PENJELASAN PRESIDEN SOEHARTO DI PESAWAT DC-10 PENANGANAN HUTAN SESUAI YANG DISEPAKATI DI RIO

PENJELASAN PRESIDEN SOEHARTO DI PESAWAT DC-10 PENANGANAN HUTAN SESUAI YANG DISEPAKATI DI RIO

 

 

Jakarta, Suara Pembaruan

Presiden Soeharto menyatakan rasa syukur kepada Tuhan atas tercapainya kesepakatan ·pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, yang dapat dipergunakan sebagai satu landasan untuk melakukan action lebih lanjut menghadapi berbagai ancaman lingkungan di bumi.

“Juga dalam mengusahakan pembangunan yang berkelanjutan. Yang berarti lingkungan dan pembangunan tidak bisa dipisah-pisahkan,” ujar Presiden Soeharto kepada para wartawan yang ikut dalam rombongan Kepala Negara dalam perjalanan kembali ke tanah air, di atas pesawat Garuda DC-10, Senin malam.

Presiden kemudian menjelaskan mengenai usul Indonesia agar segera dibentuk Komisi Tingkat Tinggi untuk memonitor, mengumpulkan bahan, membahas dan mencari altematif-altematif dan kemungkinan-kemungkinan untuk direkomendasikan kepada negara-negara melalui PBB. Maksud Indonesia ialah agar berbagai persetujuan dari Rio mempunyai bobot yang berarti dan segera dirasakan oleh negara­negara yang sudah merasa yakin akan adanya bencana lingkungan usul Indonesia tersebut akan dibicarakan pada persidangan umum PBB ke-45, 15 September tahun ini.

Menurut Presiden Soeharto, Indonesia yang turut bersama beberapa negara lainnya dipilih sebagai wakil ketua, mempunyai kesempatan-kesempatan yang baik di berbagai komisi yang menghadapi kesulitan-kesulitan dalam mencari titik temu dari pendapat-pendapat yang berlain-lainan. Antara lain masalah pembiayaan Agenda-21, mengenai masalah hutan, masalah pencemaran dan lain-lain lagi.

Kepala Negara mengambil contoh. Apa yang disebut dalam Deklarasi Rio mengenai pembangunan berkelanjutan sebenamya sejak semula sudah disadari Indonesia, dengan mengemukakan teknologi pembangunan yang tidak merusak lingkungan. Pembangunan sebagai pengamalan Pancasila yang merupakan landasan.

 

Masalah Hutan

Lain-lain mengenai masalah hutan yang merupakan perdebatan lama untuk menemukan pandangan yang sama, Indonesia sudah mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan apa yang di sepakati di Rio. Indonesia telah berusaha untuk menyelamatkan kekayaan alam hutan Indonesia dengan membaginya menjadi hutan lindung, hutan produksi, hutan yang bisa diolah menjadi usaha perkebunan, pertanian dan sebagainya.

Hutan lindung di Indonesia, kata Presiden. “tidak akan dieksploitir, tetapi kita pelihara sebaik-baiknya”. Mengenai hutan produksi agar terdapat kelestarian ialah dengan tebang pilih dan menanam kembali. Ini semua merupakan langkah-langkah penyelamatan hutan produksi tersebut. Juga perlunya reboisasi dengan penambahan hutan dengan melaksanakan penanaman hutan itu sendiri. Biaya diambil ketika hutan dieksploitir sebesar US $ 10 setiap kubik dari pemegang HPH dari yang mempunyai industri dan dari pengekspor berbagai kayu seperti plywood dan timber. Selama ini, Indonesia mengekspor 30 juta kubik kayu setiap tahun. Berarti bisa dikumpulkan dana setiap tahun sebesar $ 300 juta untuk melaksanakan reboisasi dan memperluas hutan. Dan bersama-sama dengan swasta menambah hutan tanaman industri.

Langkah-langkah melestarikan hutan tersebut diambil Indonesia, juga karena menyadari fungsi hutan yang merupakan kekayaan Indonesia, tidak semata-mata untuk kepentingan kita, karena ternyata mempunyai fungsi sosial yang luas sebagai paru-paru dunia.

Setelah merinci berbagai bencana yang bisa menimpa bumi apabila tidak diambil langkah-langkah melindunginya dan bagaimana pentingnya tingkat tertinggi pejabat berbagai negara hadir di Rio, Kepala Negara juga menjelaskan latar belakang putusan untuk meninggalkan tanah air untuk menghadiri KTT Bumi, hanya 24 jam setelah penghitungan pertama hasil Pemilu 9 Juni.

