PERLAKUAN TERHADAP BUNG KARNO SBG PRESIDEN HANJA SEMENTARA

PERLAKUAN TERHADAP BUNG KARNO SBG PRESIDEN HANJA SEMENTARA

Hakekatnja BK Sudah Bukan Presiden [1]

 

Djakarta, Kompas

Djiwa, isi dan ketentuan2 dalam Keputusan Presiden no. 62 th 1967 adalah tidak lain dari pelaksanaan tehnis daripada kebidjaksanaan2 Ketetapan MPRS no. XXXIII adalah memperhatikan faktor2 psychologi masjarakat, maka adalah kelandjutan jang wadjar apabila dalam pelaksanaannja faktor2 itu tetap diperhitungkan. Karena itu Pd. Presiden Soeharto minta pengertian dan keichlasan seluruh rakjat, bahwa untuk SEMENTARA WAKTU Bung Karno masih akan diperlakukan sebagai Presiden jang tidak berkuasa lagi, sebagai Presiden jang tidak mempunjai wewenang apapun dibidang politik, kenegaraan dan Pemerintahan.

Demikian pokok2 djawaban Pemerintah atas interpelasi 30 orang anggota DPR-GR tertanggal 28 Mei 1967 tentang keputusan Presiden RI No. 62 th 1967.

Tetapi dikatakan djuga oleh Pedj.Presiden, bahwa Pemerintah menjadari, bahwa hakekat dari Ketetapan MPRS no. XXXIII adalah, bahwa Bung Karno itu bukan Presiden RI lagi, hal itu ditegaskan dalam pasal 1 ajat (1) keputusan Presiden No 62 67 jang menegaskan “dengan berlakunja Ketetapan MPRS XXXIII MPRS 1967, Bung Karno tidak lagi menggunakan sebutan Kepala Negara, Presiden RI, dll”.

Latar Belakang Keputusan 62/67

Sebagai latar belakangnja Keputusan Presiden RI No 62 tahun 1967, Kepala Negara menjatakan bahwa mendjelang sidang Istimewa DPR-GR jl, Pemerintah berpendapat bahwa konflik status dan dualisme harus diselesaikan sebab hal ini hanja membahajakan persatuan dan kesatuan Bangsa, membahajakan kelangsungan hidup Negara serta menghambat pelaksanaan Dwi-Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera.

Karena konflik itu menjangkut Bung Karno, jang waktu itu sebagai Presiden RI memegang kekuasaan berdasarkan Undang2 Dasar, maka demi menjelamatkan lembaga Kepresidenan, demi mengembalikan serta demi menjelamatkan demokrasi pada masa kini dan masa jad, konflik2 dan dualisme itu harus diselesaikan setjara konstitusionil.

Demi mendjaga persatuan dan kesatuan Bangsa, maka terpaksa diperhatikan kenjataan jang ada pada sebagian masjarakat kita jang setjara irrasionil mengharapkan agar Bung Karno tidak diperlakukan setjara tidak adil, dengan segala pengertian dan pengetahuan mereka tentang kesalahan2 Bung Karno dalam tahun2 terachir ini.

Dan golongan jang berpikir setjara irrasionil itu terdapat djuga dalam tubuh ABRI.

Saja djuga ingin menegaskan bahwa sama sekali bukan maksudnja agar kita ikut berpikir irrasionil, melainkan agar golongan irrasionil diperhitungkan setjara irrasionil”.

Tetapi Kepala Negara mengatakan setjara terus terang bahwa kekuatan Orde Baru tidak mungkin dan tdk boleh mengadakan kompromi dengan kekuatan2 Orde Lama, Orde Baru harus menang, Orde Lama tidak boleh kembali.

“Saja ingin menegaskan bahwa inilah pendirian saja pada waktu itu, pendirian saja pada waktu sekarang dan tetap merupakan pendirian saja pada waktu2 jad”, demikian Pak Harto.

Disamping adanja keterangan team dokter jang kompeten jang diberikan diatas sumpah djabatan jang menerangkan bahwa keadaan kesehatan Bung Karno telah demikian mundurnja, maka alasan2 psychologis-praktis, merupakan dasar kebidjaksanaan perlakuan jang diberikan Pemerintah kepada Bung Karno.

