PESAN POSITIF PRESIDEN SOEHARTO[1]
Jakarta, Bisnis Indonesia
Presiden Soeharto tetap menaruh perhatian besar terhadap perkembangan di Eropa. Kepala Negara bahkan menyatakan gembira bahwa Prancis dapat menerima perjanjian Maastricht yang bertujuan menyatukan sistem ekonomi dan politik 12 negara di benua itu. Harapannya kepada pemerintah Paris adalah supaya negeri itu memainkan peran untuk menghindarkan Eropa menerapkan kebijakan yang protektif
Apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto, tentu saja, bukan sekadar imbauan Indonesia melainkan lebih dari itu adalah suara Dunia Ketiga dan Gerakan Non-blok. Maklum, negara-negara yang bergabung dalarn Gerakan Non-blok, pada umumnya, adalah negara berkembang yang perekonomiannya amat tergantung kepada pasar ekspor negara-negara maju. Dalam beberapa hal, Dunia Ketiga bahkan masih membutuhkan alokasi bantuan dana dan transfer teknologi dari negara-negara yang sudah maju, termasuk Eropa.
Dalarn situasi resesi dunia yang dimeriahkan oleh perang dagang antar-negara serta tingginya pengangguran di negara-negara maju, maka ancaman proteksionisme semakin besar. Terlebih lagi bila perjanjian dagang multilateral sebagaimana ingin dibenahi melalui Putaran Uruguay (Uruguay Round) terancarn gagal, maka negara yang merniliki daya pemaksa kuat cenderung akan menggunakan kekuatan mereka untuk menguasai negara lain. Sedikitnya bisa teRjadi berupa tekanan-tekanan politik dan bila perlu militer sekadar untuk membuka pintu impor negara lain.
Sementara itu, di belahan lain, muncul kelaparan dan keterbelakangan serta perpecahan jahiliyah yang menyengsarakan sekelompok bangsa. Afrika, dan sebagian kecil Eropa dan Asia, bahkan berhadapan dengan situasi chaos. Perkembangan intemasional sekarang ini menunjukkan bahwa banyak pemimpin dunia seperti kehilangan akal dan cara untuk menembus kemandekan situasi yang memburuk akibat resesi. Lebih mencolok lagi dialog Utara-Utara justru meruncing dan semakin membahayakan Selatan yang sedang berkembang dan yang miskin. Karena itu, seruan Presiden Soeharto memberi makna jauh ke depan, khususnya kepada Eropa agar menghindarkan diri dari ketertutupan yang dampaknya akan lebih menyakitkan bagi Selatan.
Kesulitan utama mengendalikan situasi negatif saat ini, antara lain, adalah dialog multilateral telah kehilangan arah dan iktikad. Sementara dialog Utara-Utara menunjukkan kecenderungan yang negatif bagi semua pihak dengan dampaknya yang kompleks terhadap pertumbuhan Selatan. Sedangkan PBB sedang sibuk menghadapi problem bangsa-bangsa yang tercabik-cabik oleh munculnya rasisme, sukuisme dan kewilayahan yang sempit akibat tiadanya identitas.
Kita bisa memahami bahwa perkembangan yang negatif itu menjadi keprihatinan kita juga mengingat keterkaitan dunia semakin erat, sulit dipisahkan satu dengan lainnya. Hanya, bangsa Indonesia bisa mensyukuri masih memiliki daya tahan yang kuat akibat adanya landasan yang teguh dan berkesinambungan dalam melaksanakan pembangunan. perkembangan negatif di luar tentu akan berpengaruh ke negeri kita, tapi dengan adanya kemantapan situasi dan pembangunan yang berkelanjutan, berbagai dampak negatif itu dapat diperkecil.
Justru dalam suasana yang seperti itu kita mengimbau kepada semua pihak untuk meningkatkan integritas nasional. Bahkan kita sependapat dengan Jendral Try Sutrisno yang menyerukan agar kita jangan sampai terkotak-kotak dalam wawasan yang sempit. Beruntung sekali bangsa Indonesia tetap mernilih identitas dan kepribadian yang kokoh dengan ideologi Pancasila, sementara ada bangsa-bangsa yang pemah besar justru kehilangan kepribadian dan tercabik-cabik. Mereka kini sedang mencari bentuk ideologi dan kepribadian yang baru akibat ideologi dan kepribadian mereka selama ini salah pilih.
Dengan kemantapan ideologi Pancasila itu, bangsa Indonesia memiliki resistensi yang tinggi menghadapi gejolak global. Satu hal yang perlu kita lakukan ialah mendayagunakan keuntungan komparatif tersebut untuk mengantisipasi perkembangan internasional.
Sumber: BISNIS INDONESIA (13/11/1992)
______________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 642-643.