PREDIKAT RESMI BAPAK PEMBANGUNAN: SEBUAH BEBAN MORAL YANG BERAT
Oleh: Ayip Bakar
Pak Harto sendiri tidak minta dukungan, tidak minta sebutan Bapak Pembangunan. Tapi kalau suara yang mendukung itu lahir sebagai spontanitas dari hati nurani rakyat, maka Pak Harto punya alasan untuk menentukan posisi, sebab Pak Harto adalah milik rakyatnya.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa kita lebih baik jangan terlalu cepat dari murah dalam memberikan berbagai dukungan dan predikat pada seorang pemimpin.
Sebab kalau cara itu kita budayakan lambat atau cepat demokrasi Pancasila akan kehilangan tuah dan keramatnya. Lembaga yang paling demokratis dan konstitusional ialah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat harus fungsional dan operasional, bukan dengan cara menjadikanya sebagai kepentingan politik, tapi membudayakannya sebagai lembaga yang mengakar dalam kehidupan rakyat.
Kita tidak akan berdiri pada posisi yang bersifat pilihan. Sebab baik yang setuju mendukung kembali Pak Harto sebagai presiden RI dan sekaligus mengangkat sebagai Bapak Pembangunan, maupun yang bersikap lebih hati-hati dan sophisticated, pada dasarnya dua sikap itu tidak menyentuh esensi sebuah urgensi pembangunan yang total, sejak kita juga terlibat dalam pembangunan politik.
Pembangunan politik berarti membangun kultur politik. Membangun kultur politik berarti bahwa kita harus menempatkan manusia pada harga dirinya yang utuh, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Konotasi dari sikap mendukung harus kita kembalikan pada makna yang tidak boleh bersifat stereo-tipikal. Maka logikanya, kalau kita mendukung Pak Harto, maka dukungan yang esensial terpulang pada kepentingan 147 juta rakyat, untuk siapa Pak Harto adalah abdi dan pelayan rakyat yang baik. Yang bernama dukungan pada akhirnya akan mengendap sebagai sikap mental yang kritis.
Dukungan tidak boleh hanya bersifat monumental dan insidental, sebab yang kita dukung bukanlah kepentingan segolongan, tapi problem yang aktual dari berjuta rakyat. Kalau kita mau jujur pada kondisi politik yang obyektif, yang bernama rakyat bukanlah cuma massa dalam floating mass menurut istilah politik, tapi berjuta manusia yang bernama the silent mass.
Tidak mungkin Golkar, PDI atau PPP mengklaim secara politis, bahwa rakyat ialah milik segolongan. Tidaklah fair rakyat hanya didekati dan diperhatikan, hanya pada ketika suatu kepentingan politik sedang berpacu dengan pemilu.
Secara sosiologis dan psiko kondisional, rakyat belum terdidik heran menyatakan sikap. Rakyat masih menganggap bahwa pejabat ialah identik dengan kekuasaan, padahal kekuasaan yang konstitusional adalah kedaulatan rakyat.
Lapisan yang paling vokal adalah mereka yang berada dalam struktur legalitas kekuasaan, sementara rakyat merasa tidak punya urusan langsung dengan permainan politik. Dengan aksentuasi ini bukanlah kita tidak setuju dengan ”lomba main dukungan”, tapi yang kita hendak sentuh ialah hanya makna paling hakiki dari dukungan. Dukungan tidak perlu formal dan vokal.
Kalau kita sekarang sudah mendukung dan mengangkat seseorang dengan predikat "Bapak Pembangunan" sikap dan alternatip kita yang formal itu akan masih diuji oleh keadaan waktu dan sejarah. Inilah tanggungjawab moral dari suatu sikap politik, kalau politik akan kita bangun dan bukan kita panglimakan.
Barangkali akan terdengar cengeng dan bosan, kalau kita kembali bercerita tentang berjuta yang masih miskin, berjuta yang masih menganggur dan berjuta yang putus sekolah. Kemiskinan sekarang semakin dipertajam oleh korupsi yang masih berkecamuk, kriminalitas yang semakin nekat dan brutal, atau perasaan resah yang kian mencekam. Mungkin cerita ini sudah muak dan cengeng.
Tapi bukankah ini yang sekarang aktual dan menantang? Terus terang saja saya merasa prihatin dengan "lomba dukungan" yang semakin gencar terhadap Pak Harto yang sederhana, jujur dan berhati rakyat.
Prihatin, sebab Pak Harto memikul beban nasional yang berat. Prihatin, sebab Pak Harto akan diuji oleh sejarah dan kemampuan berprestasi yang besar. Prihatin, sebab meskipun Pak Harto tidak menginginkan semua ini, tapi keikhlasan Pak Harto menerima predikat dan dukungan itu akan merupakan beban moral yang sangat berat.
Cuma ada suatu response yang dapat mengimbangi keihlasan Pak Harto. Kita dukung dia, dengan hati bersih dan ikhlas pula. Tapi inilah, harga paling mahal dari harga diri pribadi manusia. Sebab ada kalanya nilai keihlasan itu, tidak tampak formal, vokal dan pretensional. Sebab keikhlasan tidak bersarang di mulut atau tingkah polah, tapi dalam hati nurani manusia. Apakah bukan ini nilai hakiki dari sikap mendukung? (DTS)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber: MERDEKA (23/12/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 332-333.