PENGHARGAAN BIDANG KESEHATAN WHO UNTUK PRESIDEN SOEHARTO
Jakarta, Suara Karya
Keberhasilan program pelayanan kesehatan di Indonesia, bukan saja menarik perhatian para pakar kesehatan, tetapi juga para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO-World Health Organization). Karena itu, tidak heran kalau Indonesia dijadikan objek studi perbandingan oleh para pakar kesehatan dari negara lain.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan itu yang dilaksanakan berdasarkan kriteria yang diberikan oleh WHO, ternyata tidak sia-sia. Berkat keberhasilan itu, Presiden Soeharto mendapat penghargaan “Health for All Gold Medal Award” dari WHO Upacara penyerahan tanda penghargaan itu disampaikan sendiri oleh Dirjen WHO dr. Nakajima, hari Senin ini(18/2) di Istana Negara. “Tentu saja, kalau penghargaan yang membanggakan itu dilihat secara reflektif, sebetulnya adalah berkat partisipasi rakyat dalam mengembangkan lingkungan yang sehat.”
Muncul pertanyaan, mengapa badan dunia tersebut memberikan tanda penghargaan kepada Bapak Presiden? Tentu kriteria penilaiannya tidak terlepas dari perjalanan kepemimpinannya di masa lalu sampai saat ini, khususnya di bidang pembangunan dan pengembangan kesehatan. Itu berarti, kalau dilihat dalam konteks komparatif dengan pemimpin negara lain, kepemimpinan Presiden Soeharto lebih menonjol.
Memang, sebetulnya bagi Kepala Negara Indonesia itu, penghargaan dari badan intemasional, bukan pertama kali ini diperolehnya. Sudah banyak penghargaan intemasional disandangnya. Antara lain, penghargaan di bidang kependudukan dan di bidang pertanian. Penghargaan bidang kependudukan itu langsung diterima Presiden Soeharto di Markas PBB diNew York tahun 1989 lalu, dan penghargaan bidang pertanian diterima kepala negara itu beberapa tahun lalu di Roma.
Kita akui dengan pemberian penghargaan Health for All Gold Medal Award untuk Presiden Soeharto, mata dunia kernbali melihat lagi Indonesia, mengamati keberhasilan negeri ini dalam kurun waktu hampir 20 tahun dalam bidang kesehatan.
Terobosan
Dunia mengakui terobosan pemerataan di bidang kesehatan yang dilakukan Presiden Soeharto atas kepeduliannya melihat kondisi dan situasi kependudukan dan kesehatan rakyat Indonesia di masa itu.
Sekitar tahun 1972, melalui Inpres (Instruksi Presiden) dicetuskan penyebaran puskesmas di seluruh Indonesia. Puskesmas dinilai sebagai tempat pelayanan kesehatan terdepan bagi masyarakat.
Dari Puskesmas dikembangkan lagi Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Puskesmas Terapung sampai dokter “terbang”. Kini jumlah Puskesmas sudah mencapai 5.631 buah, Puskesmas Pembantu 14.850, Puskesmas Keliling roda empat 3.867 buah dan perahu motor untuk dokter “terapung” 546 buah.
Bukan cuma sekadar membangun Puskesmas, tetapi sekaligus membangun rumah dokter dan perawat agar mereka dapat bekerja menggerakkan partisipasi masyarakat secara terkonsentrasi.
Melihat sifat kegotongroyongan bangsa Indonesia yang cukup tinggi itu, Presiden meminta agar kegiatan puskesmas jangan hanya dalam ruangan saja tetapi juga dapat dilakukan di luar dinding kantor Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan lain-lain.
Melihat satu dan lainnya saling berkaitan dalam rangka pelayanan kesehatan masyarakat, maka sekitar tahun 1934 muncullah apa yang disebut posyandu (pos pelayanan terpadu). Kegiatan itu merupakan kegiatan masyarakat dan untuk masyarakat, yaitu kegiatan yang merupakan hasil rekayasa antara program kesehatan dan keluarga berencana.
Sekalipun sebelumnya masyarakat lebih mengenalnya sebagai pos kegiatan menimbang bayi, dan penerangan tentang gizi, namun dengan adanya perekayasaan antara program kesehatan dan KB, kini jumlah posyandu sudah mencapai 200.000 buah, tersebar di 65.517 desa pada tahun 1987.
