PENJERAHAN MANDAT SEBAIKNJA KEPADA MPRS

Editorial

PENJERAHAN MANDAT SEBAIKNJA KEPADA MPRS [1]

 

Djakarta, Angkatan Bersenjata

Sebuah resolusi dari Djamaludin Malik (NU) dkk. jang berisi usul agar sidang MPRS jad menetapkan Djenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Tjalon Tunggal Pedjabat Presiden sampai Pemilu jad, telah sampai ketangan pimpinan DPRGR.

Menurut pendjelasan Djamaludin Malik resolusi jang disampaikan kepada pimpinan DPRGR itu adalah sebagai follow-up resolusi Nuddin Lubis dkk. jg telah disjahkan oleh DPRGR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPRS dimana al. diputuskan untuk memberhentikan Presiden Sukarno dari djabatannja.

Mengingat resolusi tsb ditanda tangani oleh 21 anggota jang mewakili seluruh golongan dalam DPRGR, maka diharapkan pembitjaraan resolusi Djamaluddin Malik tsb akan berdjalan lantjar dan dalam waktu jang tidak terlalu lama dapat disjahkan mendjadi resolusi DPRGR.

21 orang anggota DPRGR jg telah menandatangani resolusi Djamaluddin Malik tsb. ialah Djamaluddin Malik (NU), Soetoko (PNI), Moch. Kasim As. (IPKI), Chamid Widjaja (NU), Palaunsoeka (Katholik), Sabam Siraith (Parkindo), Brigdjen H. Sugandhi (Golkar ABRI) H. Abdurachman (Perti), Abdullah Affandi (NU), Njak Yusda (Karya Pemuda), Nj. Wahid Hasjim (NU), Sutarno Djatikusumo (Karya Pemuda NU), Pamudji (PNI), Achmad Ghozali (Alim Ulama), M. Saleh (perti), Budy Dipojuwono (PNI), M. Hartono (Karya NU), E. Moch. Mansjur (PNI), Iboes Naserie (Karya), Amin Holie (Karya NU), dan Lukman Hakim (NU).

Apa jang disebut situasi konflik sekarang ini, sebenarnja adalah suatu taktik klasik kreasi kaum Imperialis komunis maupun Orla untuk petjah-belah dan kuasai. Namun walaupun taktik itu telah klasik, ia dalam kenjataannja masih sadja mendapatkan pasaran lumajan.

Membikin disana-sini fake incidents (Insiden2 palsu) dari tenaga2 PKI atau bajaran (Barisan Sukarno dikritik dengan pengeluaran biaja 25 miljar rupiah dari kas negara lewat Subandrio dan di Djakarta dan Bandung pengerahan massa dari tenaga bajaran tukang2 kepruk, tjopet dan lain2 sebagainja) dan dari situasi-konflik itu hendak memaksakan suatu kompromi minimal, dan kalau mungkin dalam djangka pandjang menghantjurkan sama sekali gerakan Orde-Baru.

Kalau setjara klandestin menggerakkan kekatjauan (political unrest), maka dipermukaan air ia misalnja ber-manis2 dengan Issue kerukunan nasional, personal – atau clearing approach dan lain2 sebagainja. Bahkan achir2 ini mendjelang sidang DPRGR berachir, maka kabarnja ada konsep2 penjelesaian situasi konflik dibawah-tangan, bahkan usaha ini nampaknja masih hendak dilandjutkan kemarin2 ini dengan memanggil para Panglima Angkatan, dengan menghiraukan demikian sadja seruan pimpinan DPRGR tanggal 15 Pebruari jang lalu, agar kita semua menghindarkan dari usaha approach extra-konstitusionil.

Satu dua hari achir2 ini, malahan tersiar luas di Ibukota berita jang malahan terlandjur disiarkan oleh radio2 amatur Mahasiswa, bahwa Presiden Sukarno akan mengundurkan diri dan menjerahkan mandat ke-Presidenan kepada pemegang SP 11 Maret Djenderal Soeharto, pada hari Minggu tanggal 19 Pebruari 1967 djam 13.00, akan tetapi masih memegang predikat PBR, sampai pemilu jang akan datang.

Apakah dibelakang penjerahan kekuasaan Pemerintahan ini disertai dengan commitments (sjarat2) jang ada keharusan untuk mendjamin kewibawaan Presiden Sukarno Pribadi, kami tidak tahu. Namun andai-kata benar demikian kami berpendapat, bahwa proseduril sebaiknja dan lebih elegant kalau Presiden Sukarno menjerahkan mandatnja kembali kepada jang memberi mandat, jaitu MPRS dan tidak kepada pemegang SP 11 Maret Djenderal Soeharto. Soal MPRS nantinja mempertjajakan kepada Pemegang SP 11 Maret atau kepada tokoh lain. ltu adalah soal MPRS, soal rakjat.

Dengan demikian ketentuan2 konstitusi tidak dilewati. Sebab andai-kata benar suatu penjerahan kekuasaan kepada Djenderal Soeharto setjara langsung apa bila Presiden mau mengundurkan diri setjara sukarela, terdjadi dibawah tangan kami chawatir ia akan menimbulkan kesan dan malahan prasangka jang kurang baik bagi Pak Harto.

Dari fihak golongan Orla­-Gestapu-PKI jang berdiri dibelakang Bung Karno. Peristiwa itu akan mudah dibikin issue se-olah2 ada pressure atau malahan sematjam coup de grace, sebaliknja dari fihak Orba ia akan dinilai negatif, se-olah2 Pak Harto mendjelang Sidang Istimewa MPRS, masih hendak menjelamatkan Presiden dari proses hukum berhubung dengan adanja dakwaan keras, tersangkutnja Presiden Sukarno dalam petualangan Gestapu-PKI, maupun kriminalitet ekonomi serta penjelewengan moral.

Djelaslah kiranja dengan demikian posisi Pak Harto akan mendjadi amat vulnerable – (lemah dan kwetabaar). Oleh karena itu sebaiknja penjelesaiannja, tetap lewat MPRS. (DTS)

Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (16/02/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 454-456.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.