PESAN PRESIDEN: HUBUNGAN INI PERLU DIPELIHARA [

PESAN PRESIDEN: HUBUNGAN INI PERLU DIPELIHARA [1]

 

Jakarta, Suara Pembaharuan

Presiden Soeharto di Istana Merdeka hari Kamis (5/5) menerima Delegasi Indonesia yang menghadiri Peringatan 300 Tahun Mendaratnya Syekh Yusuf diAfrika Selatan sebagai buangan politik oleh pemerintah penjajah Belanda.

Turut juga dua tamu dari Msel, Achmad Davids Ketua Panitia Peringatan 300 Tahun mendaratnya Syekh Yusuf di Cape Town dan Dr Sulaiman Dangor, profesor di Durban University yang mengungkap pertama kali tentang sejarah Syekh Yusuf, sebagai ulama, sufi, cendekiawan dan sebagai pahlawan/pejuang yang menentang penjajahan.

Ketua delegasi Achmad Nurhani yang memberikan keterangan kepada wartawan menyebutkan, mereka melaporkan kepada Presiden tentang kunjungan delegasi In­donesia ke Cape Town, Afsel, menghadiri upacara tersebut.

Presiden berpesan bahwa hubungan ini perlu dipelihara, apalagi karena umumnya orang-orang Islam di Cape Town berasal dari Indonesia. Yaitu, orang-orang buangan politik diwaktu itu. “Beliau melihat dalam hubungan kultural, juga melihat kemungkinan hubungan ekonomi, perdagangan dan hubungan pendidikan. Dan Presiden menyambut gembira kedatangan mereka ke Indonesia dan menanyakan apa kesan mereka selama di Indonesia dan tempat-tempat mana saja yang sudah mereka kunjungi,”tambahnya. Mereka sudah berkunjung ke Ujungpandang di mana ada makam Syekh Yusufdi Lapio, Goa dan pergi ke Banten di mana Syekh Yusuf berjuang bersama Sultan Ageng Tirtayasa.

Upacara di Cape Town, ujamya diawali napak tilas tanggal 2 April 1994, di mana dalam rombongan dari Indonesia ikut hadir Menteri Pertahanan Malaysia, Sekjen OKI, dan Nelson Mandela. Yang akan menjadi presiden Afsel ini juga mengakui bahwa Syekh Yusuf seorang pahlawan, pejuang yang bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk bangsa Afrika.

Presiden Soeharto, katanya, menyebutkan, insya Allah Syekh Yusuf juga akan kita tetapkan sebagai pahlawan nasional, sama dengan pahlawan-pahlawan lain yang seangkatan, seperti Sultan Iskandar Muda, Sultan Agung, Sultan Ageng Tirtayasa dan lain-lainnya.

49 Orang

Sewaktu Syekh Yusur dan rombongan tiba di Cape Town, mereka berjumlah 49 orang, dan diberi tempat kemudian diberi nama Makassar. Jadi ada distrik Makasar di sana. “Saya menyaksikan sendiri di jalan raya ada petunjuk ke arah kampung Makasar atau distrik Makasar dan ke arah pantai Makasar. Dan mereka menyambut kita dengan antusias. Terasa keinginan untuk menyambung kembali ikatan kekeluargaan. Boleh dikatakan 300 tahun Jebih tidak ada hubungan,” katanya.

Ketika ditanya berapa pahlawan kita yang dibuang Belanda dan dimakamkan di sana? Di makam Syekh Yusuf, Syekh Yusuf sendiri, kemudian ada empat sahabatnya dan banyak lagi yang lain. Ada Tuan Guru dan Tambora, ada Sultan Tidore, lebih dari 12 orang. Tapi masih banyak lagi yang tidak begitu kita kenal. Hubungan sejarah Indonesia dengan Afsel dimulai sejak 6 April 1652 ketika nahkoda Ja van Riebeek mendaratkan kapal-kapal VOC di Teluk Meja, Tanjung.

Sejak itu Belanda menjalankan dua proyek kolonialisme sekaligus, yaitu Indonesia dan Afsel. Kawasan Cape menjadi tempat pengasingan pejuang-pejuang Indonesia anti kolonialisme, antara lain, rombongan dari Ambon/Banda yang disebut kelompok Mardijekers atau Maredhika, artinya merdeka (dibuang ke Afsel 1658). Tiga orang dari Sumatera Barat yang tidak dikenal namanya satu persatu, tetapi disebut dengan nama umum orang Cayens, artinya orang kaya dan berpengaruh (1667), Syekh Yusuf kelahiran Goa, berjuang di Banten (1694), Taja Tambora, Nusa Tenggara (1697), Tuan Said Aloewie dari Batavia, asal Yaman (1744), H. Matariem dari Batavia (1744), Pangeran Tjakraningrat IV (Sidingkap) dari Madura (wafat 1745), Imam Abdullah Ibn Qadi Abdussalam (dibuang 1780) yang adalah pangeran putra Sultan Tidore yang lebih dikenal dengan nama Tuan Guru, Callie Abdul Rauf, Noro Iman dan Badroedin dari Tidore (1780), Sultan Ahmad (Temate), Said Abdurrahman (Madura) dan Daeng Mangenan (Sulawesi Selatan). Hampir semuanya diperlakukan dengan kejam, seperti tangan dan kaki dirantai, dilepas begitu saja di rimba belantara, ditindak kebebasan beribadahnya, di penjara di Pulau Robben yang terkenal sebagai pulau tahanan dan penyiksaan tokoh politik.

Sumber: SUARA PEMBARUAN ( 08/05/1994)

_____________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 49-50.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.