PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP HARUS MERUPAKAN GERAKAN MASYARAKAT

PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP HARUS MERUPAKAN GERAKAN MASYARAKAT

Pembangunan tidak harus bertentangan dengan pelestarian lingkungan hidup. Begitu pula sebaliknya pelestarian lingkungan hidup yang bertujuan untuk memelihara kelanggengan sumber alam tidak harus bertentangan dengan pembangunan.

Presiden Soeharto menegaskan hal itu, Jumat kemarin, di Istana Negara pada upacara peringatan “Hari Lingkungan Hidup Se-Dunia’ 5 Juni 1981. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto menyampaikan penghargaan kepada Perintis Lingkungan, Pengabdi Lingkungan dan Penyelamat Lingkungan.

Kepala Negara mengakui pembangunan itu berarti mengolah sumber alam dan merubah lingkungan. Namun pembangunan dan pelestatian lingkungan hidup ini dapat sekaligus dilakukan peningkatannya. Bagi Indonesia yang baru pada tahap awal pembangunan harus sejak pagi-pagi memperhatikan pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup.

”Dalam pembangunan yang makin meningkatini maka perhatian kita yang sungguh­sungguh harus tercurah pada pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup ini. Marilah kita belajar dari pembangunan bangsa-bangsa lain terutama pengalaman negara-negara industri maju”.

Menurut Presiden Soeharto, dalam gerak maju pembangunan negara industri dahulu kurang diperhatikan masalah lingkungan sehingga kini terdapat akibat samping yang tidak menyenangkan. Mereka mengalami pencemaran lingkungan dengan akibat harus mengerahkan usaha besar dan biaya tidak kecil untuk mengatasi rusaknya lingkungan hidup tersebut.

Milik Generasi Mendatang

Ia melanjutkan, sebagai bangsa yang baru dalam tahap awal pelaksanaan pembangunan, Indonesia memiliki kesempatan baik dalam membangun masyarakatnya dengan mengambil pengalaman negara industri akan akibat negatif karena kurang diperhatikan masalah kelestarian lingkungan.

Dalam memacu pembangunan, kita akan terus mengendalikan diri dan menjaga keselarasan agar dalam mengolah sumber alam kita tidak akan mengurasnya dengan semena-mena, ujar Kepala Negara.

“Sikap ini bertambah penting karena sebagai sumber daya alam kita bukanlah hanya milik kita sendiri yang hidup di zaman ini. Kekayaan alam itu adalah milik generasi yang akan datang, milik anak-cucu kita. Ini berarti sumber alam yang kita olah untuk membangun akan tetap kita jamin kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan terus­menerus dari generasi ke generasi”.

Dalam sikap membangun yang demikian, menurut Presiden Soeharto, maka pengembangan lingkungan hidup tidak terbatas pada pelestarian sumber alam hutan, tanah dan air belaka. Melainkan harus menjangkau cakrawala kehidupan yang lebih luas. Sebab apakah lingkungan hidup itu baik atau buruk antara lain merupakan akibat dari ulah tingkah-laku dan perbuatan manusia, ujar Presiden.

“Karena itu sekali lagi dengan segala semangat kita untuk membangun, maka kita tidak ingin merusak lingkungan hidup yang justru menjadi sumber kehidupan kita. Dalam melaksanakan pembangunan itu marilah kita jadikan diri kita masing-masing sebagai manusia pembina lingkungan”.

Dikatakan, untuk menjadi manusia pembina lingkungan maka masing-masing pihak dan seluruh masyarakat perlu memiliki pemahaman yang benar dan penglihatan yang jelas mengenai pembangunan lingkungan ini. Karena itu pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus mernpakan suatu gerakan dari masyarakat. Demikian Presiden Soeharto.

Hari Pertama

Sebelumnya Presiden menandatangani enam sampul Hari Pertama Perangko Lingkungan Hidup yang bernilai Rp 75 dan Rp 200. Kemudian Presiden membubuhkan cap stempel pos disaksikan Menteri PPLH/Perhubungan a.i. Emil Salim, Dirjen Postel Drs. Soeryadi dan hadirin lainnya.

Pada perangko yang bernilai Rp 75 tertera gambar “Kalpataru”, pohon kehidupan yang semenjak zaman prasejarah menjadi lambang kemanunggalan manusia dengan alam kebudayaan Indonesia. Sedang pada perangko Rp 200 terdapat gambar reproduksi ukiran lain merupakan detail sebuah Kalpataru yang berasal dari ukiran Candi Mendut.

Penghargaan

Presiden Soeharto kemudian menyerahkan hadiah berupa pahatan Kalpataru, piagam dan uang tunai penghargaan terhadap Perintis Lingkungan, Penyelamatan Lingkungan dan Pengabdi Lingkungan. Menurut Menteri Negara PPLH Emil Salim, yang menonjol dari penerima tanda penghargaan tersebut adalah sikap gigih pantang mundur untuk berusaha terus memperbaiki lingkungan hidup dalam keadaan bagaimana pun buruknya.

Selain itu, dorongan motivasi dari dalam, bisa dirangsang oleh kesadaran beragama Islam, Kristen dan Hindu Bali. Dorongan motivasi dari dalam menjadi penggerak utama dalam langkah berbuat.

Kebanyakan memiliki pendidikan formal maupun dari hasil belajar pengalaman orang lain di luar desa dengan tingkat pcngetahuan yang melebihi rata-rata pengetahuan masyarakat sekitar. Selain itu, memiliki sifat sosial tinggi, tidak individualistis dan gandrung menyebarluaskan pengetahuannya bagi masyarakat sekitar disertai semangat kerja keras. Sebelas penerima penghargaan lingkungan ini adalah hasil pilihan atas sekitar 100 calon, demikian Emil Salim.

Penerima

Penghargaan Perintis Lingkungan diberikan kepada Ridolf Rupidara (almarhum) diterima oleh putranya (Maluku), Medang (Kalbar), Andi Mappasala (Sulsel), Soelarso (Jateng), Dominggus Sinanu (Ambon) karena tidak hadir diterimakan kepada seorang wanita dari perwakilan Pemda Maluku di Jakarta, dan I Ketut Karma (Bali). Tanda penghargaan untuk masing-masing berupa sebentuk pahatan “Kalpataru, piagarn penghargaan dan uang tunai Rp 2,5 juta.

Penghargaan Penyelamat Lingkungan diberikan kepada Pondok Pesantren An-Nuqoyah (Madura), Desa Sambawofaur (Irian Jaya) dan Pelayanan Pembangunan Masyarakat (Gereja Kristen Protestan Simalungun) di Sumut, berupa sebentuk pahatan Kalpataru, piagam penghargaan dan uang tunai Rp 5 juta.

Penghargaan Pengabdi Lingkungan diberikan kepada Sakmin (Petugas PPA Ujung Kulon) dan James Sipayung (Petugas Cagar Alam Bahorok), berupa sebentuk pahatan “Kalpataru”, piagam penghargaan dan uang tunai Rp.2,5 juta. (DTS)

Jakarta, Kompas

Sumber: KOMPAS (06/06/1981)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 570-572.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.