UNTUK PERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN TANAM “POHON PERDAMAIAN”

UNTUK PERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN TANAM “POHON PERDAMAIAN”

 

 

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Indonesia yang dipusatkan di Istana Negara, Kamis pagi ditandai dengan penanaman dua pohon keben, masing-masing oleh Presiden dan Nyonya Tien Soeharto di halaman Istana sebagai lambang perdamaian.

Sebagaimana persetujuan PBB dalam sidang umum tahun lalu tentang penetapan tahun 1986 sebagai tahun perdamaian, maka badan lingkungan hidup PBB menghimbau masyarakat dunia melalui 25 pemimpin terkemuka agar menandai peringatan hari ini dengan penanaman pohon perdamaian.

Di antara ke-25 pemimpin dunia itu adalah Presiden Soeharto, Presiden Filipina, Putra Mahkota Jepang, Perdana Menteri India, Presiden Srilanka, PM Australia, PM Perancis, Paus Paulus II dan Sekjen PBB.

Presiden Soeharto memilih pohon keben (Barringtonia Asiatica Kurz). Ciri pohon ini antara lain dapat mencapai tinggi 17 sampai 25 meter dengan garis tengah sekitar 50 centimeter. Cabang dan rantingnya besar dan kokoh mendekati permukaan tanah. Daunnya mirip daun sirih, tapi lebih tebal dan memanjang.

Pohon yang tergolong langka itu di Jawa Barat dikenal sebagai butun, di Bali keben, di Alor utong, di Sangir dan Minahasa Bitung, tumbak atau Witung. Di Gorontalo hutu, di Makasar Talise, di kepulauan Aru jaga dan jina di Ambon hutun di Halmahera keptun, miju dan pitu. Sementara masyarakat Ternate menyebutnya mujiu dan bagi penduduk Sabah, Malaysia disebut tempalang atau putat laut.

Kalpataru

Sebelum menanam pohon perdamaian itu, Presiden Soeharto di dalam istana Negara lebih dulu menyampaikan penghargaan lingkungan nasional Kalpataru yang juga disaksikan oleh Wapres dan Nyonya Karlinah Umar Wirahadikusumah, sejumlah menteri dan undangan lainnya.

Penghargaan itu diberikan bagi perintis lingkungan, penyelamat lingkungan, pengabdi lingkungan. Di samping itu diberikan penghargaan Adipura kepada kota Padang dan Bogor yang dinilai paling berhasil menjaga kebersihan.

Tahun ini, yang memperoleh penghargaan Kalpataru untuk perintis lingkungan pertama adalah Solie (60) dari kampung Kanreapia desa Tabbingjai kecamatan Tabbingjai kabupaten Gowa, Sulsel.

Ke dua Pan Tarsin (67) dari Banjar Kelodon desa Jungutbatu pulau Lembong kecamatan Nusa Penida kabupaten Klungkung, Bali.

Sedangkan penyelamat lingkungan adalah kelompok tani Yeh Mampeh dari Banjar Yeh Mampeh desa Ratur Selatan kecamatan Kintamani kabupaten Bangli, Bali. Ke dua, kelompok wanita tani Kuntum Mekar dari dusun Kubang desa Cisontrol kecamatan Kancah kabupaten Ciamis, Jabar.

Selanjutnya untuk pengabdian lingkungan, pertama adalah Daniel Samel (37) dari desa Tanodo kecamatan Kulawi kabupaten Donggala, Sulteng. Ke dua, Hatip (42) dari desa Pidakit Barat kecamatan Sukapura pulau Bawean kabupaten Gresik, Jatim. Ketiga, Umaiyah Tulasmi Ds dari Kampung Jlopo desa Padas Kecamatan Karang kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Kelompok penyelamat lingkungan masing-masing memperoleh Rp 5 juta, sedang para perintis dan pengabdi lingkungan masing-masing memperoleh Rp 2,5 juta.

Wali kota Padang Sjahrul Ujud dan Wali kota Bogor Achmad Sobana yang mewakili warga kota masing-masing menerima penghargaan Adipura.

Sementara itu, gubernur Sulawesi Selatan Achmad Amiruddin menyerahkan kepada Presiden Soeharto berkas laporan mengenai neraca kualitas kependudukan dan lingkungan hidup di daerahnya yang dinilai paling berhasil merekam dan menganalisa masalah kependudukan dan lingkungan hidup di daerahnya.

Keselarasan

Presiden Soeharto dalam sambutannya yang juga dikemukakan sebagai pesan yang disiarkan Badan Lingkungan PBB har ini mengemukakan, perdamaian yang langgeng sulit ditegakkan selama belum terbina keselarasan dalam hubungan manusia dengan berbagai tingkatan lingkungannya.

Maksudnya, hubungan manusia dengan lingkungan alam, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan masyarakat maupun manusia dengan lingkungan antar bangsa.

Diingatkan, bila manusia tidak lagi mengindahkan kaitan antara bangsanya dengan sesama anggota masyarakat intemasional, bila ia merebut sumber daya orang lain, menguras dan memboroskan sumber daya alam bersama, merusak lingkungan hidup dunia untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan bersama umat manusia, maka keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan akan menurun.

Selain itu juga, keselarasan antar bangsa pun akan terganggu. Sebagai akibatnya persengketaan pun sering timbul perdamaian terganggu, tidak jarang disertai kekerasan senjata dan jika sengketa meledak, maka lingkungan hidup pasti mengalami kemsakan yang parah.

Sengketa senjata merusak sumber daya alam, merobek-robek kehidupan sosial dan menghancurkan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia di masa-masa mendatang.

Jelas kiranya bahwa perdamaian merupakan syarat mutlak bagi kelestarian lingkungan,” demikian Presiden Soeharto. (RA)

 

 

Jakarta, Merdeka

Sumber : MERDEKA (06/06/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 685-688.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.