PERBANKAN PERTAHANKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN

PERBANKAN PERTAHANKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN[1]

 

Jakarta, Antara

Pengembangan industri perbankan nasional akan tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian mengingat kondisi perekonomian di masa datang menuntut bank-bank mampu berkompetisi penuh baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

Nota Keuangan dan RAPBN 1994/ 1995 sebagai lampiran pidato Presiden Soeharto dalam Sidang Paripuma DPR, di Jakarta, Kamis, itu menyebutkan pula bahwa untuk kepentingan ekonomi makro, maka kebijaksanaan ekspansi kredit perbankan perlu dikendalikan sehingga masih dalam batas yang aman bagi stabilitas ekonomi nasional.

Disebutkan pula, dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut, maka kegiatan pengawasan terhadap perbankan akan terus dilanjutkan yang antara lain meliputi aspek perizinan, kepemilikan, pedoman operasional serta tata cara penilaian tingkat kesehatan bank. Dengan demikian kesempatan yang lebih luas dalam bidang perbankan diharapkan dapat digunakan secara bertanggungjawab sesuai dengan sifat dan misi bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan tulang punggung pembangunan nasional. Selain itu, dengan makin mantapnya perkembangan moneter khususnya tingkat suku bunga dan laju inflasi agar berada pada tingkat yang wajar, sehingga suku bunga yang berlaku masih memberikan keuntungan riil yang menarik bagi masyarakat penabung. Ini sangat penting untuk mendorong kembali penanaman modal, sehingga otoritas moneter secara bertahap mulai melonggarkan kebijaksanaan moneter dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian.

Sejalan dengan itu, tingkat diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) dan suku bunga deposito jangka pendek maupun jangka panjang mengalami penurunan. Suku bunga deposito jangka tiga dan enam bulan turun masing-masing sebesar 15,7 persen dan 16,2 persen pada akhir Maret 199 3menjadi 13-14 persen per Sep­tember 1993, sedangkan untuk jangka 12-24 bulan turun dari 17-19 persen menjadi 15-17 persen.

Suku bunga pinjaman baik untuk modal kerja dan investasi dalam tahun anggaran 1993/1994 juga turun masing-masing dari sekitar 21,7 persen dan 18 persen menjadi Nota keuangan itu juga menyebutkan perkembangan jumlah dana masyarakat yang dihimpun perbankan hingga Oktober 1993 sebesar Rp137,7 triliun, naik Rp 98,2 triliun jika dibanding dengan awal Repelita V sebesar Rp 39,5 triliun atau naik rata-rata 32 persen per tahun.

Bila dibandingkan dengan posisinya pada akhir tahun anggaran 1992/ 1993 sebesar Rp 117,6 triliun, ini berarti hingga Oktober 1993 jumlah dana perbankan naik Rp20,1 triliun atau naik 17,8 persen. Dari jumlah dana perbankan per Oktober 1993 sebesar Rp137,7 triliun itu, komposisinya terdiri dari Rp 31,9 triliun (23,2 persen) dalam bentuk giro, Rp 72,6 triliun (52,7 persen) berupa deposito berjangka dan selebihnya Rp 33,2 triliun (24,1 persen) berupa dana tabungan.

Berdasarkan bank penghimpunnya dari dana perbankan Rp 137,7 triliun itu, yang dihimpun bank umum swasta nasional mencapai Rp 63,1 triliun (45,8 persen). Bank­ bank pemerintah Rp 62,8 triliun (45,6 persen), sedangkan bank asing dan bank pembangunan daerah masing-masing sebesar Rp7,4 triliun (5,4 persen) dan Rp4,5 triliun (3,2 persen).

Kekuatan Pasar

Selanjutnya lampiran nota keuangan dan RAPBN 1994/ 1995 itu juga menyebutkan, kebijaksanaan perkreditan secara bertahap diarahkan untuk bertumpu pada kekuatan pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan yang ada sehingga akan memberikan akses yang sama kepada masyarakat luas.

Namun, pemberian prioritas dalam penyediaan dan kemudahan bagi kredit bagi golongan pengusaha kecil, menengah dan koperasi tetap dilaksanakan terutama dalam rangka menunjang pemerataan berusaha dan memperluas kesempatan ketja. Untuk itu, kebijaksanaan perluasan kredit terus didorong peningkatannya dengan tetap berpedoman pada asas-asas perkreditan yang sehat dan memperluas jenis pelayanan bagi usaha menengah dan kecil serta masih dalam batas yang aman bagi stabilitas ekonomi makro.

Posisi kredit perbankan (dalam rupiah maupun valuta asing) per Oktober 1993 berjumlah Rp 143,7 triliun yang berarti lebih besar Rp 18,8 triliun atau 15 persen dibandingkan posisi akhir Maret 1993 sebesar Rp 124,9 triliun. Kredit perbankan dalam periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan sebesar Rp 7,4 triliun atau naik 6,3 persen.

Dari jumlah kredit perbankan tersebut yang disalurkan untuk sektor perindustrian mencapai Rp 43,6 triliun, perdagangan Rp 36,6 triliun, jasa-jasa Rp 33,2 triliun dan sektor lain-lain sebesar Rp 18 triliun. Perkembangan kredit investasi dalam tahun anggaran 1993/1994 per Oktober 1993 menunjukkan peningkatan tidak terlalu besar. Ini terlihat dari pertumbuhan dana investasi dan pembiayaan jangka panjang lainnya yang disalurkan untuk berbagai sektor yang penyediaan kreditnya diberikan melalui lembaga perbankan.

Kredit investasi perbankan hingga per Oktober ini berjumlah Rp48,9 triliun, meningkat 8,9 persen dibanding posisi akhir Maret 1993 sebesar Rp 44,9 triliun yang sebagian besar disalurkan untuk sektor perindustrian, pertanian dan jasa-jasa.

Mengingat sumber dana investasi masih belum memadai,maka Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam jumlah terbatas masih disediakan untuk investasi sektor perkebunan seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) serta perluasan tanaman ekspor.

Sementara untuk Kredit Usaha Kecil (KUK), yang dalam Pakmei 1993 mengalami penyempurnaan antara lain mengenai plafonnya dinaikkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 250 juta, posisinya per September 1993 mencapai Rp 26,8 triliun. (T.PE01/EU07/ 6/01/94 08:48)

Sumber: ANTARA (06/01/1994)

__________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 146-148.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.