Dikatakan faktor psychologis masjarakat ini memang bukan faktor jang permanent, karena psychologis masjarakat itu sendiri berubah. Pemerintah berkewadjiban dan seluruh kekuatan Orde Baru djuga berkewadjiban untuk membawa psychologi masjarakat itu kepada kemenangan total Orde Baru. Karena perlakuan terhadap Bung Karno bukanlah semata2 masalah juridis, sebab didalamnja djuga menjangkut aspek2 psychologis bahkan masalah jang pokok adalah masalah politik masalah pelaksanaan ketetapan MPRS No. XXXIII setjara lantjar tertib dan aman.

Faktor Stabilisasi Jang Diperhitungkan

Dikatakan oleh Djend Soeharto bahwa faktor utama jang diperhitungkannja stabilisasi politik jang dengan susah pajah kita usahakan bersama2 ini.

Untuk itu, Pemerintah merasa berkewadjiban untuk tetap mendjaga keamanan pribadi Bung Karno.

Mengenai masalah makar terhadap Kepala Negara, maka dengan memperhatikan Ketetapan MPRS No XXXIII dan ketentuan pasal 1 ajat (1) . Keputusan Presiden No. 62 1967, kiranja tidak terlalu sukar untuk menafsirkan bahwa maka terdjadi apabila perbuatan itu ditudjukan kepada Pd Presiden seperti jang dimaksudkan dalam Ketetapan MPRS No. XXXIII.

Menanggapi usul Interpelasi DPRGR, mengenai diidjinkannja Bung Karno memakai pakaian seragam dan tanda2 pangkat, apabila menghadiri upatjara2 Kenegaraan berdasarkan undangan Resmi dari Pemerintah (Kepres No. 62 tahun 1967) Pd, Presiden Soeharto mendjelaskan akan sungguh2 memperhatikan pendirian rakjat apabila akan mengundang Bung karno setjara resmi dalam upatjara kenegaraan itu.

Pengaruhnja terhdap pandangan rakjat dalam negeri maupun pandangan internasional dengan sendirinja sangat diperhatikan lebih2 pengaruhnja terhadap kemenangan Orde Baru jang mendjadi tekad Pemerintah untuk memenangkannja. Pemerintah tidak akan melakukan tindakan2 jang memungkinkan kembalinja Orde Lama.

Sedang mengenai perlakuan protokoler terhadap Bung Karno, Pemerintah berpendapat bahwa perlakuan ini tidak dapat dan tidak seharusnja ditafsirkan atau dikesankan sebagai adanja “negara” dalam negara.

Mengenai diberinja Istana Bogor sebagai tempat kediaman Bung Karno (untuk sementara) Pemerintah ingin menggunakan perbandingan lain jang sederhana bahwa banjak pegawai jg. sederhana sekalipun lebih2 dewasa ini, banjak pula jang mendiami rumah2 dinas milik negara. Selain itu dalam tjontoh jg sederhana djuga, Pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif dalam rangka wewenangnja boleh mengambil kebidjaksanaan dapat pula memberi fasilitas2 sematjam itu kepada warga negaranja jang dianggap perlu. dengan sendirinja ada faktor jang perlu dipertimbangkan masak2 oleh Pemerintah untuk memberikan kebidjaksanaan sematjam itu.

Perlu pula didjelaskan bahwa kesempatan/fasilitas ini adalah untuk sementara seperti termasuk dalam pasal 2 ajat (1) dari keputusan Presiden no. 62 tahun 1967.

Pemerintah berpendapat bahwa masalah pembiajaan jang ditanjakan usul interpelasi itu. adalah telalu sederhana untuk dimintakan persetudjuan DPR GR oleh karena tidak akan merupakan tambahan anggaran Belandja, bahkan tidak akan memerlukan perobahan mata anggaran itu adalah termasuk wewenang eksekutif. (DTS)

Sumber: KOMPAS (29/06/1967)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 529-532.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.