Panutan
Seluruh dunia mengakui, partisipasi masyarakat cukup tinggi, apalagi ditambah dengan adanya orang yang mereka panuti. Masyarakat Indonesia selalu menginginkan adanya tokoh panutan. Sebagai contoh, sekitar tahun 1983, cakupan imunisasi di Indonesia cukup rendah, hanya sekitar 65 persen. Harus diakui, untuk mengejar target program imunisasi dirasakan cukup berat. Sedangkan WHO dan Unicef mengharuskan Indonesia mencapai target sekitar 80% untuk tahun 1990. Akhirnya dicarikan terobosan baru guna mengejar target yang dirninta oleh badan dunia untuk kesehatan dan anak-anak itu.
Tepat pada Hari Kesehatan Nasional tahun 1986, Presiden Soeharto dengan disaksikan Ibu Soeharto secara simbolis meneteskan vaksin polio ke mulut seorang balita. Ketika itu Direktur Eksekutif Unicef (Dana PBB untuk Anak-anak), James Grant turut hadir menyaksikan peristiwa itu.
Dan sejak itu, pentingnya imunisasi disadari secara meluas. Semua cakupan imunisasi seperti BCG untuk TBC, DPT untuk diphteri, pertusis, tetanus dan polio dengan cepat menjangkau bayi-bayi dan balita di seluruh Indonesia. Terobosan itu dimaksudkan agar angka kematian bayi bisa dicegah dengan imunisasi. Kini, Indonesia pun telah mencapai UCI (Universal Child Immunization) sekitar 80%. Dari data itu terlihat besarnya cakupan imunisasi berkaitan erat dengan turunnya bayi-bayi yang meninggal sebelum merayakan hari ulang tahunnya yang pertama.
Departemen Kesehatan kini memperkirakan , angka kematian bayi tahun 1990 mencapai 54 per seribu kelahiran hidup, dan diharapkan pada tahun 1995 menjadi 48 per seribu kelahiran hidup, serta pada tahun 2000 menjadi 35 per seribu.
Memang masih banyak lagi keberhasilan berupa terobosan yang mendasar yang dilakukan Presiden Soeharto. Dengan demikian, kalau diamati bukan merupakan penilaian yang dilakukan hanya sepintas dan sekedar latah, tetapi peranan kepala negara itu cukup besar.
Kemajuan yang dirasakan cukup memberikan arti bagi pelayanan kesehatan lainnya, menurut WHO, adalah tentang perbaikan gizi keluarga di Indonesia cukup maju. Terlebih setelah Presiden Soeharto pada tahun 1989 mencanangkan Gerakan Sadar Pangan dan Gizi di Wonogiri. Peranan kepala negara dianggap cukup menentukan dalam program peningkatan gizi masyarakat.
Hasil beberapa survei pada periode 1918-1989 memperlihatkan keadaan gizi masyarakat Indonesia membaik. Presenta si balita dengan gizi sedang dan baik meningkatdari 84 persen tahun 1978 menjadi 87,1 persen pada tahun 1986 dan 88,9 persen tahun 1987. Presentase anak balita dengan gizi kurang turun dari 12 persen pada tahun 1978 menjadi 112 persen tahun 1986 dan 9,8 persen tahun 1987. Sedangkan presentase anak balita gizi buruk dari 3,7 persen pada tahun 1978 menjadi 1,7 persen tahun 1986 dan 1,3 persen pada tahun 1987.
Data konkret itu dengan jelas menunjukkan bagaimana terobosan- terobosan di atas itu cukup berpengaruh bagi perbaikan kesehatan masyarakat Indonesia.
Penderita Kusta
Masyarakat dunia menilai peristiwa di Bina Graha merupakan kejadian langka bagi seorang kepala negara. Barang kali baru Presiden Soeharto-lah kepala negara pertama menerima secara resmi penderita kusta di ruang kerjanya.
Kembali ia sebagai tokoh panutan. Dengan menerima delapan orang mantan penyandang penyakit kusta di kantornya itu menunjukkan ia ingin menghilangkan kusta phobia di tengah masyarakat. Sikap itu ingin ia tunjukkan kepada masyarakat bahwa penderita kusta yang sudah sembuh jangan diasingkan. Ia ingin menunjukkan, bekas penyandang penderita kusta itu juga manusia yang perlu diangkat dan sama martabatnya.
Hampir setiap tahun Presiden Soeharto membuat terobosan bagi kelangsungan pelayanan kesehatan di Indonesia. Tepat pada Hari Ibu ke-62 dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1990 yang baru lalu, Presiden mencanangkan pentingnya pemberian ASI (Air Susu Ibu). Itulah sekelumit kisah di balik sukses partisipasi Presiden Soeharto dalam memajukan taraf kesehatan di Indonesia Pembaruan/Jennifer C Mandagie
Sumber : SUARA PEMBARUAN (18/02/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 575-579.