PRESIDEN: CEGAH NASIONALISME SEMPIT [1]
Jakarta, Media Indonesia
Presiden Soeharto mengingatkan agar globalisme tidak mengakibatkan timbulnya nasionalisme sempit di kalangan bangsa Indonesia. Pak Harto mengingatkan hal itu karena ternyata banyak konsep yang salah pengertiannya saat ini seperti adanya berbagai penafsiran yang menyebabkan kerancuan pada masyarakat tentang UUD 45 dan GBHN.
Memberikan contoh, Kepala Negara menyebut ketentuan terbaru di bidang investasi yaitu PP No 20 tahun 1994. “Memberi peluang semakin besar kepada para pengusaha asing sama sekali tidak boleh diartikan bahwa negara ini telah dibuka sepenuhnya kepada pengusaha luar negeri, “kata Presiden seperti dikutip Wakil Kepala BP-7 Alwi Dahlan kepada wartawan seusai melapor kepada Kepala Negara bersama Kepala BP-7 Soeprapto di Istana Merdeka kemarin.
Jadi, tutur Alwi, berbagai salah pengertian itu karena banyaknya orang berbicara, tetapi tidak memahami sebenarnya UUD 45 itu dengan mendalam. Seperti juga masalah lainnya, yaitu isu tentang presiden mandataris, isu siklus lima tahunan, isu mengenai lembaga-lembaga tinggi negara siapa yang boleh menghentikan, tambahnya.
Penting
Sebab itu, menurut Alwi, Kepala Negara sangat rnenekankan bahwa Inpres No.2 tahun 1994 tentang pengingkatan permasyarakatan dan pemberian P-4 khususnya bagi Korpri dan masyarakat umumnya sangat penting. Sementara itu menyinggung tentang penataran P-4 itu sendiri Presiden meminta agar metodenya lebih ditingkatkan agar tidak menjadi pola penataran yang kurang menyenangkan.
“Jadi harus lebih menyenangkan dan lebih menggairahkan serta menantang, sehingga dapat diambil permasalahan yang timbul dalam masyarakat untuk diuji berdasarkan norma-norma yang dimiliki,” ujar Kepala Negara seperti dikutip Kepala BP-7 Soeprapto.
Menurut Soeprapto, pernberian P-4 adalah satu pendidikan dan termasuk dalam pendidikan politik. “Dalam kategori pendidikan maka harus selalu diusahakan bahwa proses interaksi harus berlangsung dalam suasana yang menarik,” tuturnya. Dia mengemukakan hal yang menarik itu bisa diambil dari berbagai segi. Bisa dari segi apa yang menjadi perhatian pihak peserta untuk menjadi permasalahan tetapi dapat juga melalui metode yang memang lebih tepat, misalnya bagi anak-anak yang lebih tepat adalah metode bermain, ungkapnya.
Rekomendasi
Untuk itu, jelasnya, pihaknya selalu membuat feed-back system yaitu kepada para peserta sesudah penataran diminta agar membuat semacam rekomendasi, pendapat, dan tanggapan tentang segala segi yang mereka alami termasuk masalah metode tersebut. Dari hal itu, katanya, terungkap ternyata yang mereka harapkan antara lain adalah agar metode lebih ditingkatkan, karena dari pengalaman selama ini metode ceramah ternyata paling rawan dalam arti banyak ke lemahannya.
Metode cerarnah itu, menurut Soeprapto, harus didukung dengan segala sarana sehingga akan menjadi lebih menarik, dan untuk itu ada berbagai teknik berceramah yang harus dikuasai penatar agar pengajaran rnenjadi lebih baik. Sedangkan metode diskusi, ungkapnya, lebih disenangi karena dengan berdiskusi mereka dapat mengungkapkan aspirasi dan gagasannya, kendati cara ini tidak mudah karena memerlukan tata cara yang harus dipertanggungjawabkan.
Selain itu, Soeprapto mengingatkan bahwa penataran itu adalah usaha untuk membentuk sikap perilaku dan pribadi manusia Indonesia. Namun, tegasnya pembentukan sikap dan perilaku itu tidak berlangsung sekali tetapi harus diupayakan terus menerus. “Jadi penataran P-4 itu seharusnya dilakukan sesering mungkin. Kalau ada orang yang berpen dapat seseorang cukup sekali mengikuti penataran P-4 maka saya tidak mengerti jalan pikirannya”.
Ketika ditanya berapa menteri yang belum ditatar P-4, Soeprapto menegaskan bahwa yang akurat adalah menteri-menteri yang berstatus manggala ada 18 orang. Yang lain, katanya, adalah mungkin sudah ditatar di TMll, di BP-7, didepartemen atau instansi masing-masing. Menurut dia, menteri adalah pembantu presiden, jadi yang menentukan persyaratannya adalah Presiden.(Rid).
Sumber: MEDIA INDONESIA ( 21/06/1994)
___________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 72-74.