Penanam Kedermawanan (Kisah Swasembada)

Penanam Kedermawanan (Kisah Swasembada)[1]

Tahun 1984 merupakan tahun yang menyenangkan buat kita. Pasti kita semua gembira. Kejadian yang tak akan terlupakan selama hidup saya. Pada tahun ini kesulitan yang begitu lama mengungkung kita, bisa kita atasi. Dari sekian lama menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, dengan usaha keras akhirnya Indonesia bisa berswasembada beras.

Usaha kita telah berhasil. Cucuran keringat para petani yang sekian juta banyaknya tidak percuma. Maka para petani kita disebut oleh Dirjen FAO Edouard Saouma sebagai “para penanam sukses“, “para penanam  kedermawanan“.

Usaha kita dalam meningkatkan produksi pangan itu, khususnya beras, dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Karena memperluas lahan memerlukan dana yang besar, maka titik berat diletakkan pada usaha intensifikasi. Caranya ialah dengan menaikkan produktivitas dan produksi padi pada areal yang telah ada. Usaha intensifikasi yakni dengan menerapkan teknologi Panca Usaha.

Para petani perlu melihat bukti-bukti yang nyata. Petani tidak puas hanya mendengar pidato-pidato. Maka kita bangun di mana-mana petak-petak percontohan. Biar para petani melihat bukti. Dan agar peningkatan produksi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh petani, maka kita tentukan harga dasar penjualan padi yang dari waktu ke waktu selalu diadakan penyesuaian-penyesuaian. Harga itu di satu pihak harus merangsang petani untuk meningkatkan produksinya dan di pihak lain harga pada tingkat konsumen harus tetap terjangkau oleh masyarakat luas, sekaligus dalam rangka pengendalian stabilitas ekonomi.

Kita bangun di desa-desa Koperasi Unit Desa, KUD. Kita giatkan Bimas, bimbingan massal. Di samping usaha-usaha intensifikasi itu, lalu kita juga melaksanakan dalam batas-batas tertentu ekstensifikasi tanaman padi. Terutama dengan memperluas lahan penanaman padi di tanah-tanah kering dan persawahan pasang surut, yang sekaligus kita kaitkan dengan program transmigrasi. Para transmigran diberi tanah seluas dua hektar untuk setiap kepala keluarga untuk usaha-usaha pertanian.

Sebelum Repelita I dilaksanakan, rendahnya produktivitas dan produksi padi secara nasional antara lain disebabkan oleh irigasi yang terbatas dan banyak yang terbengkalai. Karena itu, untuk memungkinkan penanaman padi dua kali dalam setahun sawah-sawah beririgasi terus diperluas.

Pada awal Repelita I area luas sawah beririgasi 3,6 juta hektar. Pada akhir Repelita III telah kita capai 4,9 juta hektar lebih. Suatu peningkatan sebesar 1,3 juta hektar dalam jangka waktu 15 tahun. Areal sawah beririgasi ini sebagian besar dapat ditanami sampai dua kali dalam setahun. Maka panen padi seluruhnya meningkat dari 8 juta hektar di tahun  1969 menjadi 9,6 juta  hektar di tahun  1984.

Pemakaian pupuk juga meningkat dengan luar biasa. Pada tahun 1969 petani-petani kita menggunakan 357 ribu ton pupuk. Pada tahun 1984 pemakaian mereka meningkat menjadi 4,1 juta ton. Kita punya pengalaman betapa sulit pada saat permulaan memperkenalkan pupuk kepada petani-petani tradisional. Tetapi, setelah beberapa waktu keadaan berbalik. Para petani akan menjerit­jerit jika persediaan pupuk untuk mereka terlambat datang.

Dengan sadar kita kembangkan industri yang mendukung pembangunan pertanian. Karena itu, jika pada tahun 1969 produksi pupuk kita baru mencapai kurang dari 100 ribu ton, maka 15 tahun kemudian produksi itu meningkat menjadi lebih dari 4 juta ton, atau naik 40 kali lipat. Dengan ini, kita pun menghemat devisa yang tidak kecil.

Sementara itu pemakaian pestisida juga meningkat, dari 1,2 ribu ton di tahun  1969 menjadi  14 ribu ton di tahun 1984. Maka jika pada tahun 1969 luas panen intensifikasi padi baru meliputi 2,1 juta hektar, dalam tahun 1984 mencapai hampir 7,7 juta hektar.

Hasil rata-rata seluruh tanaman padi juga naik dari 1,5 ton beras setiap hektar di tahun 1969 menjadi hampir 2,7 ton beras di tahun 1984. Begitulah, jika dalam tahun 1969 produksi beras kita hanya mencapai 12,2 juta ton, maka dalam tahun 1984 telah mencapai lebih dari 25,8 juta ton. Begitu pula halnya dengan Penyuluh Pertanian Lapangan. Dari tiada sama sekali pada mulanya, pada tahun 1984 tercatat hampir 19.000 orang. Jumlah kelompok tani mencapai 211.000. Jumlah Bank Unit Desa mencapai lebih dari 3.600 buah. Dan jumlah Koperasi Unit Desa mencapai lebih dari 6.400 buah.

Benar, sampai sekarang belum seluruh wilayah tanah air kita yang luas dan terdiri dari belasan ribu pulau itu memiliki sistem irigasi yang memenuhi kebutuhan. Itu masih harus kita lakukan di hari-hari depan.

