POSITIF DAN “REASONABLE”[1]
Jakarta , Suara Pembaruan
Sejumlah anggota DPR-RI menyatakan mendukung pernyataan Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Non Blok (GNB) yang mengusulkan agar jumlah anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB ditambah dari lima menjadi 11 negara. Juga, terhadap upaya “menggalang kekompakan” antar negara yang kini tengah dilakukan, dengan ditunjuknya sejumlah duta besar keliling untuk menangani masing masing wilayah. Langkah tersebut dinilai sangat positif dan resonable. Namun diingatkan, upaya selanjutnya harus dilakukan secara persuasif. Jangan sampai terlalu radikal, sehingga malah menimbulkan konflik baru, serta merugikan posisi negara-negara pengusulnya, khususnya negara-negara yang lebih kecil.
Pendapat tersebut dilontarkan Marcel Beding, Budi Hardjono (F-PDI), Drs. Theo Sambuaga,Agus Tagor (F-KP), serta Ismail Hasan Metareum dari PPP kepada Pembaruan Rabu pagi di Jakarta, menanggapi usulan Presiden Soeharto itu yang dilontarkan Selasa malam dalam penerbangan dari Tokyo menuju Jakarta.
Pemikiran mengenai restrukturisasi DK PBB itu, menurut Kepala Negara adalah salah satu prioritas yang harus segera dilaksanakan. Dikatakan, perlunya ditambahnya anggota DK PBB menjadi 11 negara adalah untuk mencerminkan rasa keadilan dan sesuai dengan perubahan-perubahan baru yang sedang terjadi di dunia saat ini.
Menurut Marcel Beding, usulan tersebut menunjukkan Presiden memang serius dalam menjabarkan keputusan-keputusan KTT X Gerakan Non Blok (GNB). Indonesia memang wajar melakukan itu karena hal tersebut sejalan dengan amanat KTT GNB, mengenai perlunya restrukturisasi, revitalisasi dan demokratisasi PBB, yang dirasakan sudah cukup mendesak dilakukan sekarang ini.
Selain itu kita harus juga melihat fakta, katanya, bahwa keinginan untuk memperbaiki PBB tidak hanya datang dari negara-negara anggota GNB saja, tapi hampir dari semua pihak, termasuk Sekgen PBB sendiri. Upaya itu dinilai penting, agar badan dunia tersebut benar-benar berfungsi secara berdayaguna sesuai dengan perkembangan zaman.
Tapi, kata anggota Komisi I DPR itu lagi, kita juga harus menyadari, bahwa ada negara-negara yang masih menginginkan kondisi DK PBB seperti dulu. Terutama negara-negara yang mempunyai andil besar dalam menyokong anggaran badan tersebut. Seperti Amerika Serikat yang men-support dana sebesar 25%.
“Kita tidak boleh lupa, bahwa semua itu pada akhirnya membutuhkan dana, dan sumber dana itu kita semua sudah tahu. Bukan tidak mungkin ,ada kekuatan-kekuatan yang mempergunakan kemungkinan-kemungkinan itu untuk mempertahankan pengaruh mereka,” kata Marcel.
“Oleh sebab itu, untuk selanjutnya, semua harus dilakukan secara persuasif. Kita tidak boleh radikal agar jangan sampai ada ‘korban’. Saya kira, Presiden tidak mau begitu (radikal-red),” tambahnya.
Sementara itu, Ismail Hasan Metareum (mantan Ketua Komisi I DPR yang kini Ketua Umum DPP PPP menyatakan, restrukturisasi perlu dilakukan, agar PBB jangan sampai tertinggal jauh dari negara-negara anggotanya yang kian lama kian maju dan berkembang. PBB harus mampu menyerap aspirasi negara-negara anggotanya yang cukup potensial dan keberadaan mereka harus tercermin dalam badan-badan PBB, terutama sebagai anggota tetap Dewan Keamanan yang peranannya amat menentukan.
Karena itu, katanya, Indonesia yang kini dipercayakan sebagai pirnpinan GNB memang harus dapat melakukan tugas-tugas untuk memperjuangkan aspirasi anggota di tingkat intemasional, antara lain dengan melakukan restrukturisasi PBB, terutama menyangkut penambahan anggota tetap Dewan Keamanan agar mencerminkan setiap potensi negara anggota PBB.
“Selama Pak Harto menjadi pimpinan GBN, hendaknya hal itu bisa terlaksana,” ujar Ismail.
Katanya, hak pendiri PBB memang harus diakui, tetapi hendaknya mereka jangan sampai tidak memberikan perhatian anggota PBB lainnya. PBB, harus tanggap terhadap perubahan yang tetjadi, perkembangan yang begitu pesat dari negara-negara anggotanya, katanya.
