PERLU PERATURAN YANG MELARANG TRANSAKSI TANAH PERTANIAN
Anggota DPR Tentang Isyarat Presiden
Perhatian Presiden Soeharto terhadap petani gurem dan isyaratnya untuk menghentikan pemecahan tanah menjadi kecil-kecil patut disambut baik. Demikian Oka Mahendra SH, anggota DPR Komisi II dari FKP, Kamis kemarin, menanggapi pidato kenegaraan Presiden yang menyangkut soal petani gurem dan sempitnya pertanahan.
Presiden dalam pidato kenegaraan 15 Agustus lalu menunjukkan makin banyaknya petani gurem di Pulau Jawa, yaitu petani dengan tanah garap yang sangat kecil, antara lain akibat adat masyarakat yang mewariskan tanah kepada anakanaknya, sehingga tanah dipecah-pecah.
Presiden mengisyaratkan perlunya suatu cara untuk mencegah pembagian pemilikan tanah petani menjadi kurang dari ½ hektar, baik karena pewarisan atau tindakan hukum lainnya.
Namun anggota DPR ini mengingatkan, pelaksanaan pencegahan itu membutuhkan pemikiran matang, terutama justru karena menyangkut masalah adat pewarisan.
”Padahal masalah adat ini secara tradisional diikuti, dan tiap daerah mungkin punya adat waris sendiri". Dikatakan, Undang-undang Landreform sebenarnya menentukan petani diharapkan memiliki tanah minimal dua hektar. Tapi dalam kenyataannya banyak yang kurang dari ½ hektar, bahkan banyak pula yang tidak punya tanah".
Bagi petani yang tak punya tanah, Oka Mahendra mengharapkan terlaksananya perjanjian bagi hasil yang betul-betul adil. "Memang sudah ada peraturan perundangundangan yang memuat soal itu, UU No.2 tahun 1960, tapi sampai sekarang masih seret pelaksanaannya.
Jual-Beli
Menurut Oka Mahendra, selain karena warisan, sebidang tanah pertanian dapat terbagi pemiliknya jadi kurang dari ½ hektar karena jual-beli. Hal ini bisa teratasi, misalnya dengan peraturan yang melarang transaksi tanah yang mengakibatkan tanah pertanian terpecah jadi kurang dari ½ hektar, karena kurang dari itu tanah pertanian jadi tidak produktif, tak menguntungkan lagi. Juga jual-beli ini, seandainya terjadi, harus antar petani saja.
Tapi Oka Mahendra mengakui, hal] ini tentu tidak mengatasi masalah yang sebenarnya. Petani menjual tanahnya karena ia butuh uang dan tak punya alternative lain.
"Cobalah bantu dengan kredit misalnya. Karena bagaimana pun tanah adalah modal dasar petani yang sebaiknya tidak diutik-utik dan dipisahkan dari mereka," kata Oka.
Ia melihat, sekarang ini banyak orang berada yang menanamkan uangnya pada tanah, termasuk dengan membeli tanah-tanah pertanian. Investasi yang oleh mereka itu dianggap ”aman” ini, selain tak membuka kesempatan kerja, juga mematikan petani. Tanah pertanian akhirnya diubah jadi rumah atau tempat peristirahatan. "Ekspansi kaum modal inilah yang harus dicegah!"
Anggota DPR ini menyerukan agar kaum berada menanamkan modal mereka di bidang industri atau produksi lainnya, sehingga tanah pertanian dapat diselamatkan, di samping terbuka lapangan kerja baru bagi rakyat.
Untuk mengatasi makin banyaknya petani gurem yang timbul akibat pertambahan penduduk sementara tanah garapan tidak bertambah, Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan mengatakan jalan keluarnya adalah perluasan lapangan kerja dan transmigrasi secara besar-besaran.
”Tapi daerah transmigrasi hendaknya betul-betul siap untuk digarap. Pengairan, transportasi, pemasaran hasil dan sebagainya. Jangan sampai menimbulkan kekecewaan," demikian Oka Mahendra mengingatkan. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (21/08/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 574-576.