PERBEDAAN DAN KEMAJEMUKAN ADALAH KODRATI DAN ALAMI
Kehidupan Beragama untuk Kembangkan Solidaritas Sosial dan Nasional
Presiden Soeharto :
Presiden Soeharto mengingatkan umat Islam di tanah air, agar dalam pembangunan kehidupan beragama, harus mengembangkan solidaritas sosial dan solidaritas nasional di antara sesama. Sebab agama Islam dan agama-agama lain pada umumnya mengajarkan nilai tentang cinta, tenggang rasa dan pengorbanan terhadap sesama.
Dalam mengembangkan solidaritas sosial dan solidaritas nasional itu, kata Kepala Negara pada peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW di Mesjid Istiqlal Jakarta, Sabtu malam, harus diusahakan untuk dikembangkan kerukunan hidup di antara sesama sebagai suatu bangsa.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk jangan sampai perbedaan di antara sesama sebagai satu bangsa, baik dalam paham politik maupun agama, tingkat sosial maupun ekonomi, asal suku maupun ras, membuat sesama warga kehilangan rasa kebersamaan dan persatuan sebagai satu bangsa.
Menurut Presiden, perbedaan dan kemajemukan adalah hal yang kodrati dan alami dalam kehidupan bersama. Hal ini bahkan justru harus mendorong semua sebagai suatu anggota bangsa untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan saling menghargai dalam pergaulan bersama.
"Hal ini saya rasa merupakan salah satu ukuran kedewasaan kita dalam kehidupan beragama dan berbangsa," demikian Kepala Negara.
Di antara sekitar 6.000 umat Islam yang memenuhi Mesjid Istiqlal, tampak hadir Wakil Presiden dan Ny Karlinah Umar Wirahadikusumah, bekas Wapres Adam Malik para menteri kabinet serta pimpinan lembaga Tertinggi/tinggi negara, alim-ulama serta sejumlah kepala perwakilan negara sahabat di Jakarta.
Tidak Perlu Khawatir
Dalam usaha menggalang dan mengembangkan solidaritas sosial dan solidaritas nasional bangsa Indonesia yang demikian itu, kata Presiden Soeharto, mutlak diperlukan Ideologi nasional yang mengikat semua sebagai bangsa.
"Ideologi nasional itu alhamdulillah sudah dipunyai yaitu Pancasila. Tantangan yang sekarang dihadapi ialah bagaimana memfungsikan Pancasila sehingga benar-benar menjadi tali pengikat bangsa Indonesia yang sangat majemuk itu, secara sosial politik maupun sosial budaya."
Dalam rangka inilah, kata Presiden, mengapa disadari pentingnya pemantapan Pancasila sebagai ideologi nasional dengan menegaskan Pancasila sebagai asas organisasi sosial politik maupun organisasi sosial kemasyarakatan.
"Kita tidak perlu khawatir bahwa dengan memantapkan Pancasila sebagai asas bagi organisasi sosial dan sosial kemasyarakatan kehidupan agama akan terancam. Kekhawatiran ini tidak perlu ada. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa kita, bukan saja tidak mengabaikan, melainkan juga sangat memperhatikan pembangunan dalam kehidupan beragama bangsa kita," demikian Presiden.
"Kita tidak ingin hidup dalam masyarakat yang masing-masing hanya mengejar dan mementingkan" kesejahteraan diri sendiri.
Kita juga tidak ingin hidup dalam masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai kerohanian sehingga tenggelam dalam kehidupan kebendaan dan keduniawian sematamata," tambah Kepala Negara.
Tidak Putus Asa
Cita-cita ini, Ianjut Presiden, adalah yang paling tepat dan yang sebaik-baiknya bagi bangsa Indonesia. Bahkan sejarah telah membuktikan bahwa keyakinan ini bukan tanpa landasan yang perlu dilakukan sekarang agar semua lebih-lebih kaum muslimin sebagai mayoritas bangsa Indonesia, berusaha makin keras meningkatkan semangat kerja untuk membangun bangsa ini lahiriah maupun batiniah.
Bermacam-macam hambatan dan rintangan tentu saja akan dihadapi. Halangan dan rintangan itu tidak pemah akan habis. Bahkan akan dirasakan sebagai pendorong semangat untuk bekerja lebih keras dan lebih tekun lagi.
"Sebagai umat beragama. tentu kita tidak boleh putus asa. Marilah kita belajar dari kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang tidak pernah mundur dalam usaha mencapai cita-cita beliau. Justru di sinilah terletak ujian bagi kita, apakah kita mampu atau tidak mengambil teladan dari Nabi junjungan kita itu dalam sikap istiqamah yang tidak pernah goyah. Terus berjuang mengatasi rintangan demi rintangan, mewujudkan cita-cita yang kita yakini."
Mengendalikan Diri
Dikemukakan banyak kemajuan yang telah dicapai dalam mewujudkan cita-cita nasional yang didambakan selama ini. Meskipun demikian, perlu juga disadari bahwa perjalanan masih jauh, karena pembangunan adalah usaha yang berkesinambungan.
Masih banyak tugas dan tantangan yang terbentang di hadapan. Karena itu diperlukan kemampuan seluruh bangsa untuk mengendalikan diri. Diperlukan disiplin dalam kehidupan orang seorang, lebih-lebih dalam kehidupan berbangsa.
Bagi kaum muslimin, disiplin diri tentu saja berpangkal pada keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan keimanan dan ketaqwaan, berusaha mengendalikan diri agar tidak tergoda oleh hal-hal yang merugikan diri dan masyarakat, tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Tuhan dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak.
Untuk itu, menurut Presiden Soeharto, seperti yang pernah dikemukakannya beberapa waktu lalu, adalah pentingnya masalah kedalaman dalam hidup beragama.
Keberagamaan itu hendaknya tidak hanya tercermin dalam kepatuhan lahiriah kepada Tuhan YME, melainkan jua dalam keteguhan dan ketahanan batiniah dalam menghadapi bermacam-macam godaan yang membuat seseorang lupa akan dosa. Baik dosa terhadap Tuhan, maupun terhadap sesama. Sebelum amanat Kepala Negara, didengarkan uraian Isra Mi’raj oleh Prof. Dr Teuku Yacob, Rektor Universitas Gadjah Mada dan sambutan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (03/04/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 827-829.