Di Nusa Tenggara Barat, karena musim hujan hanya berlangsung 90 hari dalam satu tahun, maka di masa lampau rakyat di daerah itu selalu mengalami rawan pangan. Tetapi setelah lama mengadakan penelitian, ahli-ahli pertanian kita dapat menyempurnakan lebih baik  cara bertanam yang secara tradisional itu, yaitu gogo rancah. Agar padi gogo rancah itu dapat ditanam, tumbuh dan berbuah ketika masih cukup air dari hujan, maka pengolahan tanahnya harus dilakukan pada waktu yang tepat sebelum musim hujan datang. Karena tanahnya yang sangat kering dan keras, maka agar mencapai hasil yang sebaik-baiknya pengolahan tanahnya dilakukan dengan linggis, bukan dengan cangkul biasa. Varitas padinyapun dipakai yang khusus, yang berumur pendek. Pemupukan, pemberantasan hama, serta pemeliharaan dilakukan secara ketat, termasuk penyiangannya. Pelaksanaan mengerjakannya dilakukan dengan jadwal penanaman yang bersamaan di seluruh daerah.

Dengan sistem “GORA” (gogo rancah) yang kita mulai pada tahun 1980, hasilnya sangat menggembirakan. Di daerah itu, yang jumlah penduduknya sekitar 3 juta jiwa, sekarang bukan hanya tidak kekurangan pangan lagi, akan tetapi kelebihan produksinya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain yang tidak menghasilkan beras.

Kemajuan-kemajuan yang kita capai secara nasional dalam peningkatan produksi pangan itu sudah tentu ditunjang oleh pembangunan sektor-sektor lain yang sekaligus merupakan usaha modernisasi pada akar-akar masyarakat. Ditunjang oleh membangun jalan-jalan di desa, oleh pendidikan, oleh usaha memajukan kaum wanita pedesaan, karena kita menyadari bahwa peranan wanita di bidang pertanian sangat besar dan lebih besar daripada peranan wanita di bidang-bidang  lainnya.

Pendek kata, keberhasilan pembangunan pertanian tidak dapat meninggalkan partisipasi aktif dan kesadaran para petani sendiri untuk menaikkan produksi demi kesejahteraan yang lebih baik bagi mereka dan keluarganya.

Dalam pada itu, meskipun kita sekarang telah berhasil meningkatkan produksi pangan lebih dari dua kali lipat sejak 15 tahun yang lalu, dan telah dapat berswasembada pangan; tetapi ini tidak berarti bahwa masalah pertanian dan peningkatan produksi pangan kita telah sempurna. Dan prestasi yang kita capai ini bukan hanya untuk satu-dua tahun, tetapi untuk seterusnya.

Sekarang kita masih harus berusaha untuk meningkatkan produksi itu dengan mengefektifkan pengolahan hasil produksi padi itu. Kita harus meningkatkan kemampuan pasca panen. Dengan menyempurnakan kegiatan pasca panen, harapan kita, produksi beras dapat meningkat sekitar 10%. Itu berarti tambahan beras lebih kurang 2,5 juta ton.

Keberhasilan kita dalam hal produksi padi ini memberi peluang yang sangat baik bagi kita untuk lebih mendorong lagi usaha diversifikasi secara besar-besaran, seperti dalam menanam kedele, jagung, kacang hijau, dan yang lainnya.

Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa masalah pangan yang tidak terselesaikan dapat menjadi awal kesulitan ekonomi lainnya. Sebaliknya, keberhasilan kita dalam pembanguan pertanian kita itu merupakan sumbangan penting bagi kemajuan ekonomi kita. Dan hal ini sangat menggembirakan petani-petani kita dan kita semua mensyukurinya dengan sedalam-dalamnya.

Sukses beras kita ini merupakan sukses terpadu. Artinya, sukses yang didukung oleh keputusan politik, alokasi anggaran yang konsekuen di samping sejumlah upaya teknis. Mulai dari keputusan-keputusan politik yang diambil oleh lembaga-lembaga politik dalam negara kita yang demokratis, alokasi anggaran yang konsekuen, pembangunan bendungan-bendungan besar sampai jaringan irigasi tersier, pembangunan pabrik-pabrik pupuk dan industri  lainnya yang menunjang pembangunan pertanian itu, kerja tekun para pekerja ilmiah di lembaga-lembaga penelitian yang menghasilkan bibit-bibit unggul, sampai pada kegiatan kerja aparatur pemerintah dari pusat sampai ke daerah-daerah yang menangani pembangunan pertanian. Dan yang paling penting dan menentukan adalah kerja keras, cucuran keringat, semangat dan kegairahan berjuta-juta petani Indonesia sendiri. Dalam hubungan ini, patut diingat bahwa peranan wanita sangat besar.

Dalam pada itu kita menyadari, kenaikan produksi pangan  tidak akan banyak artinya jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendalikan. Karena itu, program keluarga berencana secara nasional harus kita laksanakan dengan penuh kesungguhan.

Masalah lain yang perlu kita tangani adalah pengamanan sumber daya alam, termasuk hutan-hutan kita. Kerusakan sumber daya alam, terutama hutan dan daerah-daerah aliran sungai, bukan saja harus kita cegah, melainkan harus kita kembalikan fungsinya dan kita lestarikan.

Usaha mempertahankan swasembada pangan khususnya beras, terus ditingkatkan. Sejak tahun 1987 Program “Insus”, intensifikasi khusus, yang dilaksanakan oleh para petani secara  berkelompok semakin ditingkatkan. Di daerah Pantai Utara Pulau  Jawa (PANTURA) diperkenalkan  program “Supra Insus”, suatu usaha untuk lebih meningkatkan lagi produksi padi, dengan sasaran peningkatan produksi per hektar menjadi 9 sampai 10 ton gabah kering sawah.

***


[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 392-296.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.