PRES. BANGLADESH TIBA, KONGRES GURU SEDUNIA DIBUKA
Komentar peristiwa sepekan
Oleh: Nasruddin Hars
PERISTIWA penting utama yang patut kita catat dalam pekan lalu adalah kunjungan Presiden Bangladesh Jenderal Ziaur Rahman. Pemimpin rakyat Bangladesh itu tiba di pelabuhan udara Halim Perdana Kusumah Kamis lalu, dan disambut oleh Presiden Soeharto serta para pejabat tinggi pemerintah lainnya.
Setelah berada di Jakarta selama dua hari, tamu negara tersebut Sabtu lalu meninggalkan Indonesia kembali ke negerinya.
Kunjungan Jenderal Ziaur Rahman tersebut merupakan yang pertama dilakukan seorang Kepala Negara Bangladesh ke Indonesia semenjak negara tersebut terbentuk tahun 1971 yl.
Namun demikian kita cukup menyadari bahwa semenjak kemerdekaannya dari pergabungan dengan Pakistan, negara yang sebetulnya masih tergolong tetangga dekat kita itu selalu direpotkan oleh masalah-masalah dalam negerinya. Perang kemerdekaan yang berhasil, kemudian segera disusul oleh perang saudara dan baru semenjak dua tahun lalu setelah Jenderal Ziaur berhasil mengambil alih kekuasaan, negara tersebut boleh dikatakan berada dalam keadaan tenang.
Dan ketenangan ini agaknya telah mulai memberi kesempatan bagi negara tersebut untuk bekerja membangun ekonominya, termasuk antara lain dengan mengadakan pendekatan-pendekatan dengan negara tetangganya.
Jenderal Ziaur juga mengakui, bahwa Bangladesh selama ini selalu menoleh ke Barat. Artinya, kecuali ke Pakistan, negeri itu sering hanya mengandalkan India atau negara-negara Eropa serta Timur Tengah.
Hal ini juga kita rasakan di Indonesia, sebagai negara yang sebetulnya sangat dekat dengan Dacca. Akan tetapi sekarang rupanya Pemerintah Bangladesh cukup menyadari betapa pentingnya pembinaan hubungan dengan tetangga-tetangga di timur dan tenggaranya.
Kesadaran ini antara lain tampaknya setelah negeri itu merasa betapa ketika terjadi permasalahan dengan Burma yang menyangkut masalah pengungsi tidak banyak negara-negara tetangga sebelah timur yang memberikan perhatiannya.
Sehingga sekalipun masalah itu akhirnya dapat diselesaikan bersama dengan Burma, akan tetapi pengalaman tersebut agaknya telah membuat pemerintah di Dacca perlu meninjau kembali prioritas hubungan luar negerinya. Dan kunjungan Jenderal Zia ke Jakarta tentunya dapat dikatakan sebagai langkah baru yang menuju ke arah peningkatan hubungan dengan “Negeri-negeri Timur” itu.
Bagi kita Indonesia, secara geografis dan juga agama hubungan dengan Bangladesh itu sangat dekat. Adalah masuk akal kalau ada pertanyaan dari negeri itu tentang definisi Asia Tenggara, karena letak negara tersebut yang memang dapat digolongkan dalam kawasan ini (Meskipun Asia Tenggara tidak harus selalu diidentikkan dengan ASEAN). Dalam hal agama, prosentase penduduk Bangladesh yang beragama Islam kiranya tidak kalah dengan Indonesia. Mayoritas besar adalah Islam. Hanya saja selama ini meniang dirasakan, bahwa Bangladesh seakan akan terlalu jauh dari Indonesia. Malah kadang kita merasa bahwa Pakistan yang sebetulnya terletak dibalik anak benua India (bila kita toleh dari timur) terasa lebih dekat dibanding dengan Bangladesh. Dan perasaan jauh ini ditambah pula oleh kecenderungan kita yang karena terlalu didorong oleh motif pembangunan sering hanya memprioritaskan hubungan luar negeri dengan negara-negara maju atau negara industri.
Oleh sebab itu, dengan kunjungan Presiden Zia ke Jakarta pekan lalu itu, sebetulnya kita sudah memulai sesuatu yang baru dalam hubungan kedua negara. Kita yakin, bahwa dengan kunjungan tersebut masing-masing negara telah saling melakukan introspeksi dalam pelaksanaan politik luar negerinya, dimana pertimbangan realitas dan obyektif sudah lebih menonjol.
Dengan adanya saling pengertian antara Bangladesh dengan Indonesia, maka apa yang diinginkan berupa saling kerjasama antara negaranegara terkebelakang atau negara ketiga dalam rangka membina kekuatan ekonomi baru dunia akan benar-benar terwujud; setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.
Dan bagi kita, hubungan baik dengan Bangladesh agaknya masih akan mempunyai arti yang lebih penting lain lagi, khususnya dalam menghadapi situasi-situasi yang akan datang di kawasan ini.
Bagaimana pun ASEAN belurn dapat berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dari lain-lain negeri di sekitarnya. Karena itu sekali lagi ingin kita tekankan, bahwa kunjungan pertama Presiden Bangladesh tersebut harus benar-benar kita jadikan pangkal tolak dari kesemuanya itu.
