PENGURANGAN PASOK SEMEN BELUM SELESAIKAN PERSOALAN[1]
Jakarta, Antara
Pemerintah harus menambah produsen semen, menghapus regionalisasi pemasaran dan harga pedoman setempat (HPS) karena pengurangan pasok bagi pembeli besar sebesar 10-15 persen belum menyelesaikan krisis semen yang kerap muncul setiap tahun. Pengamat ekonomi Anwar Nasution saat rehat seminar “Cement Indonesia 1994”
yang diselenggarakan Nitro Consult di Jakarta, Selasa mengatakan mengapa semen harus dipatok-patok, tidak seperti harga koran yang berbeda-beda. Biarkan saja pasar yang menentukan. Diaturnya pasar semen itu, katanya, juga merupakan sebab mengapa sejumlah penanaman modal asing (PMA) industri semen yang telah disetujui pemerintah, sampai saat ini belum merealisasikan kegiatannya. Sementara kebijakan pemerintah untuk menambah proyeksi impor semen 1994, menurut Anwar, pemerintah masih harus menjelaskan bagaimana bentuk impor itu, dalam bentuk semen atau “clinker” dan jika bentuknya semen dalam bentuk curah atau dalam sak. Menurut dia, perlunya diketahui bentuk impor itu karena berkaitan dengan kapasitas pabrik dalam negeri dalam mengolahnya jika impor itu dalam bentuk “clinker” dan kapasitas untuk menimbunnya jika impor dalam bentuk curah.
“Jangan sampai nanti semen itu jadi batu seperti yang terjadi di Manado beberapa waktu lalu,” katanya.
Selain itu, juga harus dijelaskan kapan impor itu akan dilaksanakan. “Karena jika itu dilakukan pada musim hujan, kebijaksanaan itu tidak berdampak apa-apa karena pada saat itu kebutuhan semen tidak tinggi,” katanya. Berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah itu, ia mengatakan, sesuatu yang sifatnya tiba-tiba biasanya hasilnya kurang baik. “Kebijaksanaan itu hanya berdampak psikologis bagi produsen dalam negeri, “katanya. Menperin Tungky Ariwibowo seusai melapor kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Senin, mengatakan, pemerintah memerintahkan produsen semen untuk mengurangi pengiriman bahan bangunan itu kepada pembeli besar sebesar 10-15 persen dan kemudian menjualnya kepada pengecer untuk mengatasi krisis semen akibat melonjaknya kebutuhan.
Dikatakannya juga, PT. Indocement Tunggal Prakarsa (ITP) dan PT. Semen Cibinong diperintahkan untuk menjual sekitar 95 persen produksi mereka ke wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat karena di kedua daerah itu terjadi kelangkaan yang paling besar. Pemerintah juga memperbesar proyeksi impor semen 1994 dari satu juta ton menjadi 1,4 juta ton dan menunjuk antara lain PT. Dharma Niaga dan Kerta Niaga untuk melakukan impor yang selama periode Januari-September ini telah mencapai 600 ribu ton. Realisasi sisa impor itu akan dipenuhi dalam tiga bulan mendatang.
1997
Sementara itu, Deputi II Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Sugihono Kadarisman dalam sambutannya mengatakan, Indonesia diharapkan tidak akan lagi mengalami krisis semen pada 1997 jika produksi semen bertambah 2,8 juta ton pada 1995, 2,5 juta ton (1996) dan 8,6 juta ton (1997). Dijelaskannya, terjadinya krisis semen pada saat ini diakibatkan terlalu kecilnya cadangan persediaan semen yaitu hanya 550 ribu ton atau 2,6 persen per Agustus 1994 karena produksi hanya mencapai 21,46 juta ton sementara konsumsi mencapai 20,91 juta ton. Idealnya, menurut Kadarisman, cadangan itu sedikitnya 3,2 juta ton atau 15 persen untuk memenuhi konsumsi 1994 yang sebesar 20,91 juta ton. Dengan asumsi pertumbuhan konsumsi semen rata-rata 13 persen per tahun pada masa mendatang, maka untuk menghindari terjadinya krisis itu maka produksi semen Indonesia harus harus tumbuh minima l sebesar 13 persen.
Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan tantangan besar, tetapi hal itu juga menawarkan peluang untuk masyarakat bisnis untuk menanamkan investasi dalam bidang produksi dan distribusi semen, serta bisnis pendukungnya. (T.PE02/14 :55)EL 03/ 4/ 10/94 15:17/B/m2)
Sumber :ANTARA (04/10/1994)
_____________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 378-379.