Sementara itu, Budi Hardjono SH menyatakan, usulan Presiden Soeharto itu sangat tepat dan merupakan misi awal yang sangat berhasil dari seorang Ketua GNB. Hal itu juga diakui sebagai langkah awal yang sungguh tepat, dalam menjembatani negara-negara maju dan berkembang. Karena, dengan demikian mulai terbangun sudah landasan-landasan pembangunan ke depan untuk mengangkat harkat negara negara yang tergabung dalam gerakan tersebut.
Upaya itu dinilai penting, agar PBB tidak hanya didominasi oleh negara adikuasa, tapi betul-betul menjadi milik semua bangsa. Khususnya bagi bangsa -bangsa di Asia Afrika danAmerika Latin, yang selama ini menyorot tajam masalah penguasaan negara-negara Jain oleh Eropa dan AS.
“Bangsa-bangsa tersebut harus membatasi kekuasaan dan kesewenangannya atas negara-negara lainnya,” kata Budi
“PBB harus memberikan perhatian merata terhadap semua bangsa, terutama negara-negara berkembang termasuk kelompok GNB.”
Reasonable
Usul Presiden Soeharto tentang penambahan anggota tetap Dewan Keamanan PBB menjadi 11 negara , dinilai sangat reasonable, cukup objektif dan proporsional. Apalagi hal tersebut dikemukakan oleh Presiden dalam kapasitas sebagai Ketua Gerakan Non Blok, di mana potensi kekuatan dunia sekarang ini sudah bergeser dari kekuatan senjat , kepada kekuatan ekonomi, sumber daya alam dan juga posisi geografis, kata Drs. Theo Sambuaga dan H. Agus Tagor kepada Pembaruan Rabu pagi. Keduanya menyatakan pula sifat usul Kepala Negara ini berbeda dengan keinginan Bung Karno ketika pada tahun 60-an juga mengajukan pemikiran merombak organisasi multilateral itu . Karena, kondisi objektif pada sekitar 40 tahun yang lalu itu lebih didorong pada sifat dan kepentingan politik semata, sementara jalan keluar dengan mendirikan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan tandingan PBB tidak mendapat dukungan dunia.
Menurut Theo, yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR usul reformasi dan strukturisasi dari Pak Harto punya alasan yang cukup. Utamanya, hampir semua negara menyepakati usul ini. Dasar pembentukan struktur dan mekanisme di PBB pada 47 tahun yang lalu, memang sudah tidak relevan lagi. “Katakanlah sudah ketinggalan. zaman,” katanya. Diuraikan, pada awal PBB didirikan, jumlah negara yang merdeka baru sekitar 50 dengan penduduk 2 miliar jiwa lebih. Sekarang jumlah negara merdeka sudah mencapai 179, dengan jumlah penduduk 5 miliar jiwa .
Ide perusahaan ini juga barang kali sudah dimiliki oleh negara-negara pemegang hak veto. Misalnya RR Cina. Barangkali yang belum mendapat kesepakatan adalah bagairnana cara mengubahnya. Menurut Theo, usul Presiden Soeharto yang sudah memiliki pola pikir yang reasonable tersebut sebagai satu gagasan yang sangat cemerlang. Dengan mengungkap kriteria-kriteria dasar dari perubahan maka penambahan anggota tetap DKPBB sebanyak 6 negara cukup beralasan.
“Barangkali yang masih menjadi ganjalan, setiap perubahan struktur maupun mekanisme PBB, hanya mungkin jika kita juga, mampu mengubah Piagam PBB atau yang kita kenai dengan UN Charter,” katanya seraya menambahkan jadi paling penting sekarang bagaimana membuat 5 negara pemegang veto sekarang ini bisa mengerti akan jalan pikiran kita.
Berbicara tentang conter veto, Theo menyatakan ide yang menarik. Karena, Presiden Soeharto tetap tidak mencabut kewenangan yang telah dimiliki 5 negara pemegang veto masing-masing Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia dan RR Cina. Tetapi yang disodorkan Kepala Negara bagaimana mengatur penggunaan hak mutlak tersebut.
Menjawab pertanyaan, Agus Tagor yang juga fungsionaris DPP Golkar ini menyatakan gagasan atau usul Presiden tidak bisa dikatakan menentang kepentingan negara-negara besar pemilik hak veto di PBB itu. Dibandingkan dengan usul yang pernah disampaikan Bung Karno dengan langkah menentang negara-negara kolonial dan bahkan mengancam membentuk Conefo, usul Pak Harto jelas lebih konkret dan wajar. Karena usul dari pemimpin negara negara GNB ini lebih ditujukan pada revitalisasi di mana setelah 47 tahun badan dunia itu didirikan jelas keadaannya sudah berbeda dengan keadaan sekarang ini. Apalagi, Pak Harto, kata Tagor, tidak ingin mencabut hak veto 5 negara besar di PBB, sehingga berbeda dengan sikap konfrontatif yang diusulkan oleh Bung Karno.
Sumber: SUARA PEMBARUAN (30/09/1992)
__________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 387-390.