Di Jakarta, Rabu pekan lalu di mulai Konggres Guru sedunia. Tidak kurang dari 57 delegasi hadir, dan pembukaannya yang berlangsung di Balai Sidang Jakarta, diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Bagi kita, terselenggaranya kongres tersebut di Jakarta mempunyai dua makna. Yang pertama bahwa dengan dipercayakannya Indonesia menyelenggarakan kongres tersebut, berarti kepercayaan internasional terhadap kemampuan kita semakin meningkat lagi. Baik dalam hal fasilitas, maupun dalam hal pengorganisasikannya.
Hal ini kita anggap penting, karena hingga kini masih selalu ada kesan seolah olah dalam hal pengorganisasian pertemuan pertemuan internasional, kita masih kurang mampu, dan yang lebih penting lagi untuk kita catat, bahwa kongres guru tersebut juga menggunakan Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa resmi kongres. Jadi kesempatan tersebut sekaligus sebagai titik mula dari pengenalan atau promosi bagi penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Makna lain yg kita tarik dari kongres tsb. adalah yang menyangkut permasalahan yang dibahas dalam kongres itu sendiri. Menurut Presiden Persatuan Guru se-Dunia, Wilhelm Ebert, ketika memberikan sambutan pada pembukaan kongres tersebut, masalah pokok yang dihadapi para guru se-dunia sekarang ini adalah masalah yang menyangkut bidang tugas para guru tersebut yakni dunia pendidikan.
Kata tokoh guru kaliber internasional itu, sekarang ini sedang timbul sesuatu bahaya yang disebutnya sebagai kekuatan anti pendidikan. Kekuatan ini antara lain menyangkut soal penyediaan anggaran pendidikan yang menciut, disamping juga kurangnya wibawa para guru dalam masyarakat.
Masalah wibawa guru memang jadi bahan pembicaraan kita selama ini. Pada masa-masa yang silam kemerosotan wibawa guru tersebut umumnya kita kaitkan dengan kondisi sosial ekonomi mereka, dimana penghasilan para guru sama sekali tidak sebanding dengan kebutuhannya.
Akibatnya para guru sering “melacur” diri, dan hal ini membuat wibawanya di mata masyarakat menjadi menurun. Akan tetapi keadaan ini sebenarnya secara berangsur telah dicoba perbaiki oleh pemerintah. Meskipun belum sempurna, pemerintah tiap tahun terus memperhatikan nasib guru, sehingga sedikit demi sedikit kondisi sosial ekonomi para guru itu sudah jauh lebih baik.
Namun perbaikan kondisi sosial ekonomi tersebut rupanya belum sepenuhnya dapat meningkatkan kembali derajat para guru di mata masyarakat. Mungkin salah satu sebabnya adalah karena keadaan kemerosotan wibawa guru itu sudah terlalu lama berlangsung. Tetapi agaknya perlu diperhatikan juga, bahwa masalah sosial ekonomi itu tidak semata mata merupakan factor yang telah memerosotkan wibawa guru itu.
Lingkungan social yang telah semakin berubah, seperti masalah nilai-nilai dan tingkat perkembangan tehnologi, kiranya termasuk factor yang menentukan juga dalam hal penegakan wibawa guru tersebut.
Karena seperti yg. dikatakan Wilhelm Ebert diatas, bahwa merosotnya wibawa guru tersebut, termasuk penghormatan masyarakat terhadap guru, bukan hanya terjadi di Indonesia akan tetapi juga di sebagian besar negara di dunia. Jadi itu merupakan gejala umum dunia yang merupakan tantangan bagi kaum pendidik atau guru yang berkongres di Jakarta hingga tanggal 2 Agustus itu.
Bagi kita, berbicara masalah guru adalah mempermasalahkan soal pendidikan. Dan berbicara soal pendidikan berarti mempersoalkan masalah generasi muda. Dan ini tentunya merupakan bagian terpenting dalam mempermasalahkan tentang hari depan bangsa.
Oleh sebab itu, peringatan dari Presiden Persatuan Guru se-Dunia itu sangat perlu kita perhatikan dengan seksama. Meskipun keadaannya barang kali sudah agak parah, adalah menjadi tekad kita semua untuk memperbaikinya dan memperbaiki keadaan ini kiranya bukan hanya dengan meningkatkan fasilitas sosial ekonomi bagi para guru, tetapi juga perbaikan keadaan lingkungan.
Untuk itu, gagasan Menteri P & K Daoed Joesoef untuk mengadakan penyempurnaan sistim pendidikan melalui satu penelitian yang cermat memang kita sambut hangat, namun mengingat faktor lingkungan juga sangat besar pengaruhnya pada dunia pendidikan maka seharusnya pula kalau pembahasan masalah pendidikan itu dilakukan secara terkoordinir diantara instansi-instansi pemerintah yang ada hubungannya dengan masalah lingkungan sosial itu.
Marilah peringatan (warning) dari Presiden Persatuan Guru Se-Dunia itu kita jadikan pangkal tolak bagi usaha penyempurnaan dalam penanggulangan masalah pendidikan kita. (DTS)
…
Jakarta, Angkatan Bersenjata
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA (31/07/1978)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 703-706.