Komisi Tingkat Tinggi yang diusulkan Indonesia diharapkan tidak terlalu besar, tetapi merupakan inti mewakili negara-negara berkembang sedapat mungkin dapat mewakili benua-benuaAsia, Afrika dan Amerika Latin. Eropa juga diwakili oleh bekas Uni Soviet yang sekarang menyebutkan dirinya negara-negara berkembang. Presiden Soeharto mengharapkan kelompok ini nanti akan menjadi embrio dialog Utara­ Selatan.

 

KTT Non blok

Bagi Indonesia semua kesepakatan dan persetujuan yang dicapai di Rio bisa memudahkan berbagai bahan penyelenggaraan KTT Non Blok di Jakarta 1-6 September. Agar bahan-bahan cukup sehingga negara-negara anggota Non Blok yang pada umumnya negara-negara berkembang dapat mempersatukan apa yang harus dilakukan mereka untuk menghadapi program pembangunan yang berkelanjutan tersebut. Terutama bagi negara-negara yang masih tennasuk miskin.

 

Non Blok

Selama 72 jam berada di Rio Kepala Negara juga menerima kunjungan para kepala pemerintahan negara-negara anggota Gerakan Non Blok, seperti dari India, Pakistan, Solomon Island, Nepal, Iran, Presiden Kenya dan mantan Presiden Tanzania, Julius Nyerere. Dengan mereka Kepala Negara membicarakan antara lain mengenai KTT Non Blok. Sementara melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan Presiden dengan beberapa kepala negara anggota GNB lainnya, Kepala

Negara Rl mengingatkan bagaimana pentingnya KTT yang akan datang di Jakarta. “Dan umumnya semuanya menyambut dengan gembira”. Juga mereka memberikan penghargaan atas hasil Konferensi para Menlu GNB di Bali belum lama berselang, sebagai persiapan KTT. Para pemimpin GNB tersebut mempunyai keyakinan bahwa KTT akan betjalan dengan baik. “Mudah-mudahan, itulah yang kita harapkan, dansyukur kita punya bahan yang cukup,” kata Presiden.

Kesempatan berbicara dengan para wartawan di udara tersebut sekaligus dipergunakan Presiden yang pada KIT akan mengambil alih jabatan Ketua GNB dan memangkunya selama tiga tahun mendatang, untuk mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan dukungan agar KTT benar-benar membuahkan hasil-hasil sesuai yang diharapkan. “Kepercayaan dunia GNB kepada Indonesia harus kita terima sebagai tanggungjawab sepenuhnya,” kata Presiden.

Menteri KLH Emil Salim diminta Presiden memberikan penjelasan mengenai berbagai kesepakatan yang dicapai di Rio dan maknanya bagi semua bangsa. Pada malam terakhir di Rio, Emil Salim masih sempat mengikuti perundangan kelompok kecil membicarakan soal keuangan, yang paling alot dari semua pertemuan. Akhirnya disepakati kekurangan US$ 70 miliar untuk membiayai Agenda-21 yang disepakati sebesar US$ 125 miliar setiap tahun, akan ditanggung negara-negara maju dengan sumbangan 0,7 dari GNP mereka, pada tahun 2000, atau tidak lama sesudahnya. Jumlah dana ODA sebesarUS$ 55 miliar yang sudah tersedia, hanya 0,31 persen dari GNP negara-negara maju.

Sementara itu, negara-negara berkembang akan menyediakan US$ 500 miliar sebagai pelengkap terhadap bantuan yang diperoleh masing-masing dari dana ODA tersebut. Dana negara-negara berkembang disediakan masing-masing penerima bantuan, dengan menyediakan US$ 4 dolar dari dalam negeri, untuk setiap satu dolar yang diterimanya sebagai bantuan pembangunan.

Sebelum memberikan keterangan bersama Presiden, Emil Salim menjelaskan kepada pers, masing-masing negara penerima sendiri yang akan memutuskan bagaimana dana bantuan dipergunakan. Tidak boleh cara kolonialis di mana diputuskan untuknya apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Menteri tidak menjelaskan bahwa kelayakan suatu negara menerima bantuan ODA tergantung dari performance negara tersebut memelihara lingkungan dalam pembangunan yang berkelanjutan.

 

 

Sumber : SUARA PEMBARUAN (16/06/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 151-154.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.