PERISTIWA BULELENG: EXODUS PNI KEDALAM GOLKAR [1]
Oleh Pranata Ssp.
Djakarta, Angkatan Bersendjata
SIAPA jang bersalah, djika ada anggauta suatu parpol keluar dari partainja dan masuk kedalam parpol jang lain? atau kedalam Golkar? Apakah peristiwa sematjam Itu suatu “kesalahan”? ataukah sebagai peristiwa jang “lumrah” dalam alam demokrasi?
Seluruh massa PNI dan ormas2 seasasnja di Kabupaten Buleleng (Bali) beberapa waktu jl, telah membubarkan diri dan ramai2 masuk Golkar dengan pernjataan tertulis jang dibatjakan dalam sebuah rapat raksasa.
Peristiwa ini tentu mengagetkan pimpinan PNI di Djakarta, dan kambing hitam segera ditjari. Karena ex-massa PNI Buleleng itu masuk Golkar, maka Golkarlah jang dipersalahkan. Seandainja massa itu masuk parpol lain, tentunja bukan Golkar jang dipersalahkan.
Sampai2 Ketua DPP PNI Drs. Hardjanto merasa perlu menjatakan kejanikannja bahwa exodus (pelarian) massa PNI kedalam Golkar itu suatu peristiwa sandiwara, dan dia mengharap ex anggota PNI itu bersikap munafik, pura2 masuk Golkar tapi hatinja masih pada PNI, dia mengharap supaja mereka berlaku seperti pemeo. berbagai koran ttg. utjapan Drs. Hardjanto dan Hadisubeno itu memang benar adanja.
Sekalipun, umum sudah mengetahui bahwa pernjataan bubar massa PNI Buleleng tempo hari didahului dgn kalimat2 sutji agama Hindu-bali “Om, Swastiastu. demi Ida Sang Hjang Widhi Wasa”, kami pimpinan segenap anggota PNI beserta ormas2nja di Kabupaten Buleleng telah membubarkan diri dengan kesadaran, kondisi dan situasi masjarakat Bali pada umumnja dan masjarakat Buleleng pada Chususnja, dengan; Deca, kala, Patraa jang telah berakar dan hidup dalam suasana; pasukan duksan, paras-paros Sarpanaja sulung-lung Sabajantaka dan menudju kepada masjarakat kerta-rahardja berdasarkan Pantjasila, kami memasuki Golkar sebagai wadah satusatunja untuk memperdjuangkan serta mengembangkan umat baragama demi tegaknja Pantjasila dan UUD 45 untuk segera terwudjudnja masjarakat adil dan makmur.
Semoga Ida Sang Hjang Widhi Wesa melimpahkan rachmatnja kepada kami. Om santi, santi, saati om”.
Siapa Jang Harus Di Persalahkan?
Kita semua bisa memahami bagaimana prihatinnja suatu pimpinan parpol djika menjaksikan ada anggotanja, apalagi setjara massal, meninggalkan organisasinja dan masuk kedalam golongan lain. Sinjalemen bahwa dewasa ini banjak anggota2 parpol jang meninggalkan parpolnja dan masuk kedalam Golkar, sudah agak lama kita dengar Tokoh Partai Murba, Maruto Nitimihardjo, tempo hari pernah ditanja oleh wartawan mengenai tanggapannja bersangkutan dengan exodus tsb. Dan Maruto mendjawab kurang lebih demikian: Kepindahan anggota parpol jang satu keparpol jang lain dalam alam demokrasi adalah lumrah. Semua orang mempunjai hak untuk menentukan pilihannja sendiri dan mengoreksi pilihannja itu kemudian hari.
Djika kepindahan itu dalam djumlah jang besar, maka peristiwa itu patut mendjadi bahan untuk mawas diri bagi parpol jang bersangkutan. Djika kita mau mengikuti pendapat Maruto Nitimhardjo, maka ada banjak bagi pimpinan PNI untuk pertama2 mawasdiri, memeriksa dirinja, untuk mengetahui sebab2 jang mendorong massa PNI Buleleng membubarkan diri dan masuk kedalam Golkar. Ada baiknja untuk tidak buru2 mendakwa pihak lain jang bersalah.
Misalnja perlu dipertimbangkan apakah utjapan2 dan wedjangan2 Ketua Umum Hadisubeno tempo hari diberbagai tempat di-Djawa Timur pada massa PNI setempat (djika berita2 jang dimuat diberbagai koran ibukota memang benar adanja) tidak menimbulkan kesan jang mengerikan bagi massa PNI sendiri. Hadisubeno pernah berkata kurang lebih “10 Nasution, 10 Soeharto, segerobak Djenderal2, tidak akan menandingi satu Sukarno”. Djika benar demikian jang diutjapkan oleh Hadisubeno, maka kalimat2 itu jang lebih terperintji, bisa memberi kesan bahwa PNI hendak membawa massa-nja untuk membela Sukarno dan menentang “10 Nasution, 10 Soeharto, segerobak djenderal2” Dengan kata lain, utjapan diatas bisa (sekali lagi: bisa) memberi kesan pada massa PNI sendiri, bahwa pimpinan PNI hendak membawa massa PNI melawan “djenderal” dus ABRI.
Sekali lagi, hanja “bisa memberi kesan” artinja “mungkin memberi kesan” demikian meskipun mungkin Hadisubeno tidak bermaksud demikian.
Djika kesan itu memang demikian, maka logislah djika dan massa PNI jang berpikir, “lebih baik meninggalkan PNI daripada diadu-domba dengan ABRI”. Sebab mengadu-domba rakjat, dengan ABRI adalah tema2 gestapu PKI, sepertiketika PKI meneriakan “djenderal2 kabir” didjaman pra-gestapu, Sebab rakjat orde baru sekarang sudah mulai menjadari, bahwa masa pertentangan ideologi sudah lewat, bahwa masa adu-domba sesama Pantjasila sudah lewat. Rakjat di djaman orde baru sudah mulai menjadari bahwa ABRI terbukti telah mendjalankan peranan sebagai kekuatan sospol jang menjelamatkan Negara dan Bangsa dari bentjana2 penjelewengan, tingkat tinggi, pada saat terdjadinja gestapu-PKI 30 September 1965 jg menjembelih djenderal2 diluar hukum.
Bahwa dikalangan ABRI ada warganja jang tidak baik, lemah-iman, sehingga melakukan pelanggaran, hukum, adalah pengetahuan kita bersama, seperti kita djuga melihat warga2 jang tidak baik, jang lemah-iman, jang melakukan pelanggaran2 hukum dikalangan parpol2 dan golongan2 lain.
Tetapi tentulah tidak tepat djika dengan demikian kita lantas mendjatuhkan kesalahan pada warga ABRI, djadi kita terus melawan ABRI. Kita menentang “10 Nasution, 10 Soeharto, segerobak djenderal2”. Rakjat tentu sudah bosan.
Demikian, djika berita tentang utjapan2 Hadisubeno seperti jang dimuat diberbagai koran ibukota itu memang benar demikian adanja.
Maka peristiwa Buleleng ada baiknja oleh pihak PNI sendiri pertama-tama diteropong dari sudut lain, jakni mawas diri. Semua warganegara berhak menentukan pilihannja sendiri, dan pada suatu saat mengoreksi kembali pilihannja itu. (DTS)
Sumber: ANGAKATAN BERSENDJATA (01/04/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 682-684.