PERJALANAN PANJANG UNITED NATIONAL POPULATION BUAT PAK HARTO (I)

PERJALANAN PANJANG UNITED NATIONAL POPULATION BUAT PAK HARTO (I)

 

 

Jakarta, Angkatan Bersenjata

SOEHARTO bukan seorang dokter. Tapi sejak kecil mengenal penderitaan wanita melahirkan. Tidak aneh karena ia saat sejak kecil ditimang Kromodiryo, seorang dukun bayi. Mbah Kromodiryo yang juga menolong kelahirannya dari ibu yang dicintainya, Nyi Sukirah. Ayahnya, Kertosudiro, seorang ulu-ulu (petugas desa pengatur air).

Anak petani desa Kemusuk di daerah Argomulyo, Godean 30 km sebelah barat kota Yogyakatta itu tepat 8 Juni 1989 di New York memperoleh penghargaan United Nations Populations Award diserahkan Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellat. Bukan sekedar hadiah ulang tahunnya yang ke-68, tetapi penghargaan, dunia (PBB) atas keberhasilannya sebagai Presiden Republik Indonesia mendorong rakyatnya melaksanakan program pembangunan khususnya program kependudukan dan keluarga berencana.

Hadiah PBB tersebut berupa medali emas, sebuah diploma dan uang tunai US$ 12.500,- Badan KB Togo (Afrika Barat) juga menerima hadiah sama tahun ini. “Penghargaan bukanlah suatu tujuan,” kata bapak bangsa yang memegang teguh ajaran “aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh” Qangan mudah kaget, jangan mudah heran dan jangan mentang-mentang). Sebuah ungkapan rendah hati dan tidak sombong, karena penghargaan tinggi dunia.

Pelaksanaan program pembangunan termasuk program kependudukan dan keluarga berencana adalah upaya bangsa untuk mencapai masyarakat adil makmur sebagai pengamalan Pancasila.

“Ya pantas kalau pak Harto memperoleh penghargaan,” kata dr. Soeharto, pendiri dan mantan Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) memberi komentar. Ia senang karena pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mempunyai political will untuk melaksanakan birth control atau KB, katanya.

Sutjipto Wirasardjono, ketua PKBI sekarang, berkata penghargaan PBB yang diberikan kepada Presiden Soeharto itu, karena sikap pak Harto selaku kepala negara banyak memberikan perhatian pada soal kependudukan. Tidak banyak negara yang memberikan perhatian atau prioritas tinggi pada anggaran pembangunannya untuk kependudukan.

Karena itu dari tahun ke tahun, PBB menilai kepala-kepala negara yang semacam itu dan tidak banyak kepala negara yang seperti itu. Ada beberapa kepala negara atau pemerintahan yang sudah terlebih dahulu menerima penghargaan semacam itu, a.l. PM India, Indira Gandhi (almh. 1983) dan Presiden Bangladesh, Muhamrti ad Ershad (1987).

Selaku kepala negara, pak Harto memberikan kemungkinan untuk dibentuknya jaringan pelaksanaan. Yang pertama dan paling utama adalah para aparat perencana pemerintah, yaitu Bappenas atau para teknokrat yang memberi dukungan teknis dan kemudian mengoperasionalkan dalam penyediaan dana dan daya serta kelembagaan untuk mewujudkan komitmennya. Juga aparat daerah sejak dari gubernur sampai kepala desa berperan dalam menggerakkan masa. Sedang organisasi-organisasi menjalankan fungsi yang unik, kata Sutjipto.

Dr. Soeharto juga mengangkat jempol kepandaian tokoh KB seperti Haryono Suyono, Sutjipto Wirosardjono, Suwardjono Suryaningrat dan lain-lain dengan ide­idenya yang tidak pernah habis. PKK binaan Nyonya Soepardjo Rustam juga merupakan komponen yang kuat sebagai penggerak keberhasilan program KB. Peran serta ulama di bumi Pancasila ikut memecah pagar lama pengertian banyak anak banyak rezeki, menjadi kewajiban umat menurunkan keturunan yang kuat.

”Saya ikut bergembira, Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dunia,” kata Siti Masripah Sutikno, akseptor steril dari Desa Baturetno, Wonogiri yang sudah terlanjur punya anak lima.

 

Cikal Bakal

PERJALANAN panjang sukses keluarga berencana diawali dengan susah payah. Sekelompok dokter di RSCM, Jakarta tahun 1952 telah melaksanakan sterilisasi. Tujuannya untuk kesehatan, kata Prof. Yudono (sesepuh program KB). Bahkan dr. Suharto menyebutnya sebagai klinik gelap. Pelayanan itu, a.I.dimotori dr. Koen, Ny. Subandrio, dr. Ong, dr Yudono, dr. Soeharto, dr. Hanifah Wignyosastro diketuai dr. Sarwono Prawirohardjo.

Tingginya kematian ibu melahirkan, kematian bayi dan tingginya perceraian, mendorong para dokter untuk mengembangkan ide birth control (menghindari kehamilan).

Bung Karno (Presiden RI Pertama) waktu itu tidak setuju dengan birth control ansich, kata dr. Soeharto yang kini berusia 80 tahun. Dr. Soeharto mengenang dialognya dengan Bung Karno. “Bung jangan begitu. Saya ini kan kasihan sama ibu­ibu dan anak-anak. Jadi, ya demi kesejahteraan ibu dan anak”. Dengan penjelasan tersebut, Bung Karno baru setuju walaupun tidak diumumkan secara terbuka, kata dr. Soeharto, dokter pribadi Bung Karno yang juga Ketua IDI saat itu.

