PRESIDEN: ASING BOLEH GARAP MEGA PROYEK DENGAN DANA SENDIR

PRESIDEN: ASING BOLEH GARAP MEGA PROYEK DENGAN DANA SENDIRI[1]

Jakarta, Antara

Presiden Soeharto menegaskan, para pengusaha asing boleh saja membangun proyek besar atau mega proyek asal dananya bukan berasal dari Indonesia tapi dari negaranya sendiri atau negara lain.

Seusai menemui Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Senin, Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardojo mengatakan kepada pers, investor asing bisa menerapkan pola PT. Chandra Asri.

PT. Chandra Asri yang didirikan beberapa pengusaha dalam negeri dan bertujuan menghasilkan olefin pada awalnya akan dibangun dengan dana dari Indonesia sendiri dan pinjaman luar Namun karena proyek tersebut memerlukan dana yang terlalu besar sekitar 1,6 miliar dolar AS maka pemerintah memutuskan pabrik tersebut diubah dari PMDN menjadi PMA.

Larangan atau pengendalian mega proyek itu dilakukan pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap neraca pembayaran. Jlka pabrik olefin itu tetap berstatus PMDN maka tekanan terhadap neraca pembayaran akan besar karena sebagian besar dananya merupakan pinjaman.

Sanyoto mengemukakan masalah pembangunan m ega proyek atau proyek yang nilainya di atas satu miliar dolar itu karena akhir-akhir ini timbul pertanyaan dari calon investor asing apakah mereka dibenarkan membangun proyek jenis ini. Ia mengatakan, kepada Kepala Negara telah dilaporkan hasil kunjungannya ke Taiwan baru-baru ini untuk menarik investasi dari negara itu. Taiwan merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia dengan nilai 4,26 miliar dolar AS setelah Jepang dan Hongkong dengan 284 proyek. Para pengusaha Taiwan ingin meningkatkan kehadiran mereka termasuk dalam jasa perbankan.

Namun, permintaan mereka untuk memiliki saham 100 persen atas bank yang akan didirikannya disini belurn dapat dipenuhi. Sanyoto menjelaskan bank-bank asing kini tidak bisa mendirikan lagi kantor cabang kecuali membentuk usaha patungan dengan pengusaha Indonesia. Indonesia harus menguasai saham sedikitnya 15 persen.

Mereka Ketakutan

Ketika ditanya tentang harapan pemerintah AS agar Indonesia mengubah perbandingan/ratio saham pemsahaan asing dan Indonesia, Sanyoto mengatakan alasan AS itu sebenarnya tidak beralasan. Pada hari Senin pagi, setelah menemui Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Menteri Keuangan AS Llyod Bensten mengatakan pihaknya mengharapkan agar ra­tio 49:51 diubah.

 

Berdasarkan ketentuan itu, setelah 20 tahun sebuah perusahaan berdiri maka In­donesia harus menguasai saham sebanyak 51 persen dan sisanya mitra mereka dari luar negeri termasuk AS. Alasan Bensten adalah dengan makin besamya saham pengusaha asing maka mereka akan makin tertarik menanarnkan modalnya di Indonesia.

“Mereka hanya ketakutan tidak bisa mengontrol usahanya, “kata Sanyoto ketika mengomentari harapan AS tersebut.

Sanyoto mengatakan, memang benar setelah 20 tahun sebuah usaha asing berdiri maka ratio kepemilikan saham adalah 51:49. Namun, ia mengatakan angka 51 persen itu tidak mutlak harus dikuasai pihak Indonesia karena bisa saja pada akhirnya sebagian saham itu dijual lewat bursa sehinga dapat dibeli oleh orang Indonesia sendiri serta orang asing sendiri.

Jika pengusaha asing itu melakukan pembelian di bursa maka mereka tetap bisa menjadi pemegang saham mayoritas karena selain saham 49 persen itu, sahammya bertambah hasil pembelian dari bursa.(T.EU02/EU06/17/01/9415:49/RU1)

Sumber: ANTARA(17/01/1994)

______________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 193-194.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.