PRESIDEN: CINTAI PRODUK SENDIRI

PRESIDEN: CINTAI PRODUK SENDIRI[1]

 

Jakarta, Suara Karya

Presiden Soeharto mengingatkan semua pihak agar tetap mencintai dan membeli produk buatan sendiri walaupun mungkin mutunya lebih rendah dan harganya lebih mahal dibanding produk buatan luar.

“Jika kita tinggalkan barang buatan sendiri, industri tutup kemudian timbul pengangguran akhirnya yang ada adalah kemelaratan. Ini bukan cita-cita kita,” ujar Kepala Negara di depan 150 peserta Munas Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), di Tapos, Bogor, Minggu (10/ 12).

Penggunaan dan pembelian produk sendiri merupakan salah satu cerminan sikap mental yang nasionalis selain cinta Tanah Air dan cinta bangsa, kata Kepala Negara. Rasa cinta terhadap buatan sendiri itu makin penting mengingat komitmen Indonesia untuk menyukseskan sistem perdagangan bebas setelah tahun 2000 mendatang. Pada saat itu, produk buatan luar negeri bebas masuk dan membanjiri pasar dalarn negeri, kata Kepala Negara. Berbagai produk luar itu kemungkinan mutu dan harganya sangat bersaing dengan produk buatan sendiri.

“Menghadapi hal itu,kita sebaiknya menahan diri untuk membeli. Kita ingin menjadi, bangsa yang mandiri,” kata Presiden.

Oleh karena itu, Kepala Negara mengingatkan radio berperan untuk rnenciptakan siaran yang menggelorakan rasa cinta produk buatan sendiri itu. “Misalnya diciptakan siaran khusus untuk anak-anak yang berisi pesan rasa cinta produk dalam negeri itu,” kata Presiden memberi contoh. Anak-anak Balita itu pada tahun 2020 akan menjadi dewasa dan sejak dini hendaknya mereka ditanamkan rasa cinta produk dalam negeri. “Semuanya harus dilakukan secara bertahap dan tidak sekaligus,” tambah Presiden. Dalam kaitan ini, kepala Negara kembali mengingatkan agar semua pihak terus meningkatkan daya saing di segala bidang. “Kita harus unggul sehingga ketika produk luar rnembanjiri pasar kita, daya saing kita juga tinggi,”tegasnya. Presiden menyatakan keyakinannya terhadap kemampuan dan daya saing bangsa. Hal ini terlihat dari kemampuan membuat pesawat N-250 dan mesin tekstil, bahkan pesawat N-250 dirakit di AS dan mesin tekstil itu diakui keandalan dan mutunya oleh pihak luar, harga produk Indonesia itu juga jauh lebih murah dibandingkan buatan luar.

Bukan Liberalisme

Presiden juga mengingatkan bahwa sikap Indonesia yang mendukung perdagangan bebas bukan berarti sistem dan falsafah Indonesia berubah menjadi mendukung sistem liberalisme.

“Kita tetap tidak mendukung sistern liberalisme dan sosialisme. Kita memiliki sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila, “ujar Kepala Negara.

Perdagangan bebas bagi Indonesia merupakan tuntutan persaingan ekonomi yang semakin bebas dan terbuka . “Kita harus menghadapi persaingan itu baik dari segi mutu,biaya dan lain sebagainya, “ujar Presiden. Dalam era perdagangan bebas, Indonesia juga harus mampu memanfaatkan peluang yang timbul. Oleh karena itu peningkatan mutu sumber daya manusia tetap merupakan tugas penting semua pihak, kata Kepala Negara. Presiden menjawab pertanyaan peserta Munas, mengatakan, dalam upaya mencari peluang itujangan dilakukan dengan gaya bertinju yang sekali pukul KO. “Tetapi gunakan gaya silat, yang walaupun dengan tubuh tidak kekar tetapi mampu menjatuhkan Iawan,” katanya.

“Ketika lawan memukul, pesilat akan menghindar dan cari kelemahan lawan,” kata Kepala Negara.

Sementara menjawab pertanyaan Ketua Umum PRSSNI Ny Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) mengenai banyaknya radio siaran laporkan saja kepada pihak berwenang.

“Jika tidak ditanggapi laporkan lagi kepada aparat berwenang dan legislatif. Jika tidak ditanggapi lagi, ya laporkan lagi. Begitu terus sampai ada tanggapan,”demikian Kepala Negara sambil tertawa.

Munas PRSSNI VIII itu, menurut laporan Mbak Tutut, diadakan di Jakarta dan diikuti sekitar 600 peserta, namun karena keterbatasan tempat peserta yang hadir di Tapos itu berjumlah 150 orang! (Ant)

Sumber  : SUARAKARYA(ll /12/ 1995)

_________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 406-407.

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.