Pengembangan BC dengan pendirian PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) mendapat tantangan banyak pihak. Upaya pendirian ini didukung International Planned Paranthood Federation (IPPF) setelah dr. Soeharto berdialog dengan Dorothy Brush. Adviser IPPF Abraham Stone yang datang ke Indonesia dalam dialog dengan Bung Karno tentang BC berakhir dengan pertengkaran. Pertemuan itu tidak menyenangkan, kata dr. Soeharto.

Akhirnya dengan pendekatan khas Indonesia, Bung Karno tidak melarang PKBI berdiri 23 Desember 1957. Turning Point titik balik yang juga menggembirakan adalah dibukanya pilot project Keluarga Berencana oleh Gubernur DKI tanggal 22 April 1967 saat memperingati Hari Kartini. Saat itulah mulai terpasang tulisan “Klinik Keluarga Berencana.” Dr. Soeharto menyatakan kegembiraannya ketika akhimya pemerintah Orde Baru mempunyai political will untuk melaksanakan program Birth Control atau Keluarga Berencana.

Bahkan Presiden Soeharto menandatangani deklarasi kependudukan dunia yang diprakarsai oleh PBB pada awal tahun 1967. Komitmen dunia ini diikuti kesertaan Indonesia dalam konperensi Kependudukan Dunia di Bukarest pada tahun 1974.

 

Babad Alas Wanamarta

MIRIP lakon pewayangan Babad alas wanamarta saat ksatria Pandawa membangun Kerajaan Amarta. Bangsa Indonesia mulai Orde Baru sadar kelengahan dan bangkit melaksanakan pembangunan nasional berencana guna meningkatkan derajat sosial ekonomi dan budaya.

Pembangunan dilaksanakan secara bertahap dari satu Repelita ke Repelita berikutnya. Pembangunan berencana tersebut dilakukan dengan orientasi Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan. Urutan prioritas ketiga orientasi tersebut berubah secara berurutan.

 

BKKBN

SIKAP positif pemerintah di bidang kependudukan dibuktikan dengan Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat No.37/38, pada tanggal 18 Oktober 1968 dibentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional. Lembaga ini diberi tugas mengkoordinir segala kegiatan dalam bidang keluarga berencana.

Selanjutnya tanggal 22 Januari 1970 keluar Keputusan Presiden No.8 tahun 1970 yang menyatakan berdirinya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Mulai saat itu KB lebih tegas dilaksanakan secara integral sebagai bagian pembangunan nasional.

Periode pengenalan program bukanlah pekerjaan ringan, kenang dr. Suwardjono Surjaningrat, mantan Kepala BKKBN pertama di Indonesia dalam buku memoir masa kepemimpinannya. Masyarakat, bahkan sementara pejabat belum menyadari betapa gawatnya masalah kependudukan yang dihadapi bangsa.

Sementara kondisi kependudukan adalah tingkat kelahiran kasar 44 per seribu dengan angka kematian bayi tahun 1971sebesar 143 perseribu bayi laki-laki dan 121 per seribu bayi perempuan. Melalui program KB dan Kesehatan serta pembangunan sektor lain, angka itu dapat diturunkan. Angka kelahiran dapat ditekan menjadi 2%. Sedangkan angka kematian tahun 1980 sebesar 112 per seribu, tahun 1983 turun menjadi 92 per seribu, 1985 sebesar 71 per seribu dan tahun 1988 sebesar 58,04 per seribu.

Sementara angka kematian ibu melahirkan diperkirakan 400-450 per seratus ribu, pada tahun 1980. Dapat dibayangkan tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan sebelum tahun 60-an,mengingat situasi ekonomi dan kondisi pelayanan kesehatan yang memprihatinkan waktu itu.

Keluarga Berencana sebagai ide baru mendapat tanggapan berbeda-beda, ada yang berpendapat pengendalian penduduk merupakan ulah negara kaya. Ada yang menganggap bertentangan dengan agama atau kesangsian imannya, masalah adat dan lain-lain. Cara ber-KB-pun hanya pantang berkala dan coitus interuptus (sanggama terputus) yang mudah diterima.

Dengan sikap hati-hati tanpa mempertentangkan perbedaan pendapat BKKBN tanpa henti memperkenalkan ide KB. Haryono Suyono sendiri berbicara di depan tokoh-tokoh pers pada Seminar Kependudukan dan Keluarga Berencana yang diselenggarakan YPPI LIPI-PWI. Ia memperkenalkan ide KB dengan mensitir laporan berjudul “How farm People Accept Ideas” tahun 1955 yang diperluas oleh Beal dan Bohlen tahun 1957 tentang tahapan petani menerima ide pertanian modern. Tahapan itu antara lain tingkat kesadaran, tingkat keterangan, tingkat penilaian, tingkat percobaan dan tingkat penerimaan.

Usaha yang tidak kenai henti membuahkan hasil. Berbagai organisasi sosial mulai ambil bagian menggarap program seirama tahapan dimensi program yang dikembangkan, yaitu dimensi perluasan jangkauan, pembinaan serta pelembagaan dan pembudayaan.

 

Semua Bicara KB

Organisasi yang sudah mapan meletakkan KB dalam programnya. PKK meletakkan KB sebagai salah satu dari sepuluh program garapannya. Di dunia pers, wartawan senior seperti Susilomurti (alm), Sugiarto Ps, Ngatidjo MW dan Fanani membantu Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB). Tokoh-tokoh pers seperti Jacob Oetomo, H Harmoko (saat itu Ketua PWI), Sundoro, Sumono Mustoffa, Assegaf menjelaskan teknik-teknik penulisan tentang KB. Ulama dan tokoh adat menguraikan soal KB melalui pendekatan keagamaan.

 

 

Sumber : ANGKATAN BERSENJATA (13/06/1989)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 700-704.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.