PERTUMBUHAN EKONOMI ENAM PERSEN AWAL PELITA VI REALISTIS

PERTUMBUHAN EKONOMI ENAM PERSEN AWAL PELITA VI REALISTIS[1]

Jakarta, Antara

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal Pelita VI sebesar enam persen adalah realistis atau dapat dicapai apabila pemerintah dapat mempertahankan dan meningkatkan kapasitas serta kehandalan produksi yang terus dipacu pada temperatur tinggi. Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)-UI Faisal H Basri, di Jakarta, Rabu kepada ANTARA, menanggapi pidato kenegaraan Presiden Soeharto di gedung DPR/MPR yang menginginkan pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen adalah realistis.

Faisal mengomentari pula bahwa keinginan Presiden agar pertumbuhan ekonomi selama PJPT (Pembangunan Jangka Panjang Tahap) II rata-rata sebesar tujuh persen setiap tahunnya juga realistis namun perlu kerja ekstra berat. Namun, ia memberikan beberapa catatan, di antaranya dikatakan untuk pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) pada sektor non migas itu optimis dapat tercapai, tetapi pertumbuhan PDB total selama PJPT II sebesar tujuh persen setiap tahunnya perlu kerja ekstra berat.

Perlu kerja ekstra berat, lanjut dia, karena persaingan internasional makin ketat, apalagi ekspor non migas Indonesia itu meningkat pesat dan selama inipraktis melawan arus karena pertumbuhan ekspor dunia rata-rata enam sampai persen per tahun sedangkan Indonesia mencapai 20 persen.

“Artinya Indonesia ingin secara terus-menerus merebut pangsa pasar negara lain sebagai akibat mempertahankan dan meningkatkan kapasitas dan kehandalan kemampuan ekspor yang terus dipacu dalam tempo tinggi,” tutur dia.

Ia mengingatkan pula bahwa trend tersebut belum tentu dapat berlangsung terus karena ada hukum alam yaitu proses perlambatan karena faktor dalam perekonomian dunia makin banyak, dan tak hanya Indonesia yang melakukan deregulasi dan reformasi ekonomi. Banyak negara lain melakukan reformasi ekonominya lebih cepat dibandingkan Indonesia.

Sulit Tercapai

Pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen setiap tahunnya, Ianjut Faisal, pada awal-awal PJPT II sulit tercapai karena dapat menimbulkan memanasnya kernbali perekonomian Indonesia setelah lesunya perekonomian akibat kebijaksanaan uang ketat.

Alasannya, karena infrastruktur ekonomi Indonesia yang belurn memadai, seperti listrik, telekomunikasi, pelabuhan,jalan dan sebagainya yang tidak dapat dipacu secara cepat, walaupun ada swasta yang menyediakan listrik itupun tarifnya 40 persen lebih tinggi.

Hambatan lain pada pertumbuhan ekonomi adalah pemerataan pembangunan ekonomi di Indonesia Bagian Timur (IBT). Apabila pemerintah konsisten dengan kebijaksanaannya untuk melakukan pemerataan pembangunan ekonomi di IBT maka hal itu akan mempengaruhi terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam kesempatan itu, ia mengomentari pula mengenai kebijaksanaan Presiden untuk mengeluarkan Inpres desa-desa terbelakang. Faisal mengatakan bahwa Inpres bagi desa-desa terbelakang tidak akan mengakibatkan peningkatan produksi nasional secara langsung.

Ia mengkritik pula kebijaksanaan sektor perbankan sebagai lembaga pendanaan bagi pembangunan ekonorni nasional. Dikatakannya, sebagaian besar ekspansi kredit perbankan nasional belakangan ini mengarah pada konsumerisasi dan untuk menutup kredit-kredit yang macet pada masa lalu.

“Jadi dapat dikatakan ekspansi kredit untuk investasi, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sanga terbatas,”katanya.

Wakil Kepala Penelitian (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) UI itu mengharapkan agar pertumbuhan ekonorni nasional pada tahun-tahun awal Pelita VI sebaiknya melambat (Slow Growth).

Kemudian melakukan konsolidasi, khususnya pada sektor industri, struktur tarifnya diubah, sektor industri hulunya agak lebih dilepas atau tidak proktektif,

prosedur yang tidak berbelit -belit dan iklim usaha yang kondusif. (T.PE07/3:24PM   8/17/93/eu03/16.00)

Sumber: ANTARA(18/08/1993)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 557-559

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.