan dalam UU Ketentuan2 Pokok Kekuasaan Kehakiman. Maksudnja adalah azas opportunitet atau azas legalitet ? Dipergunakannja azas opportunitet selama ini telah terbukti menimbulkan penjalahgunaan dari azas tsb.
sehingga banjak pedjabat jang mempunjai kedudukan penting sering terhindar dari tuntutan hukum dengan alasan jang dibuat2. Dengan demikian maka apakah sesuai dengan rule af law?
Selandjutnja dimintakan djuga agar kedua RUU ini akan disusul dengan perubahan2 HIR dan KUH Pidana/Perdata. (DTS)
Sumber: KOMPAS (29/10/1968)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 214-216.