PRESIDEN : ANAK CUCU PENTING WARISI NILAI – NILAI PERJUANGAN

PRESIDEN : ANAK CUCU PENTING WARISI NILAI – NILAI PERJUANGAN

 

 

Presiden Soeharto menekankan pentingnya mewariskan sangat dan nilai­-nilai perjuangan masa lalu kepada anak cucu, untuk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia di masa datang.

Presiden menyatakan hal itu dalam acara pengukuhan dan pengesahan Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 di kediaman Jl. Cendana Jakarta, Selasa siang.

Ia mengatakan nilai-nilai pengabdian perlu terus diwariskan kepada generasi sekarang dan masa datang, karena perjuangan tidak hanya menegakkan kemerdekaan tetapi juga mengisi kemerdekaan antara lain dengan melaksanakan pembangunan.

Mengenai pembentukan paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta dan Yayasan Serangan Umum 1Maret 1949, Presiden mengharapkan agar wadah ini dapat ikut berperan dalam mewariskan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu itu kepada anak cucu agar mereka beriman, berilmu dan beramal.

“Bagi kita yang sudah usia senja ini perjuangan kita bukan pada kekuatan fisik lagi tetapi bathin,” kata Presiden. Karena itu, sisa hidup yang ada agar digunakan seefektif mungkin dalam arti mencapai cita-cita hidup”, katanya.

“Dalam sisa hidup kita ini, katanya, hendaknya bukan kehidupan atau kebahagiaan material yang dikejar, tetapi adalah untuk memenuhi kebutuhan bathin. Adalah keliru sama sekali bila ada yang mengatakan “mumpung masih hidup carilah kepuasan di dunia ini.”

Dalam kesempatan itu, Presiden menguraikan beberapa falsafah Jawa di antaranya “hono coroko, dotosowolo, podojoyonyo” dsb yang pada pokoknya menekankan keseimbangan hidup manusia.

Tolak Tandatangani Pengembalian Yogya

Presiden Soeharto juga menjelaskan mengenai peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 ke kota Yogyakarta, dan mundurnya Belanda dari kota perjuangan itu.

Presiden berkata: “Saya menolak untuk menandatangani serah terima kota Yogyakarta pada waktu itu, karena saya merasa Belanda tidak menguasai daerah Yogyakarta melainkan hanya beberapa tempat seperti Bantar, Bantul, Prambanan dan Kaliurang”.

Pada waktu itu, Presiden Soeharto berpangkat letnan kolonel yang menjadi komandan pasukan Wehrkresie III Yogyakarta.

Dijelaskannya, “kalau waktu itu saya menandatangani serah terima pengembalian Yogya dari Belanda ke RI, maka ini sama artinya saya mengakui Belanda.”

Presiden menegaskan ia sama sekali tidak pernah dan tidak mau menandatangani serah terima kota Yogyakarta dari Belanda pada waktu itu.

Penegasan Presiden ini dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Letjen (purn) GPH. Jatikoesoemo pada acara pengesahan paguyuban itu di Jl. Cendana. Jatikoesoemo anggota kehormatan paguyuban itu.

Presiden Soeharto menjelaskan serangan umum dilakukan tidak hanya pada tanggal satu Maret saja, tetapi sudah dilaksanakan berkali mulai tanggal 30 Desember 1949, sepuluh hari setelah Belanda masuk kota Yogya. Kemudian serangan umum dilakukan pula tanggal 9 Januari, 16 Januari dan 4 Februari. Serangan umum dilakukan dari segala penjuru kota Yogyakarta.

Presiden menjelaskan serangan kepada pihak Belanda itu bertujuan politis, psikologis dan militer yang mernpunyai pengaruh tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga internasional.

Dengan serangan itu, dunia internasional mengetahui bahwa Republik Indonesia masih ada dan rakyatnya masih berjuang terus. Selain itu serangan-serangan itu bermanfaat untuk membangkitkan kembali kepercayaan rakyat untuk melanjutkan perjuangan.

Fungsi kota Yogyakarta waktu itu penting sekali ujarnya, tidak hanya sebagai kota kebudayaan, tetapi sebagai kota perjuangan dan Ibu kota Republik Indonesia, sehingga apa yang terjadi pada Yogya pasti mempunyai dampak yang luas.

Karena itu, begitu Belanda memasuki Yogyakarta, “kita lalu mengadakan konsolidasi pasukan dan dalam sepuluh hari sudah berhasil menyerang kembali Belanda. Ini penting karena menunjukkan kepada Belanda bahwa kita masih ada.”

Pasukan yang dikonsolidasi antara lain dipimpin Mayor Sarjono dengan komandan kompi Widodo di sektor selatan, Mayor Vence Sumual sektor barat, utara Mayor Kasno, anak buah Kol Jatikusumo, dan sektor timur Mayor Sujono, kata Presiden.

Dalam pertemuan dengan para tokoh bekas pasukan Wehrkreise Yogya itu, Presiden mengatakan pengesahan paguyuban ini dimaksudkan bukan untuk menonjol-nonjolkan diri, tetapi adalah untuk meneruskan nilai-nilai perjuangan kepada anak cucu dan generasi mendatang bahwa perjuangan 37 tahun lalu itu memang mempunyai nilai sejarah perjuangan yang penting yang perlu diketahui dan tidak mungkin dihilangkan dari sejarah.

Sebagai Ketua Umum Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta adalah, Sutopo Yuwono dan ketua umum Yayasan Serangan Umum Satu Maret 1949 adalah Nicklani (bekas Dirjen Imigrasi).

Presiden dan Ibu Tien Soeharto, Paku Alam VIII, Sultan Hamengku Buwono IX adalah sebagai sesepuh paguyuban. Anggota-anggota kehormatannya, ialah isteri almarhum jendral TNI Sudirman, Ny. Nani Sudharsono (mensos), GPH Jatikusumo, Dr. H. Amir Murtono, F Sarjono,

R.P. Sukasno, KPH. Mr.P oe1wokoesomo, D. Soewanditho. Sedangkan para penasehat adalah Widodo, Ali Affandi, Aswasmamo, Sudarsono Bismo, Gunarso SF, Subroto Darso, Sarsono, Wiyogo Atmodarminta, J. Sujono, Iichlany, Ir.Sudarto, Aswismanro, Suhardi.

Ketua I paguyuban itu adalah Martono (mentrans), ketua II R.M. Syumarsono, Ketua III Prof. Ir. Harya Soedirja, Sekretaris Umum Drs. Abdul Kadir, Sekretaris I Sukotjo Tjokroatmojo, Sekretaris II Gunarso SP, Bendahara V.N. Sumual dan Wakil Bendahara Gideon. (RA)

 

 

Jakarta, Antara

Sumber : ANTARA (29/10/1986)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 720-722.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.