PENINGKATAN PELAYANAN YANG ADIL, MERATA DAN BERMUTU [1]
Jakarta, Suara Karya
SEKRETARIS Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) Solihin GP menyatakan, permohonan keadilan dan perlindungan hukum yang diajukan masyarakat ke Bina Graha menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.
Menurut Sesdalopbang, Presiden Soeharto dalam berbagai kesempatan temu wicara memang mempersilakan rakyat mengadukan secara langsung permasa lahan yang dihadapi ke Bina Graha melalui surat. Kepala Negara juga menyatakan, kebenaran dan keadilan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi penyuksesan pembangunan. Sebab, Indonesia adalah negara hukum dan kita harus mengupayakan agar perwujudan hukum itu betul-betul merata tanpa pilih bulu.
Berangkat dari apa yang diungkapkan Sesdalopbang tersebut, barangkali ada dua sisi yang bisa kita dalami. Di satu pihak, meningkatnya permohonan keadilan dan perlindungan hukum itu mungkin merupakan hal yang sudah semestinya harus kita hadapi pada saat ini. Sejalan dengan meningkatnya pembangunan, kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka pun semakin meningkat. Jika sebelumnya perhatian masyarakat hanya terpusat kepada kemajuan pembangunan fisik-kuantitatif kini nampaknya telah meningkat kepada hal-hal yang bersifat kualitatif seperti keterbukaan, kepastian hukum, demokrasi dan hak asasi. Maka wajarlah jika tuntutan semacam itu akan semakin nyaring disuarakan masyarakat.
Di sisi lain peningkatan arus pengaduan ke Bina Graha juga bisa dilihat sebagai adanya sesuatu yang “tersumbat” di daerah . Kondisi semacam ini menyebabkan orang cenderung mengajukan permasalahan langsung ke Bina Graha. Mungkin masyarakat merasakan bahwa forum-forum yang tersedia masih belum efektif berfungsi sebagai saluran untuk menangani permasalahan yang dihadapi sehingga terpaksa cara tersebut yang ditempuh.
Mamang terpaksa diakui bahwa sebagian besar masyarakat kita masih dililit budaya ewuh pakewuh. Masih suiit rasanya bagi bawahan atau warga masyarakat untuk mengemukakan permasalahannya langsung kepada pihak-pihak yang bersangkutan, lebih-lebih jika menyangkut perlakuan tidak adil. Tidak bisa dipungkiri pula karena manusiawi sekali adanya kecenderungan manusia untuk tidak senang jika ditunjukkan kesalahan atau kekurangannya, terutama jika yang menunjuk itu seseorang yang berposisi rendah.
Oleh karena itu saluran yang ditempuh masyarakat untuk mengadukan permasalahan yang dihadapi itu langsung ke pusat pemerintahan sah saja adanya. Dengan pengaduan itu, mereka mengharapkan permasalahan itu akan segera dituntaskan.
MESKIPUN demikian, kita percaya bahwa aparat Pemda tentu tidak ingin lepas tangan. Dengan meningkatnya arus pengaduan ke pusat itu justru menjadi sarana untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara adil dan merata sehingga semua permasalahan tidak harus merepotkan pemerintah Pusat. Dalam hubungan ini, kita ingin mengutip pesan Presiden di depan Raker para kepala daerah bulan Januari lalu, yakni “agar aparat elit daerah dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di daerah masing-masing, agar masalah tersebut tidak berubah menjadi masalah nasional.”
Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan pelayanan yang bennutu secara mendasar, perlu pula ditempuh langkah-langkah seperti peningkatan profesionalisme di antara aparatur pemerintahan. Di samping itu seperti disarankan Kepala Negara baru-baru ini perlu adanya penyederhanaan pelayanan umum untuk mempercepat proses manajemen penyelenggaraan pemerintahan negara, antara lain dengan memberikan otonomi kepada satuan-satuan instansi pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakat.
Dan yang terakhir adalah desentralisasi dengan menitik beratkan otonomi pada Dati II. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan aparatur kepada masyarakat karena memang Pemda Dati II-lah yang pada akhimya berhubungan langsung dengan masyarakat, bukan Pemerintah Pusat atau Pemda Tingkat I.
Sumber: SUARA KARYA(08/06/1992)
___________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 662-664.